Literasi Hukum – Artikel ini membahas kasus penganiayaan viral yang diduga diprovokasi oleh pacar pelaku yang masih di bawah umur. Dalam artikel ini, pembaca dapat mengetahui apakah anak di bawah umur dapat dilaporkan atas tuduhan penghasutan tindak pidana dan bagaimana aturan hukumnya di Indonesia. Pelajari tentang kasus penganiayaan yang viral dan dugaan provokasi dari pacar pelaku yang masih di bawah umur. Temukan apakah anak di bawah umur dapat dilaporkan atas tuduhan penghasutan tindak pidana dan bagaimana aturan hukumnya di Indonesia.
Kasus Penganiayaan Viral dan Dugaan Provokasi oleh Pacar Pelaku
Baru-baru ini, sebuah kasus penganiayaan viral terjadi dan menyebabkan korban mengalami koma. Kasus penganiayaan tersebut diduga terjadi karena aduan atau provokasi dari pacar pelaku yang masih di bawah umur. Pacar pelaku juga merekam aksi penganiayaan tersebut. Namun, apakah pacar pelaku yang masih anak-anak dapat dilaporkan atas tuduhan provokasi atau penghasutan tindak pidana? Bagaimana aturan hukumnya?
Kasus Pembunuhan Anak oleh Pelaku Anak di Inggris dan Tekanan dari Masyarakat
Kasus serupa juga pernah terjadi di Merseyside, Inggris, 30 tahun yang lalu. Saat itu, seorang anak berusia 2 tahun dibunuh secara kejam oleh 2 anak berusia 10 tahun, melampaui batas kemanusiaan. Meskipun pelaku masih anak-anak, mereka tetap menjalani persidangan anak dan menerima vonis yang sesuai. Kasus ini menimbulkan tekanan dari masyarakat terhadap lembaga peradilan dan bahkan hingga saat ini masih ada petisi-petisi yang berkaitan dengan kasus tersebut.
Definisi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Di Indonesia, seorang anak yang melakukan kejahatan atau terlibat dalam masalah hukum dianggap sebagai seseorang yang berusia antara 12 tahun hingga kurang dari 18 tahun, menurut Pasal 1 angka 3 UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Definisi ini menyatakan bahwa seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana dianggap sebagai anak jika usianya telah mencapai 12 tahun namun belum mencapai usia 18 tahun.
Aturan Hukum Mengenai Provokasi Anak dalam Tindak Pidana Berdasarkan KUHP dan UU 1/2023
Jika seorang anak melakukan pengaduan atau melakukan upaya untuk memprovokasi orang lain untuk melakukan penganiayaan yang serius dan menyebabkan korban sampai koma serta merekam kejadian tersebut, maka berdasarkan KUHP yang masih berlaku saat artikel ini ditulis, anak tersebut bisa dilaporkan ke polisi berdasarkan Pasal 353 ayat (1) dan (2) KUHP jika terencana, atau Pasal 354 ayat (1) KUHP jika tidak terencana, bersamaan dengan turut serta melakukan tindakan pidana Pasal 55 KUHP.
Namun, di dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku setelah 3 tahun sejak diumumkan, yaitu pada tahun 2026, diatur dalam Pasal 467 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 jika terencana atau Pasal 468 ayat (1) UU 1/2023 jika tidak terencana, bersamaan dengan turut serta melakukan tindakan pidana Pasal 20 UU 1/2023.
Arti dari tindakan ‘provokasi’ yang dilakukan oleh pelaku anak dapat dijelaskan sebagai suatu upaya untuk mendorong orang lain untuk melakukan tindak pidana, melalui bujukan, anjuran, godaan, atau daya tarik tertentu. Ini termasuk sebagai bentuk dari partisipasi atau turut serta dalam melakukan tindak pidana.
Perbedaan antara penyertaan dan pembantuan tindak pidana adalah bahwa dalam penyertaan, terdapat kerja sama yang erat antara pelaku dan pihak lain yang turut serta melakukan tindak pidana. Sedangkan pada pembantuan tindak pidana, kerja sama antara pelaku dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam penyertaan.
Ketika terjadi kasus penganiayaan dan penghasutan tindak pidana yang melibatkan anak di bawah umur, hal ini tentu saja sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, sebagai masyarakat, kita perlu memperhatikan bagaimana hukum berlaku terhadap kasus semacam ini.
Secara umum, hukum memberikan perlindungan bagi anak yang melakukan tindak pidana. Tujuannya adalah agar anak-anak tersebut mendapat perawatan dan perlakuan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak harus tetap diberikan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana dan Peran Orang Tua dan Keluarga
Dalam konteks ini, peran orang tua dan keluarga sangatlah penting. Orang tua dan keluarga perlu memberikan pengawasan dan pembinaan yang baik terhadap anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga perlu memberikan pengertian tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Perhatian Terhadap Korban dan Pembinaan Terhadap Anak Pelaku dalam Kasus Penganiayaan Anak di Bawah Umur
Dalam hal terjadi kasus penganiayaan yang melibatkan anak di bawah umur, kita perlu memberikan perhatian khusus terhadap korban. Korban harus mendapatkan perlindungan dan perawatan yang baik. Selain itu, kita juga perlu memberikan pembinaan dan pengawasan yang baik terhadap anak pelaku agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
Dalam kasus yang dijelaskan di atas, pacar pelaku yang masih di bawah umur turut memprovokasi pelaku untuk melakukan penganiayaan terhadap korban. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tindak pidana anak tidak hanya melibatkan anak yang melakukan tindak pidana, tetapi juga orang lain yang terlibat dalam kasus tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu memberikan pendidikan dan pengertian tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan kepada seluruh anggota masyarakat, terutama kepada anak-anak. Dengan begitu, kita dapat mencegah terjadinya kasus tindak pidana anak di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Kesimpulannya, kasus penganiayaan yang melibatkan anak di bawah umur memang memprihatinkan. Namun, kita perlu memberikan perhatian khusus terhadap korban, pelaku, serta orang lain yang terlibat dalam kasus tersebut. Kita juga perlu memberikan pembinaan dan pengawasan yang baik terhadap anak-anak agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa depan.