Opini

Bullying di Pondok Pesantren: Perspektif Hukum Islam dan Pidana

Dhea Salsabila
2157
×

Bullying di Pondok Pesantren: Perspektif Hukum Islam dan Pidana

Sebarkan artikel ini
Bullying di Pondok Pesantren
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumBullying atau perundungan belakangan ini menjadi isu yang marak terjadi di Indonesia. Tidak hanya di kalangan masyarakat, tindakan mengganggu dan menyakiti orang lain juga masif terjadi dalam lingkup pendidikan Islam.

Artikel ini membahas tentang fenomena bullying yang kerap terjadi di pondok pesantren serta bagaimana hukum Islam dan hukum pidana memandang kasus tersebut.

Mengenal Perilaku Bullying

Tindakan bullying atau perundungan dapat didefinisikan sebagai kekerasan atau penindasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau kelompok yang lebih kuat.

Secara yuridis, tindakan kekerasan dipaparkan dalam Pasal 1 angka 16 UU Nomor 35 tahun 2014, yakni segala perbuatan yang dilakukan terhadap anak sehingga menimbulkan kesengsaraan atau  penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Peristiwa perundungan dapat terjadi pada lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas. Pelaku perundungan umumnya adalah mereka yang menjadi tokoh populer dan memiliki kuasa di wilayah atau sekolah tersebut. Sedangkan korban biasanya adalah orang-orang yang lebih junior, kurang percaya diri, pemalu, pendiam, dan mereka yang merasa lemah.

Jenis-Jenis Bullying

Antonius P.S. Wibowo melalui bukunya yang berjudul “Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah” membagi tindakan perundungan menjadi 3 jenis, yakni:

(1) Bullying Fisik

Perundungan jenis ini dintandai dengan adanya sentuhan fisik antara pelaku dan korban serta bisa dilihat secara kasat mata.

Perundungan fisik umumnya meliputi mendorong, menendang, mencubit, menjambak, menampar, mencakar, menyakiti dengan dengan benda, melakukan pemerasan, merusak barang milik orang lain, dan sebagainya.

(2) Bullying Verbal

Perundungan jenis ini ditandai dengan adanya perilaku kasar atau kurang baik yang dilakukan terhadap seseorang melalui perkataan atau ucapan. Perundungan jenis ini bisa menyakiti orang lain hanya melalui kata-kata.

Adapun beberapa perilaku yang termasuk perundungan verbal antara lain, membentak, mengancam, menghina, mencaci-maki, merendahkan, melontarkan kata-kata kasar atau kotor kepada korban, melakukan intimidasi, menyebarkan gosip, memanggil dengan nama atau istilah yang menyakiti korban, dan sebagainya.

(3) Bullying Psikologis

Perundungan jenis ini terbagi menjadi 2 kategori, yakni bullying non verbal langsung dan bullying non verbal tidak langsung.

  • Non Verbal Langsung

Perundungan jenis ini ditandai dengan adanya pandangan atau ekspresi muka yang sinis dan penuh ancaman kepada korban. Pada kasus perundungan ini, umumnya disertai perundungan fisik dan verbal.

  • Non Verbal Tidak Langsung

Perundungan jenis ini ditandai dengan perilaku mendiamkan korban, mengucilkan, mengabaikan, memfitnah, meneror, menakut-nakuti, serta mengejek melalui media sosial.

Selain perundungan yang telah disebutkan di atas, terdapat 2 jenis perundungan lain yang dikemukakan oleh McCulloch dan Barbara, yakni:

(1) Social Bullying

Perundungan jenis ini diartikan sebagai penindasan dalam bentuk sosial, seperti menyuruh orang lain untuk tidak berkawan dengan seseorang, menyebarkan desas-desus palsu, atau membuat malu orang lain di depan khalayak umum.

(2) Cyberbullying

Perundungan jenis ini diartikan sebagai setiap tindakan yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk mendorong sikap permusuhan yang disengaja dan/atau terus menerus oleh individu maupun kelompok dengan tujuan untuk merugikan orang lain.

