OpiniIlmu Hukum

Critical Legal Studies (CLS)

Redaksi Literasi Hukum
198
×

Critical Legal Studies (CLS)

Share this article
Critical Legal Studies (CLS)
Critical Legal Studies (CLS)

Literasi Hukum – Critical Legal Studies (CLS) adalah pendekatan dalam ilmu hukum yang menolak pandangan bahwa hukum bersifat netral atau objektif. Aliran ini menyoroti aspek-aspek kekuasaan, struktur sosial, dan ketidaksetaraan yang mendasari sistem hukum.

Oleh: Miftakhul Shodikin

Critical Legal Studies (CLS) merupakan pendekatan dalam ilmu hukum yang muncul pada akhir abad ke-20 dan menawarkan perspektif kritis terhadap sistem hukum tradisional. CLS menolak pandangan bahwa hukum bersifat netral atau objektif, dan sebaliknya, menggali ke dalam aspek-aspek kekuasaan, struktur sosial, dan ketidaksetaraan yang mendasari sistem hukum. 

Aliran ini mencurigai formalisme hukum yang hanya menilai aturan-aturan hukum secara teknis tanpa memperhitungkan konteks sosialnya.

Tujuan CLS ini untuk mendeligitimasi klaim kebenaran, membongkar kuasa dan dominasi untuk membentuk sistem yang adil dan setara, sehingga doktrin-doktrin hukum yang telah terbentuk dapat direkonstruksi untuk mencerminkan pluralisme nilai yang ada.

CLS lebih condong untuk menyoroti dimensi sosial dan ekonomi dengan berusaha untuk memahami dampak hukum terhadap masyarakat serta bagaimana hukum dapat menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk mempertahankan ketidaksetaraan. 

Bahasa hukum juga menjadi fokus penting, karena CLS mengakui bahwa bahasa dapat memengaruhi penafsiran dan penerapan hukum. Secara keseluruhan, Critical Legal Studies mendorong pertanyaan-pertanyaan kritis tentang hukum dan berusaha untuk membuka wawasan terhadap konflik kepentingan, ketidaksetaraan, dan dinamika kekuasaan yang tersembunyi dalam sistem hukum. 

Pendekatan ini telah membantu memperkaya diskusi dalam ilmu hukum dengan menyoroti kompleksitas dan konsekuensi sosial dari kebijakan dan keputusan hukum.

Dalam pandangannya, CLS mengungkapkan bahwa hukum merupakan  variabel yang bergantung dengan variabel politik. Artinya pemikiran CLS terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik (law is politics) sehingga CLS menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum. 

CLS mengkritik hukum yang berlaku karena telah memihak ke politik dan tidak pernah netral. Doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya lebih berpihak pada mereka yang mempunyai kekuatan (power) sehingga disimpulkan bahwa hukum itu cacat sejak dilahirkan karena terbentuk melalui “pertempuran” politik yang cenderung berpihak dan subyektif demi kepentingan golongan tertentu.

Selain itu CLS mencontohkan bagaimana hukum selalu “diganggu” dengan kepentingan politik dan ekonomi pada anggota legislatif yang sedang membuat sebuah undang- undang. 

Menurut CLS, dalam setiap pembentukan undang- undang, pasti terdapat dua kepentingan yang membayanginya, yaitu kepentingan relasi kekuasaan (power) dan relasi pasar (ekonomi). 

Oleh sebab itu,  “warna” hukum akan bergantung pada rezim politik yang berkuasa. Jika sistem politik berkarakter otoriter, maka produk hukumnya represif. 

Sebaliknya jika sistem politik berkarakter demokratis maka produk hukumnya responsif. Itulah mengapa hukum merupakan variabel yang bergantung dengan variabel politik dengan kata lain bahwa produk hukum bergantung pula dengan produk politik. 

Di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. 

Doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itu, dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power- relations. 

Lebih lanjut, CLS tidak percaya netralitas dari putusan hakim. Hakim yang digaungkan oleh aliran realisme hukum ternyata juga belum bisa memberikan keadilan karena bisa saja putusannya tidak objektif dikarenakan dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya. 

CLS juga mempunyai karakter menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum, otonomi hukum, dan pemisahan hukum dengan politik. Sebagai contohnya CLS melakukan kritik terhadap persamaan di hadapan hukum (equality before the law). 

Baca Juga: Mengenal Teori Hukum

Asas ini adalah asas yang mengandung persamaan di depan hukum dari sebuah idealisme negara hukum. Tetapi bagi CLS, prinsip ini patut dicurigai karena setiap proses pembuatan hukum itu sangat elitis sehingga seringkali hanya menguntungkan pihak elit dan merugikan pihak strata bawah. Persamaaan hukum akan menjadi sesuatu yang utopis.

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.