Literasi Hukum – Artikel ini mengulas pandangan terhadap pendidikan sebagai dunia penuh kebaikan dan keindahan, yang menghadapi tantangan di era modern dengan kompleksitas masalah sosial, hukum, dan profesi. Diskusi berpusat pada dilema yang dihadapi guru dalam menegakkan disiplin sambil memenuhi tuntutan perlindungan anak. Artikel ini juga mengeksplorasi perdebatan seputar penggunaan hukuman fisik atau corporal punishment sebagai metode disiplin, yang sering kali dianggap bagian dari pendidikan namun bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak. Dengan melihat kasus-kasus hukum, artikel ini mempertanyakan batas antara pendidikan dan kekerasan di lingkungan sekolah.
Paradigma Pendidikan: Antara Harapan Ideal dan Realitas Kompleksitas Sosial-Hukum
Pendidikan dari zaman klasik sampai modern, masyarakat cendrung menganggap pendidikan merupakan dunia yang sarat akan nilai-nilai kebaikan (etika) dan nilai-nilai keindahan (estetika), bahkan secara ekstrem disebut sebagai dunia tanpa cela, karena dunia pendidikan merupakan dunia untuk mewujudkan manusia lebih tangguh, bermartabat dan bermoral, sehingga manusia akan dapat survive dalam mengatasi masalah-masalah dalam hidupnya. Apakah benar, anggapan semacam itu masih tetap eksis dalam dunia pendidikan di tengah-tengah dunia yang serba berubah?
Ditengah kehidupan masyarakat kontemporer, anggapan ini telah mengalami pergeseran-pergeseran yang cukup signifikan seiring dengan dinamika sosial, yang senyatanya dunia pendidikan bukanlah dunia yang bebas dari masalah, bukan juga dunia yang tanpa cela. Namun penuh dengan kompleksitas masalah, baik masalah internal dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri, maupun masalah eksternal, sehingga dapat menghambat tujuan pendidikan yang ingin dicapai yakni untuk“..Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Beberapa faktor masalah diatas turut berkelindan dan belum mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah. Masalah pendidikan ini sesungguhnya tidaklah sebatas masalah sosial-ekonomi saja, namun turut merembet kepada masalah yang berada dalam ranah hukum, yang berunjung pada ketidakpastian dalam konteks perlindungan hukum bagi guru di dunia Pendidikan.
Ketidakpastian perlindungan hukum bagi seorang guru bisa kita lihat, dalam beberapa kasus misalnya, kasus guru honorer Supriyani yang mengabdi di SDN 4 Baito, Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) masih viral di media sosial. Hampir sama dengan kasus serupa, hal ini bisa dilihat melalui Putusan MA No. 2024 K/PID.SUS/2009 dan Putusan MA No. 1554 K/PID.SUS/2013.
Berangkat dari kasus diatas, posisi seorang guru sebagai tenaga pendidik seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun di sisi lain, tatkala para guru berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal mengantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, sebagai pendidik guru acapkali dituding menjadi biang keladi atas kegagalan tersebut.
Guru dan Dilematis Profesi
Bagi seorang guru, tugas dan fungsi profesi mereka bukan hanya mentransfer ilmu kepada peserta didiknya, lebih dari itu, misi kultus mulia seorang guru adalah menjadikan peserta didikanya menjadi manusia yang dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang disekitarnya, maka dalam rangka melaksanakan tugas mulia tersebut, guru harusnya diberikan kebebasan dalam memberikan hukuman kepada perta didiknya yang bersifat mendidik (lihat Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen).
Jaminan kebebasan bagi seorang guru kepada peserta didiknya yang bersifat mendidik telah dijamin oleh peraturan perundang-undnagan hal ini diatur dalam pasal 39 ayat 1 (PP No 74/2008 Tentang Guru) mengatakan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya” selanjutnya, pada ayat 2 menyebutkan Sanksi dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru, dan peraturan perundang-undangan. Dalam kegiatan mendidik guru diberi perlindungan oleh hukum untuk menjalankan tugas dan fungsi sebagai pendidik, hal ini bisa dilihat dalam pasal 40 sampai 42 PP No 74/2008 Tentang Guru.
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah diatas tampaknya berbenturan ketika guru berupaya mendisiplinkan siswa dalam proses pembelajaran di kelas, yang mungkin saja terjadi kekerasan dalam bentuk hukuman. Misalnya; siswa yang tidak menuruti aturan sekolah; seperti; melanggar tata tertib sekolah, tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR). Sehingga si guru merasa tidak dihargai dan dihormati, maka terjadilah hukuman fisik dari guru kepada siswa dalam bentuk tamparan, pukulan, jeweran dan lain sebagainya. Padahal hukuman dimaksud pada dasarnya adalah hukuman yang mendidik “yang tidak menciderai”, agar si anak tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan di sekolah.