Fenomena Bullying di Pondok Pesantren

Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan berbasis keagamaan, dalam mempelajari, mendalami, memahami, menghayati, serta menerapkan nilai-nilai Islam harus lebih memfokuskan atau menekankan tingkah laku atau akhlak yang sesuai nilai-nilai Islam sebagai patokan dalam berperilaku.

Menurut data layanan SAPA 129, kasus perundungan di lingkungan pendidikan baik di sekolah atau pesantren pada tahun 2023, mencapai 49 kasus dengan jumlah 63 korban.

Awal 2024, tepatnya pada tanggal 23 Februari, kematian Bintang Balqis Maulana (14) menjadi pembuka atas kasus bullying di Pondok Pesantren. Ia merupakan santri Pondok Pesantren Al-Hanifiyyah di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Pada tubuhnya ditemukan sejumlah luka lebam, bekas sundutan rokok di kaki, luka jeratan leher, patah hidung, hingga luka di bagian dada.

Mirisnya, pihak pesantren justru mengklaim bahwa kematian Bintang disebabkan karena terjatuh di kamar mandi. Bahkan, pengasuh pondok pesantren tersebut tidak mengetahui adanya tragedi yang menimpa santrinya. Hal tersebut menunjukkan betapa kurang pengawasan yang dilakukan oleh pihak pesantren.

Bullying di pondok pesantren sudah menjadi rutinitas yang selalu terjadi. Sepanjang tahun 2023, terdapat berbagai kasus perundungan dalam lingkup pesantren. Desember 2023, seorang santri berinisial H (18) dari Pondok Pesantren Husnul Khotimah tewas dikeroyok oleh temannya.

Kasus serupa juga terjadi pada bulan September 2023, seorang santri di pondok pesantren di Temanggung berinisial MNF (15) tewas akibat kasus perundungan. Sementara itu, pada Maret 2023, seorang santri berusia 16 tahun di pondok pesantren Bangkalan, Madura tewas denganluka lebam serius di bagian punggung, lengan, dan dada.

Faktor-Faktor Bullying di Pondok Pesantren

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab maraknya perundungan di lingkungan pesantren, seperti:

(1) Senoritas

Santri yang telah lebih dulu mondok biasanya merasa lebih berkuasa dibandingkan dengan santri baru. Hal tersebut berlaku juga bagi santri dengan usia yang lebih tua terhadap santri yang masih muda.

(2) Jauh dari Pengawasan Orang Tua

Santri berasal dari berbagai wilayah dengan budaya serta adat yang berbeda. Para santri yang tidak mempunyai kemampuan sosialisasi baik akan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru.

(3) Banyaknya Aturan yang Ditetapkan di Pesantren

Hal ini terkadang justur dianggap kaku dan kurang efektif mengatur perilaku negatif para santri. Meski aturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan santri, tetapi hal ini kerap dianggap sebagai pengekangan.

(4) Tidak Ada Tindak Tegas dari Pesantren

Minimnya pengawasan dan pembinaan terhadap santri, membuka peluang terjadinya perundungan yang berulang kali di kalangan pesantren.

(5) Adanya Label “Tempat Pembuangan”

Santri di pondok pesantren biasanya berdasarkan kehendak orang tuanya, bukan menurut kemauanan kesadarannya sendiri. Di kalangan masyarakat, pesantren kerap dilabeli sebagai “tempat rehabilitasi” atau “tempat pembuangan” terhadap anak yang memiliki perbuatan menyimpang. Alih-alih mendapat pembinaan, santri dengan akhlak yang kurang baik justru kerap membuat onar dan berbuat nakal di pesantren.

