OpiniHukum Internasional

Penahanan dan Penyiksaan dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Redaksi Literasi Hukum
1118
×

Penahanan dan Penyiksaan dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Sebarkan artikel ini
Penahanan dan penyiksaan menurut HAM
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas tentang isu HAM (Hak Asasi Manusia) dalam hubungan internasional terkait dengan dua masalah, yaitu penahanan dan penyiksaan. Pembahasan dimulai dengan mengutip PBB dan Deklarasi Universal HAM untuk menggambarkan pentingnya HAM sebagai isu internasional, dan kemudian artikel fokus pada menjelaskan kewajiban negara terkait dengan penahanan dan penyiksaan dalam instrumen hukum internasional.

Artikel juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penahanan serta hak seseorang yang ditahan untuk diperiksa di pengadilan dan mendapatkan kompensasi jika penahanannya tidak sah. Di bagian penyiksaan, artikel menyoroti norma hukum internasional yang melarang praktik penyiksaan dan menekankan bahwa norma ini termasuk dalam kategori jus cogens, sehingga negara tidak dapat melepaskan diri dari kewajibannya untuk melindungi hak tersebut.

Oleh: Sintarda Hari Pratama

Setelah berakhirnya perang Dunia ke II itu menciptakan sebuah momentum penting dalam perkembangan HAM, hal ini ditandai dengan dibentuknya PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) pada tahun 1945 dengan diikuti oleh terbentuknya Deklarasi Universal HAM di 1948. HAM adalah diskursus yang terus dibahas sampai saat ini, tidak hanya di tanah nasional namun pula internasional sehingga HAM adalah isu penting dalam hubungan internasional. Beberapa masalah yang menjadi pembahasan dalam HAM internasional ini adalah penahanan (detention) dan penyiksaan (torture). Kewajiban negara menyangkut HAM internasional diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional

A. Penahanan (Detention )

Setiap orang, tanpa kecuali, memiliki hak untuk bebas dan tidak ditahan secara sewenang-wenang oleh negara tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, dan kewarganegaraannya sehingga tidak merampas kebebasan seseorang yang dapat bermuara pada pelanggaran HAM. Pada Pasal 3 UDHR disebutkan :

“semua orang memiliki hak untuk hidup, bebas, dan aman”

Kebebasan itu tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang sesuai dalam Pasal 9 dan harus diperlakukan secara manusiawi serta bermartabat sesuai Pasal 10 untuk setiap orang.  Pada Pasal 9 ayat 1 ditegaskan kembali mengenai larangan untuk tidak menangkap seseorang secara sewenang-wenang, dimana dalam penahanan harus disertai dengan alasan tertentu sesuai prosedur hukum yang jelas.

Kemudian pada Pasal 9 ayat 3 pula menyebutkan bahwa seseorang yang ditahan atas suatu tuduhan tertentu harus secepatnya (promptly) diadili dalam kurun waktu yang layak (reasonable time) atau dibebaskan (released).  Aturan untuk menahan seseorang ini sampai ia disidangkan bukanlah hal yang bersifat umum sehingga dimungkinkan baginya untuk tidak ditahan selama menunggu untuk diadili.

Berkaitan dengan hal tersebut dalam praktik penegakkan hukum tidak setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran itu secara otomatis mengarah pada penahanan. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi keputusan untuk menahan atau tidak. Berat dan konsekuensi pelanggaran tersebut dikombinasikan dengan kepribadian serta tingkah lakunya pada saat ia ditsngkap sebagai dasar pertimbangan.

Seseorang yang dirampas kebebasannya karena penangkapan atau penahanan berhak memperkarakannya di pengadilan sehingga pengadilan dapat memutuskan tanpa menunda keabsahan penahanan dirinya dan memerintahkan untuk membebaskannya jika penahanan tersebut tidaklah sah, hal ini sesuai dengan isi kandungan yang ada di dalam Pasal 9 ayat 4 ICCPR. Mereka yang telah menjadi korban penahanan yang tidak sah berhak untuk mendapatkan kompensasi sesuai Pasal 9 ayat 5. 

