Latar Belakang
Literasi Hukum – Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam artikel berjudul “Aplikasi Konseptual Delik Formil dalam Hukum Pidana”, bahwa delik dalam hukum pidana terbagi menjadi dua yaitu delik formil dan materiil. Sekilas definisi dan aplikasi delik formil telah dijelaskan dalam artikel tersebut. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas delik materiil sebagai satu kesatuan konseptual dalam paradigma hukum pidana.
Delik materiil ini secara sekilas lalu mungkin akan ada yang mengatakannya sebagai delik yang berkonfrontasi atau berkebalikan dengan delik formil. Dasar asumsi tersebut kemungkinan besar beranjak dari kata sifat yang melekat pada kata delik itu sendiri yaitu “formil” dan “materiil” yang memang terkesan berdiametral atau berseberangan. Namun nyatanya, dalam ranah konseptual kedua terminologi ini tidak sepenuhnya saling berkebalikan karena sisi irisannya tidak sampai menjadikan keduanya mengandung makna yang bertolak belakang. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan contoh delik materiil beserta tambahan perbedaan pembuktian kedua delik ini dalam hukum pidana.
Delik Materiil
Pengertian suatu istilah tidak dapat lepas dari pengertian secara bahasa terlebih dahulu karena pengertian secara bahasa inilah yang memberikan makna asal. Makna asal dari suatu terminologi tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan dari bahasa asli yang membentuk kata istilah tersebut. Oleh karenanya merujuk pada pengertian secara bahasa memiliki urgensinya tersendiri.
Delik materiil secara bahasa dapat dipahami sebagai delik yang dilekatkan dengan sifat “materiil”. Oleh karenanya pengertian kata “materiil” tersebut perlu disinggung terlebih dahulu. Kata “materiil” dapat ditelusuri sebagai kata sifat yang terbentuk dari kata “materi” atau benda. Dengan bentuknya sebagai kata sifat, maka kata “materiil” sendiri berarti sifat kebendaan atau sifat yang melekat pada benda itu sendiri.
Sifat materiil ini jika dimasukkan ke dalam konsep berpikir maka akan sampai pada titik pemahaman bahwa yang dimaksud materiil ada sesuatu yang berkenaan langsung dengan “apa” yang dibahas. Materi atau benda yang dimaksud dalam konteks ini adalah objek yang menjadi sorotan dalam pembahasan. Semisal diselenggarakanlah sebuah diskusi ilmiah yang materi pembahasannya adalah “Globalisasi”, maka objek yang menjadi sorotan dalam diskusi tersebut adalah “Globalisasi” itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa objek yang menjadi sorotan tersebut adalah inti dari sebuah wadah “formil” yaitu diskusi. Tanpa adanya inti “materiil” tersebut, maka wadah “formil” berupa diksusi ilmiah tersebut akan hampa dan tidak bermakna. Sedangkan jika inti “materiil” tersebut tidak diberikan wadah “formil”, maka tidak akan berbentuk. Oleh karenanya dua aspek ini saling membutuhkan bukan malah saling bertolak belakang.
Ketika dilekatkan dengan kata delik, kata materiil ini mengalami penyesuaian makna dan tidak seutuhnya mengandung makna aslinya. Delik materiil bukanlah berarti delik yang mengacu pada “inti” sebagaimana delik formil yang mengacu pada “bentuk”. Delik materiil ini dapat dikatakan sebagai delik “lanjutan” dari delik formil karena tujuan akhir delik materiil lebih “jauh” daripada delik formil.
Dalam paradigma hukum pidana, delik materiil adalah delik yang dianggap selesai jika terjadi “akibat” dari suatu perbuatan pidana. Rumusan delik materiil ini tidak memedulikan bentuk dari perbuatan pidana karena fokusnya adalah akibat dari perbuatan tersebut. Jika akibat dari suatu perbuatan pidana telah terjadi, maka barulah dihitung sebagai perbuatan pidana.
Contoh delik materiil ini adalah Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal pembunuhan. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah sebagai berikut “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Jika diurai akan dapat ditemukan bahwa titik fokus delik materiil tersebut adalah aspek “akibat” yang muncul dari suatu perbuatan bukan perbuatan itu sendiri. Pada rumusan pasal di atas, perbuatan seseorang akan dikatakan sebagai pembunuhan ketika terjadi akibat dari perbuatan tersebut yaitu “terampasnya nyawa orang lain”. Pasal tersebut tidak merincikan unsur apa yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dikategorikan sebagai pembunuhan seperti dengan menggunakan senjata tajam dan sebagainya. Pasal tersebut dengan jelas hanya berfokus pada titik akhir suatu perbuatan yaitu terjadinya perampasan nyawa orang lain. Selama akibat sebagai titik akhir tersebut tidak terjadi, maka perbuatan seseorang baik dalam bentuk dan dengan cara apapun, tidak dikategorikan sebagai pembunuhan.
Aspek Pembuktian Delik Formil dan Materiil
Distingsi atau pembedaan delik materiil dan formil berpengaruh pada aspek pembuktian sebagai satu kesatuan dalam hukum pidana. Pembuktian delik materiil dan formil jelas berbeda satu sama lain dan tidak boleh dicampuradukkan karena akan mengaburkan kepastian hukum. Oleh karenanya penting untuk membahas aspek ini yang belum sempat dibahas atau disinggung di artikel sebelumnya.
Delik materiil sebagaimana yang barusan dipaparkan berorientasi pada akibat suatu perbuatan. Implikasinya adalah suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana jika akibatnya ternyata tidak terjadi. Semisal, ada seseorang yang menembak orang lain tepat di kepala namun ternyata orang yang tertembak tersebut tidak meninggal baik karena dia dapat diselamatkan atau dia berhasil menghindar.
Jika memang terbukti bahwa korban penembakan tersebut tidak meninggal, maka pelaku tersebut tidak dapat dikenakan pasal pembunuhan ini. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena akibat dari suatu perbuatan pidana yaitu pembunuhan tidak terjadi yaitu terampasnya nyawa orang lain, maka perbuatan seseorang yang menembak orang lain tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan. Aspek akibat dari suatu perbuatan pidana menjadi orientasi utama dari pembuktian.
Adapun delik formil menitikberatkan pada terpenuhinya unsur perbuatan pidana tersebut tanpa melihat akibat sebagai titik lanjutan dari perbuatan itu sendiri. Orang yang memenuhi unsur delik pada Pasal 362, sebagaimana yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya, dapat dikenakan pasal tersebut. Pembuktian delik formil ini berfokus pada pemenuhan unsur delik seperti “mengambil” dan “dengan maksud untuk dimiliki” tanpa perlu melihat akibatnya. Maksudnya adalah semisal pencuri tersebut mengembalikan barang curiannya, maka pencuri tersebut tetap dapat dikenakan pasal ini. Delik formil ini tidak melihat aspek akibat sebagai titik lanjut dari suatu perbuatan pidana.