Dampak Bullying di Pondok Pesantren

Bullying sangat berdampak negatif pada korban karena dapat merugikan mereka baik secara fisik maupun emosional. Secara emosional korban akan mengalami kecemasan, kegelisahan, depresi, kesedihan, ketidaknyamanan, dan kehilangan motivasi. Kondisi yang dialami korban secara berulang kali dapat mempengaruhi kepercayaan diri, harga diri, serta pencapaian belajar.

Santri yang menjadi korban perundungan tidak akan betah menuntut ilmu di pesantren, tidak ada semangat belajar, dan akan berusaha keluar dari pesantren dengan berbagai alasan.

Secara lebih detail, Carter dan Spencer memaparkan beberapa dampak perundungan terhadap seseorang, yakni:

  1. Korban perundungan menjadi stres, tertekan, membenci pelaku bullying, membalas dendam, putus sekolah, merasa lesu, malu, tertekan, terancam, dan menyakiti diri sendiri.
  2. Citra diri korban perundungan menjadi lebih negatif karena merasa tidak diterima oleh temannya.
  3. Agresif bahkan sering berlanjut ke arah perilaku atau tindakan kriminal.
  4. Menjadi pelaku perundungan berikutnya.
  5. Gangguan kejiwaan (seperti kecemasan dan kesepian).
  6. Korban merasa tidak berguna atau rendah diri.
  7. Tidak menyukai lingkungan sosial.
  8. Cacat fisik permanen bahkan kematian.
  9. Gangguan emosi sehingga menyebabkan gangguan kepribadian.
  10. Muncul pikiran untuk bunuh diri.

Upaya Penanganan Bullying di Pondok Pesantren

Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pondok pesantren dalam menangani kasus perundungan, antara lain:

  1. Membekali santri dengan kegiatan positif, yakni kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekompakan antar santri.
  2. Membekali para santri supaya mampu mengatasi situasi yang tidak nyaman yang dapat muncul di lingkungan pesantren.
  3. Memberdayakan siswa untuk membela diri, menghindari menjadi korban kekerasan,
    melaporkan kekerasan yang mereka saksikan, dan mencari pertolongan.
  4. Mengurangi atau meniadakan jarak antara santri lama dan santri baru dengan menyediakan kegiatan lapangan tim yang kompetitif.
  5. Pembentukan komite pengawas untuk memantau sejauh mana bullying dapat dicegah.
  6. Memberikan layanan konseling dan pendampingan untuk melindungi dari intimidasi.

Bullying dalam Hukum Islam

Agama Islam melarang keras tindakan perundungan dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat [49] ayat 11.

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ مِّنۡ قَوۡمٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُوۡنُوۡا خَيۡرًا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٌ مِّنۡ نِّسَآءٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُنَّ خَيۡرًا مِّنۡهُنَّ‌ۚ وَلَا تَلۡمِزُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُوۡا بِالۡاَلۡقَابِ‌ؕ بِئۡسَ الِاسۡمُ الۡفُسُوۡقُ بَعۡدَ الۡاِيۡمَانِ‌ ۚ وَمَنۡ لَّمۡ يَتُبۡ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوۡنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (Al-Hujurat [49]: 11).

Merujuk pada penjelasan kitab Tafsir Al-Maraghi, ayat di atas turun berkenaan dengan teguran atas ejekan dan perundungan yang dilakukan oleh Bani Tamim kepada para sahabat nabi yang miskin.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki derajat yang sama di mata Allah SWT, sehingga tidak diperkenankan melakukan bullying.

Bullying dalam Hukum Pidana

Perundungan termasuk dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu, berdasarkan UU Perlindungan Anak dan perubahannya, bullying termasuk sebagai tindak pidana. Perundungan baik fisik maupun verbal diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 sebagai berikut:

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Lebih lanjut, pelaku yang melanggar pasal tersebut akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 80 UU 35/2014, yakni:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
  2. Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
  3. Apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Itulah uraian mengenai fenomena bullying yang kerap terjadi di pondok pesantren serta perspektif hukum Islam maupun hukum pidana dalam menindak perilaku perundungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.