Literasi Hukum – Artikel ini membahas konsep penyertaan dalam tindak pidana (deelneming) dalam hukum pidana, yang melibatkan peran pelaku utama (pleger) dan pelaku turut serta (medepleger), serta bagaimana keduanya dapat diberi sanksi pidana yang sama. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, bentuk-bentuk penyertaan dalam tindak pidana, dan contoh kasus pembunuhan berencana yang melibatkan kedua peran tersebut, lengkap dengan analisis pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman.
Dalam konsep penyertaan tindak pidana (deelneming), ada yang berperan sebagai pelaku utama (pleger) dan ada juga yang berperan sebagai pelaku turut serta (medepleger). Jika pleger dan medepleger memiliki ide dan peran yang setara dalam suatu tindak pidana, maka keduanya berpotensi untuk diberi ganjaran sanksi pidana yang sama dan setara.
Hukuman Mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana telah diketahui dalam berbagai literatur, sanksi dalam hukum pidana merupakan sanksi yang paling berat, karena berisi suatu penderitaan/nestapa sehingga penjatuhannya harus dilakukan secara hati-hati dan diupayakan untuk sebagai sarana penyelesaian terakhir atas suatu permasalahan hukum (konsep ultimum remedium). Sanksi pidana sangat menekankan unsur pembalasan (pengimbalan), dalam bentuk penderitaan yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana. Diharapkan pelaku tindak pidana tersebut akan jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya serta melindungi masyarakat dari ancaman yang merugikan.
Pidana mati merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jenis-jenis sanksi pidana yang berlaku di Indonesia adalah pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Mengenai pemidanaan mati itu sendiri pada intinya adalah penghukuman yang dilakukan oleh negara dalam bentuk menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia masih menerapkan sanksi pidana mati yang merupakan pidana yang terberat. Pidana mati pada faktanya masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang pro terhadap hukuman mati memiliki basis argumentasi efek penjeraan, sedangkan pihak yang kontra atas hukuman mati menganggap hukuman tersebut termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karenanya, sampai dangan saat ini, hukuman mati juga terkadang menjadi isu politik yang melewati batas-batas negara.
Bentuk-bentuk Penyertaan Dalam Tindak Pidana.
Konsep atau bentuk penyertaan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Majelis Hakim yang menyidangkan suatu perkara pidana akan mempertimbangkan dan menentukan vonis hukuman pidana sesuai dengan peran masing-masing pelaku tindak pidana. Adapun bunyi atau isi dari Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
- mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
- mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Apabila kita mencermati ketentuan dalam Pasal 55 KUHP tersebut, maka bentuk-bentuk penyertaan pada intinya dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Plager, adalah pelaku utama, memenuhi semua rumusan delik dan dipandang sebagai yang paling bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah terjadi.
- Doenpleger, adalah orang yang menyuruh melakukan. Seseorang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana.
- Medepleger, adalah orang yang secara sengaja atau secara sadar turut serta berbuat atau mengerjakan suatu perbuatan pidana yang tentu saja dilarang oleh Undang-Undang. Medepleger melakukan kesepakatan dengan pelaku utama (plager) untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersamasama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana tersebut.
Contoh Kasus: Penyertaan dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana.
Suatu peristiwa tindak pidana yang cukup sadis dan mengusik nurani kemanusiaan terjadi di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Seoran pria bernama AG yang sempat tidak diketahui keberadaannya sejak April 2021 ternyata menjadi korban tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh kakak sepupunya sendiri bernama EG.
EG mengalami masalah finansial/keuangan akibat kebiasaannya berjudi hingga memiliki hutang sebesar puluhan juta rupiah. Dalam keadaan bingung EG kemudian menempuh jalan pintas untuk mendapatkan uang tunai segera dengan merencanakan penculikan terhadap korban AG yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Rencana awalnya adalah EG akan menyekap korban AG untuk selanjutnya meminta tebusan kepada orang tua korban AG jika ingin anaknya selamat.