Benturan tugas dan fungsi ini, ketika guru mendisiplinkan siswa harus berhadapan dengan Hukum Perlindungan Anak. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak”. Selanjutnya Pasal 80 ayat (1) merupakan pasal yang digunakan oleh orang tua murid melaporkan guru yang memberikan hukuman kepada muridnya. Undang-undang Perlindungan Guru dan Dosen adalah tesa, dan Undang-undang Perlindungan anak sebagai antitesa dalam konsep perlindungan bagi seorang Guru dalam menjalankan fungsi pendidikan, khususnya upaya penegakan disiplin siswa.
Hilangnya Garis Batas Corporal Punishment dalam Pendidikan Indonesia
Salah satu lingkungan di mana anak rentan menjadi korban kekerasan adalah sekolah. Di sekolah misalnya, kekerasan terhadap anak dapat dilakukan baik oleh oknum tenaga pendidik, tenaga administratif, bahkan anak didik (murid) itu sendiri. Berdasarkan motivasinya, kekerasan yang terjadi di sekolah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pertama, kekerasan murni (tanpa disertai alasan-alasan yang rasional), seperti penganiayaan, dan perkelahian antar murid. Kedua, penerapan metode pembelajaran yang mengandung unsur kekerasan, misalnya penggunaan hukuman disiplin untuk mendapatkan kepatuhan murid atau memperbaiki perilaku murid yang keliru.
Di antara semua fenomena kekerasan yang menimpa anak di sekolah, tindakan penggunaan hukuman fisik terhadap anak jarang menarik perhatian masyarakat. Pemberian hukuman fisik sebagai sarana disiplin, yang selanjutnya disebut dengan istilah corporal punishment ini, umumnya tidak dipandang sebagai tindak kekerasan,melainkan sebagai bagian dari sarana pembelajaran yang cepat dan ampuh untuk mendisiplinkan atau menuntut kepatuhan anak.
Meskipun hukuman tersebut mengandung muatan kekerasan di dalamnya, baik fisik maupun psikis seperti: mencubit, memukul, menjewer telinga, berdiri di depan kelas atau di lapangan upacara, lari keliling lapangan, dan berbagai bentuk penugasan yang irrasional lainnya. Namun sayangnya praktek hukuman disiplin ini acapkali dipandang lumrah dan memiliki tujuan positif demi kepentingan terbaik anak.
Berbeda dengan kekerasan pada umumya, penggunaan hukuman disiplin (Corporal punishment) ini merupakan topik yang masih menuai perdebatan diberbagai kalangan. Bagi kalangan yang pro, penggunaan hukuman disiplin ini merupakan sebuah kewajaran untuk mendidik dan memperbaiki perilaku anak. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak sepakat berpendapat bahwa substansi dari hukuman disiplin itu sebenarnya bersifat kekerasan (violent), yang cenderung merugikan anak baik secara fisik maupun psikis (Ateng Sudibyo dan Eki Kiyamudin. Perlindungan Hukum Terhadap Guru Dalam Melaksanakan Tugas Keprofesionalannya Dikaitkan Dengan Punishment Dalam Mendisiplinka Siswa. Persumption Of Law Vol.1 No. 2. 2019)
Alhasil terjadinya perbedaan pandangan dalam memahami konteks tersebut lebih disebabkan karena perbedaan sudut pandang yang digunakan dalam memahami konsep corporal punishment itu sendiri. Dengan demikian, anggapan yang menyamakan Corporal punishment dengan penganiayaan fisik pada umumnya juga tidak dapat dihindarkan. Sedangkan, pemerintah dalam mengeluarkan aturan tidak memiliki batasan hukum yang tegas perihal penganiayaan maupun corporal punishment.
Dengan demikian, anggapan yang menyamakan corporal punishment dengan penganiayaan fisik pada umumnya juga tidak dapat dihindarkan. Konsekuensinya, pasal-pasal penganiayaan atau kekerasan fisik (sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak) pun dipandang cukup efektif dikenakan pada kasus-kasus corporal punishment pada umumnya. Padahal praktek penggunaan corporal punishment sebagai sarana disiplin di lingkungan sekolah tidak dapat dipisahkan dari profesi guru.