Literasi Hukum – Artikel ini membahas hubungan erat antara pelayanan publik dan good governance. Pelayanan publik yang baik merupakan cerminan dari good governance, dan good governance merupakan landasan untuk terciptanya pelayanan publik yang berkualitas.
Pelayanan Publik
Pelayanan publik telah di atur dalam UU 25/2009. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pelayanan publik (public service) ialah serangkaian kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat terhadap suatu objek atau pelayanan administratif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan oleh pemberi layanan. Objek di sini merupakan barang dan/atau jasa yang merupakan barang publik (public goods) yang disediakan oleh pemerintah.
Dalam hal pihak penyelenggara, pelayanan publik secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yakni pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik, dan juga yang diselenggarakan oleh organisasi privat. Organisasi publik sifatnya terbagi menjadi primer dan sekunder. Dalam berbagai bacaan, layanan tersebut memiliki perbedaan.
Pelayanan publik privat merupakan pelayanan yang dilakukan oleh swasta, contohnya ialah jasa transportasi, pergurua tinggi, rumah sakit, dan lain sebagainya. Pelayanan publik primer merupakan pelayanan publik di mana pemerintah merupakan pelaku pemberi layanan secara tunggal, masyarakat wajib untuk menggunakannya, contohnya ialah pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pelayanan lembaga peradilan, pelayanan imigrasi, dan pelayanan lainnya. Pelayanan publik sekunder merupakan pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh swasta dan pemerintah, sehingga masyarakat dapat memilih, seperti program pendidikan, program asuransi, perbankan, dan lain sebagainya.
Good Governance
Pemerintahan yang baik sebelumnya tidak dikenal dalam literatur hukum manapun. Asas ini lahir mulanya dari Organization for the Economic Coorperation and Development (OECD). Asas ini mempunyai 8 pilar utama dalam OECD, yakni:
1. Accountability
Seluruh pemangku kebijakan dalam pemerintahan dan sektor swasta, memiliki tanggung jawab kepada masyarakat serta semua pemegang hak dan kewajiban.
2. Effectiveness and efficiency
Produk yang dihasilkan oleh seluruh pemangku kebijakan dalam pemerintahan wajib sesuai sebagaimana mestinya dan seefektif mungkin.
3. Equity
Kewajiban pihak pemerintah dalam memberikan kesempatan yang sama terhadap seluruh masyarakat
4. Consensus Oriented
Para pemangku kebijakan dalam pemerintah wajib lebih memperhatikan kepentingan yang lebih luas dalam membuat suatu prosedur maupun segala kebijakan.
5. Responsiveness
Pelaksanaan tugas dalam pemerintah haruslah mengedepankan sikap suportif, kritis, koorperatif, proaktif, dan peka terhadap kebutuhan masyarakat.
6. Transparency
Segala perkembangan dan hasil pemerintah dalam melaksanakan tugas, haruslah memberikan informasi yang jelas dan terbuka terhadap masyarakat.
7. Rule of Law
Kewajiban kepada segala pemangku kepentingan untuk tunduk dan patuh terhadap hukum dalam membuat segala kebijakan. Sehingga, hal tersebut akan membuat terjaminnya supremasi hukum dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
8. Participation
Kewajiban kepada segala pembuat kebijakan untuk melibatkan masyarakat yang kepentingannya terlibat dalam pembuatan kebijakan.
Pemerintahan yang bersih (Clean Government) merupakan salah satu bagian yang tidak bisa terpisah dengan good governance. Hal tersebut merupakan cerminan integrasi antara pembuat kebijakan dengan masyarakat. Terwujudnya good governance tidak akan membuat ketimpangan sosial terhadap masyarakat.
Sebagai asas pemerintahan, Pemerintahan yang baik harus diwujudkan dan ditujukan dalam segala pelaksanaan pemerintahan sebagai peraturan yang mengikat sekaligus acuan bagi pemerintah. Pemerintahan yang baik juga dapat diselaraskan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang termuat secara eksplisit dalam Pasal 10 UU 30/2014. Sinergitas antara AUPB dan good governance menciptakan clean government dan pemerintahan yang berwibawa.