EG menyekap korban AG dalam sebuah ruangan dekat kandang ayam. Sebelumnya EG telah menunggu korban AG melintas di dekat kandang ayam tersebut untuk kemudian mengancam dengan menodong korban AG menggunakan sebilah badik dan memaksanya masuk ke dalam ruangan. Korban AG disekap dalam keadaan terikat di sebuah kursi dan mulut tertutup oleh lakban. EG sempat menusuk paha korban AG dengan menggunakan sebilah badik yang sebelumnya hanya ingin digunakan untuk mengancam saja.
EG kemudian menghubungi rekannya bernama M untuk membantunya merekam video penculikan dan permintaan uang tebusan. Rekaman video penculikan awalnya direncanakan di sebuah tempat yang jauh dari permukiman warga. EG dan M sempat membawa korban AG berkeliling dengan mengendarai mobil untuk mencari daerah yang sepi. Namun, tidak ditemukan lokasi yang memungkinkan hingga kemudian diputuskan perekaman akan dilakukan di lokasi semula yaitu ruangan dekat kandang ayam. Pada saat di dalam mobil, korban AG sempat berteriak meminta tolong dan melakukan perlawanan. Dalam keadaan panik, EG menikam leher korban AG menggunakan badik dengan maksud dan tujuan agar korban AG tidak berteriak kembali.
Pada saat tiba di lokasi awal, EG melakuka rekaman penculikan menggunakan Handphone miliknya. EG kemudian berdiskusi dengan M mengenai nasib korban AG yang sudah penuh dengan luka. Sempat terpikir untuk menenggelamkan korban ke laut atau menguburnya ke dalam tanah, EG dan M memutuskan untuk menghabisi nyawa korban AG dengan menjerat/melilit leher korban AG dengan kabel hingga korban AG kehabisan nafas dan meninggal dunia. EG dan M kemudian mengubur jasad korban AG di sebuah kebun nanas.
Analisis Singkat Pertimbangan Majelis Hakim.
EG dan M sama-sama didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum telah secara bersama-sama melakukan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). EG dikonstruksikan sebagai pelaku utama (plager) dan telah divonis pidana mati oleh Pengadilan Negeri Tarakan. Sedangkan M dikonstruksikan memiliki peran sebagai pelaku yang turut serta melakukan. Syarat utama dari terjadinya turut serta melakukan tindak pidana adalah adanya kerja sama yang disadari antara para pelaku, adanya kehendak bersama di antara para pelaku, serta bersama-sama melakukan kehendak itu. Menurut Judex Facti tingkat pertama, dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan benar terbukti baik EG dan M sama-sama berkehendak untuk mengilangkan nyawa korban AG dan melaksanakan apa yang telah mereka rencanakan tersebut secara bersama-sama hingga tuntas. Pengadilan Negeri Tarakan kemudian menyatakan M terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama dan dijatuhi pidana penjara seumur hidup sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor 90/Pid.B/2023/PN.Tar tertanggal 31 Agustus 2023.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara selaku Judex Facti tingkat banding mengamini dan setuju terhadap pertimbangan hukum Judex Facti tingkat pertama. Namun, Judex Facti tingkat banding tidak sependapat mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada M. Menurut Judex Facti tingkat banding, M dan EG mempunyai ide dan peran yang sama dalam melaksanakan rencana untuk menghilangkan nyawa korban. Jika kita mencermati kembali fakta-fakta hukum yang terungkap, maka pertimbangan dari Judex Facti tingkat banding dapat dibenarkan dengan alasan pertama, M dan E berada dalam mobil yang sama saat membawa korban AG berputar-putar untuk mencari lokasi yang sepi. Kedua, EG dan M sama-sama melilit/menjerat leher korban AG dengan kabel hingga meninggal dunia. Ketiga, EG dan M bekerja sama untuk mengubur jasad korban AG. Oleh karena itu, M selaku medeplager dapat dikategorikan memiliki peran yang setara dengan EG selaku plager, dan M layak untuk mendapatkan ganjaran hukuman pidana yang sama dengan yang didapatkan oleh EG yaitu pidana mati sebagaimana dimaksud dalam Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara Nomor 51/PID/2023/PT TJS tertanggal 23 November 2023. Pada akhirnya, perkara yang melibatkan M telah berkekuatan hukum tetap dan M tetap dijatuhi vonis pidana mati sama dengan EG sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 401 K/Pid/2024.