Masalah penahanan ini juga diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 43/173 tanggal 8 Desember 1988 tentang Kumpulan Prinsip untuk Perlindungan Setiap Individu Terhadap Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan (Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment/the Body of Principles). Pada prinsip 2 dijelaskan bahwa penangkapan atau pemenjaraan perlu dilaksanakan dengan didasari oleh ketentuan hukum dan petugas yang kompeten dan berwenang untuk tujuan tersebut.

B. Penyiksaan (Torture)

Dalam UDHR khususnya Pasal 5 hak untuk tidak disiksa merupakan salah satu HAM yang bersifat pokok yakni : 

“Tidak seorangpun yang dapat disiksa atau diperlakukan kasar, tak manusiawi atau diperlakukan dan dihukum secara merendahkan”. Dalam hal tertentu, tidak ada seorang pun tanpa persetujuannya dapat menjadi eksperimen medis atau saintis.”

Larangan penyiksaan ini merupakan norma Hukum internasional yang berkategori sebagai jus covers yakni tidak dimungkinkan adanya pelanggaran terhadap norma tersebut, hal ini merujuk seperti definisi yang diberikan dalam Pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Menurut Black Law dictionary , jus cogens ini diartikan sebagai norma hukum internasional umum yang mengandung sifat perintah bahwa dia atau lebih negara tidak dapat membebaskan diri dari norma tersebut.

Karena berkategori seperti itu maka larangan penyiksaan menimbulkan kewajiban bagi negara secara keseluruhan (obligation erga omnes). Di sini hak untuk disiksa termasuk ke dalam non derogation right atau hak yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam kondisi apapun disamping enam hak lainnya sebagaimana dalam Pasal 4 ayat 2 ICCPR.

Mengenai masalah penyiksaan di hukum internasional dibahas secara khusus dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen/CAT pada tahun 1984 dengan definisi mengenai penyiksaan itu disebutkan dalam Pasal 1. Terdapat tiga unsur yang memenuhi definisi pasal 1 tersebut yakni :

  1. Perbuatan tersebut disengaja untuk menyebabkan penderitaan fisik dan mental
  2. Dilakukan untuk tujuan tertentu
  3. Dilakukan atas persetujuan pejabat publik

Untuk dapat disebut sebagai penyiksaan harus memenuhi ketiga unsur tersebut dan apabila tidak memenuhi maka tidak dapat disebut sebagai penyiksaan melainkan digolongkan sebagai “cruel, inhuman or degrading treatment“.

Kewajiban negara untuk mencegah terjadinya tindakan seperti yang disebut CAT tadi diatur dalam Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dimana mengatakan tidak ada pembenaran apapun untuk melakukan suatu penyiksaan. Perintah atasan juga tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menyiksa sesuai Pasal 2 ayat 3. Negara peserta CAT juga harus menjamin bahwa penyiksaan adalah suatu bentuk tindak pidana di negaranya termasuk percobaan maupun tindakan membantu dan turut serta sesuai Pasal 4.

Beberapa bentuk atau contoh penyiksaan yang seringkali dipraktikkan antara lain :

  1. Beating on the soles of the feet
  2. Electric shock applied to genital and nipples
  3. Rape
  4. Near drowning through submersion in water
  5. Near suffocation by plastic bags tied around the hesd
  6. Burning
  7. Whipping
  8. Needles imserted under fingernails
  9. Mutilation
  10. Hanging by feet or hands for prolonged periods

Larangan penyiksaan ini juga melarang semua tindakan yang tidak didefinisikan sebagai penyiksaan karena tindakan itu menimbulkan “less severe physical or mental pain”. Terlebih lagi semua orang juga tidak boleh menjadi subjek “cruel, inhuman, or degrading treatment”.

Referensi

  • Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta, 2016.
  • Universal Declaration of Human Rights 
  • Convention  Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
  • International Convenant on Economic, Civil and Political Rights
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.