Hubungan Good Governance dan Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan suatu cerminan dalam implementasi Pemerintahan yang baik. Sebuah pertanyaan mendasar, yakni mengapa pelayanan publik sangat berurgensi dalam implementasi nilai-nilai good governance? Mengapa bukan aspek pemerintahan lain? Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut.
Pertama, pelayanan publik dapat menciptakan wadah dalam implementasi nilai-nilai Pemerintahan yang baik secara nyata dan mudah dalam hal administratif seperti partisipasi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Hal tersebut lebih efektif dalam mengimplementasikan nilai-nilai good governance dibandingkan aspek kegiatan pemerintahan yang lain.
Kedua, pelayanan publik mengandung segala pilar good governance, yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pelayanan publik memiliki urgensi yang tinggi dan menjadi pertaruhan baik buruknya hubungan antar pilar good governance. Perwujudan penyelenggaraan pelayanan yang baik menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam membangun legitimasi kekuasaan. Adanya reformasi dari pelayanan publik yang kurang memuaskan akan memperbaiki nilai-nilai good governance. Sehingga, hal tersebut akan efektif dalam menjaga sinergitas antar pilar good governance termasuk juga menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan perolehan dukungan yang luas.
Ketiga, pelayanan publik yang buruk tentunya akan dirasakan secara luas oleh masyarakat yang akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Adanya reformasi dari pelayanan publik yang buruk tentu manfaatnya akan dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Implementasi good governance yang berhasil akan membangkitkan kepercayaan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Sehingga masyarakat berpemikiran bahwa good governance dapat menjadi sebuah kenyataan, tidak hanya sebagai angan-angan belaka.
Keempat, perbaikan pelayanan publik dapat menghentikan praktik bad governance yang telah menjamur dan menjadi budaya yang buruk di pemerintah. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa adanya pungutan liar (pungli) merupakan hal yang wajar bahkan merasa benar karena terselesainya pelayanan dengan cepat. Toleransi bad governance ini tentu berbahaya terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga budaya bad governance ini harus dicegah mulai dari penanaman nilai-nilai good governance dalam pelayanan publik.
Kelima, perbaikan pelayanan publik diharapkan munculnya tokoh internasional yang memberikan respon terhadap problematika pelayanan publik. Governance memiliki definisi yang lebih meluas dibandingkan government. Governance meliputi segala pilar bahkan hingga mekanisme pasar. Sudah banyak terjadi keterkaitan antar pilar tersebut dalam pelayanan publik. Sehingga, sebenarnya praktik good governance dalam pelayanan publik sudah menjadi hal yang umum dan sepatutnya dilakukan. Pengembangan segala pilar good governance dapat menciptakan redistribusi dan reposisi yang proporsional dan saling melengkapi yang akan semakin mengembangkan sinergitas antar pilar. Hal ini tentunya akan menciptakan kewibawaan Indonesia di kancah Internasional, sehingga banyak aktor Internasional yang tertarik untuk melakukan segala macam upaya di Indonesia, seperti melakukan bisnis, menanamkan investasi dan pasar modal, dan lain sebagainya.
Keenam, kemudahan dalam melihat indikator dan tolok ukur mengenai keberhasilan pelayanan publik yang berasaskan good governance. Hal tersebut dapat dilihat melalui akuntabilitas yang tinggi, berdaya tanggap terhadap suatu problematika yang terjadi, non-diskriminatif, dan efisiensi. Kemudahan dalam menilai pengembangan pelayanan publik yang berasaskan good governance menjadikan suatu hal yang sangat efektif. Hal ini tentu akan menciptakan kenyamanan bagi pemerintah, yang tentunya juga akan menciptakan kesejahteraan masyarakat.