Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Pidana

Jenis-Jenis Delik dalam Hukum Pidana

Redaksi Literasi Hukum
1464
×

Jenis-Jenis Delik dalam Hukum Pidana

Sebarkan artikel ini
delik dalam hukum pidana
Ilustrasi gambar oleh penulis

Literasi Hukum – Delik juga diartikan sebagai “perbuatan pidana”, sehingga ketika membahas delik maka sama halnya membahas jenis-jenis perbuatan pidana. Selanjutnya terkait jenis-jenis delik, terdapat beberapa contoh jenis delik yang penulis uraikan sebagai berikut:

Kejahatan adalah perbuatan yang disengaja atau suatu tindakan pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang ditetapkan oleh negara. Jadi, secara tegas bahwa perilaku kejahatan dapat dikenai sanksi yang ditetapkan secara resmi oleh negara. Di dalam KUHP Indonesia, lebih tepatnya di dalam buku kerua KUHP adalah perbuatan pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan , sedangkan buku ketiga KUHP adalah perbuatan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran.

Pembagian perbuatan pidana ke dalam kejahatan dan pelanggaran membawa beberapa konsekuensi. Pertama, tindakan dan akibat yang ditimbulkan kejahatan lebih berbahaya bila dibandingkan dengan pelanggaran. Kedua, konsekuensi dari yang pertama, sangat berpengauh pada sanksi pidana yang dicantumkan. Tentu kejahatan ancaman pidananya lebih berat daripada pelanggaran. Ketiga, pecobaan melakukan suatu kejahatan, maksumum ancamannya dikurangi sepertiga, sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam pidana.

Delik Formil dan Delik Materiil

Membahas delik formil dan materiil memiliki hubungan dengan suatu “perbuatan” itu sendiri. Bahwa dalam melakukan seuatu perbuatan maka akan terdapat suatu tindakan dan juga akibat yang akan diperoleh/terjadi. Agar mudah dipahami delik formil merupakan delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan delik materiil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat. Contoh delik formil adalah terdapat dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Semisal seseorang diketahui telah mengambil sebuah handphone milik orang lain, namun karena perbuatannya diketahui oleh pemilik kemudian seseorang tersebut tidak jadi mengambil handphonenya, maka orang tersebut tetap memenuhi unsur pencurian, karena perbuatan pencurian dirumuskan secara formil yang lebih menitikberatkan pada tindakan. Sedangkan contoh delik materiil adalah terdapat dalam Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan.

Semisal A dengan sengaja berniat ingin membunuh di B dengan menembak dari jarak jauh, kemudian si A menembakkan pelurunya ke B, namun ternyata mengenai tangan dan si B dilarikan ke rumah sakit kemudian dinyatakan tidak meninggal dunia. Karena Pasal 338 dirumuskan secara materiil yang fokus pada akibat, maka di A tidak dapat dikatakan membunuh si B, karena perbuatannya tidak membuat di B meninggal, A hanya dikatakan melakukan percobaan pembunuhan.

Delik Biasa dan Delik Aduan

Delik biasa dan delik aduan merupakan salah satu delik yang sangat penting dalam proses peradilan pidana. Lebih banyak dalam KUHP adalah delik biasa, dimana untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara tersebut tidak dibutuhkan pengaduan. Di dalam KUHP sendiri paling sedikit terdapat tiga bab yang berkaitan dengan delik aduan. Pertama, bab XVI berkaitan dengan penghinaan. Terdapat lima perbuatan yang dikualifikasikan sebagai penghinaan, yaitu; menista, memfitnah, penghinaan ringan, mengadu secara memfitnah, dan tuduhan secara memfitnah. Sedangkan beberapa contoh delik biasa seperti; perbuatan penganiayaan, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya.

Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan

Sengaja (opzet) atau dolus dan alpa adalah bentuk-bentuk kesalahan dalam hukum pidana. Pembagian kejahatan ke dalam delik kesengajaan atau kealpaan hanya menandakan bentuk kesalahan dalam suatu rumisan delik. Hal ini berimplikasi pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Menurut Simons bentuk kesalahan harus diartikan sebagai kesengajaan. Secara prinsip, jika suatu rumusan delik menyebutkan bentuk kesalahan berupa kesengajaan secara eksplisit, maka penuntut umum harus membuktikan kesengajaan tersebut. Sebaliknya, jika dalam suatu rumusan delik tidak menyebutkan bentuk kesalahan secara eksplisit, maka dengan dapat dibuktikannya unsur-unsur delik, bentuk kesalahan berupa kesengajaan dianggap telah terbukti dengan sendirinya.

Referensi

  • Eddy, O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016.
  • Said Karim, Delik-Delik di Dalam Kodifikasi, Buku Ajar, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Transformasi Delik dalam UU TIpikor
Stasiun Artikel

Dalam hukum pidana, delik dibagi menjadi delik formil dan materiil yang memiliki perbedaan pada mekanisme pembuktiannya. Transformasi delik pernah terjadi pada tindak pidana korupsi di Indonesia, di mana UU Tipikor awalnya merumuskan korupsi sebagai delik formil dengan konsep potential loss. Namun, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengubahnya menjadi delik materiil, sehingga kerugian negara harus dibuktikan secara nyata (actual loss). Transformasi ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan mencegah kriminalisasi tanpa dasar yang jelas.

Aplikasi Konseptual Delik Materiil dalam Hukum Pidana
Stasiun Artikel

Delik materiil dalam hukum pidana adalah jenis tindak pidana yang dianggap selesai ketika akibat dari perbuatan tersebut terjadi. Berbeda dengan delik formil yang fokus pada terpenuhinya unsur perbuatan, delik materiil menitikberatkan pada hasil akhir, seperti terampasnya nyawa dalam kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Dalam pembuktiannya, delik materiil memerlukan adanya akibat nyata dari perbuatan, sedangkan delik formil cukup membuktikan unsur perbuatan tanpa memperhatikan akibatnya. Pemahaman dan pembedaan keduanya penting untuk menjaga kepastian hukum.

Aplikasi Konseptual Delik Formil dalam Hukum Pidana
Stasiun Artikel

Delik materiil dalam hukum pidana adalah jenis tindak pidana yang dianggap selesai ketika akibat dari perbuatan tersebut terjadi. Berbeda dengan delik formil yang fokus pada terpenuhinya unsur perbuatan, delik materiil menitikberatkan pada hasil akhir, seperti terampasnya nyawa dalam kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Dalam pembuktiannya, delik materiil memerlukan adanya akibat nyata dari perbuatan, sedangkan delik formil cukup membuktikan unsur perbuatan tanpa memperhatikan akibatnya. Pemahaman dan pembedaan keduanya penting untuk menjaga kepastian hukum.