Literasi Hukum – Artikel ini menganalisis kritis dan komparatif Hak Asasi Manusia dalam tatanan nasional dan internasional melalui perspektif paham konstitusionalisme. Yuk simak penjelasannya di bawah ini.
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Nasional
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan nilai sekaligus norma yang menjamin dan mengakui bahwa setiap manusia dapat menikmati hak-hak dan kebebasan dasar yang melekat pada hakekat dan eksistensinya sebagai manusia.[1] Konsep Hak Asasi Manusia yang menitikberatkan sifat melekatnya pada manusia ini memiliki persamaan konsep HAM yang digariskan oleh sistem hukum nasional. Konsep Hak Asasi Manusia sebagaimana yang termaktub secara eksplisit pada UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (1) selain menekankan sifat “melekat” juga berdimensi transedental.
Dimensi transedental pada konsep HAM di Indonesia dipengaruhi oleh sistem ketetanegaraan Indonesia yang tidak menganut asas pemisahan atau separation terhadap agama. UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) menegaskan posisi dan sikap negara yang tidak memisahkan agama dari tatanan kenegaraan. Agama sebagai aspek metafisik telah mendarah daging dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Adalah hal yang logis dan rasional bahwa konsep Hak Asasi Manusia yang dianut oleh sistem hukum Indonesia merupakan HAM yang berdimensi transedental.
Konsep HAM yang berdimensi transedental ini digariskan secara tegas oleh UUD pada Pasal 28J ayat (2) sebagai pasal penutup pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal a quo, konsep HAM yang berdimensi “bebas” tetap dapat mengalami limitasi. Salah satu parameter limitasi HAM pada pasal a quo adalah nilai-nilai agama. Posisi sentral dan krusial agama sebagai parameter menunjukkan karakteristik nilai intrinsik Indonesia yang berbeda dengan bangsa dan negara lain sebagai bangsa yang religius.
Implikasi logis yuridisnya adalah tidak semua konsep Hak Asasi Manusia mendapatkan legitimasi dalam pandangan hukum nasional. Konsep Hak Asasi Manusia yang berdimensi humanisme-antroposentris tidak akan mendapatkan legitimasi dan negara diharamkan memberikan dispensasi ataupun eksepsi. Pemberian dispensasi oleh negara dalam hal ini mengindikasikan inkonsistensi dan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Sekapur Sirih Hak Asasi Manusia Kacamata Internasional
Definisi dan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui oleh dunia internasional adalah HAM sebagaimana yang digariskan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Deklarasi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 ini merupakan inisiator instrumen penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dalam percaturan hukum internasional. Walaupun deklarasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, ia tetap memiliki tekanan moral yang kuat. Hal ini dibuktikan dengan diadopsinya deklarasi tersebut sebagai parameter evaluasi penegakan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia oleh mayoritas negara di dunia.
Hak Asasi Manusia dalam perspektif deklarasi tersebut dikonsepsikan sebagai kebebasan dan kesetaraan yang melekat pada manusia secara absolut. Setiap manusia dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan kesetaraan yang melekat pada diriya serta hak-hak yang tidak dapat dicabut atau inalienable. Setiap manusia dikaruniai akal pikiran dan hati nurani. Hak-hak yang melekat tersebut harus diberikan seutuhnya tanpa diferensiasi yang disebabkan oleh ras, warna, agama, dan status lainnya.
Deklarasi ini diterima tanpa adanya perselisihan suara, walaupun ada beberapa negara yang tidak menyatakan pendapat atau abstain. Negara-negara tersebut yaitu Republik Sosialis Soviet Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia, Saudi Arabia, Republik Sosialis Soviet Ukraina, Uni Republik Sosialis Soviet, Uni Afrika Selatan, dan Yugoslavia. Sikap dan posisi abstain delapan negara tersebut tidak menghalangi deklarasi ini menjadi tonggak awal lahirnya wajah hukum yang ramah dan bersahabat dengan HAM. Hal ini terbukti dengan diadopsinya Kovenan Internasional oleh Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1966 sebagai tindak lanjut deklrasi tersebut.[2]
Pada 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB mengadopsi dan mengesahkan dua kovenan sebagai instrumen internasional dalam bidang HAM, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Walaupun kedua kovenan tersebut telah disahkan pada 16 Desember 1966, kedua kovenan tersebut mulai berlaku 10 tahun kemudian. ICCPR mulai berlaku pada 23 Maret 1976, sedangkan ICESCR mulai berlaku pada 3 Januari 1976.[3] Sebagai tindak lanjut UDHR, kedua kovenan tersebut mengatur hal-hal spesifik dan terjadi integrasi antara keduanya. Dengan adanya dua kovenan tersebut dan deklrasi UDHR yang menginisiasinya, prospek unifikasi konsepsi Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum HAM diproyeksikan akan mendapatkan titik terang.
Yang menarik dari deklrasi dan kovenan internasonal ini adalah parameter evaluasi HAM yang digunakan bersandar pada nilai-nilai humanisme dan berdimensi antroposentris. Nilai-nilai yang digunakan dalam mengkonstruksi Hak Asasi Manusia dan tata aturan di dalam deklrasi dan kovenan tersebut bukanlah nilai-nilai yang berdimensi transedental atau teosentris. Hal ini dapat dilihat pada Artikel 1 UDHR dalam mendefinisikan kebebasan manusia.
Pada Artikel 1 UDHR, kebebasan dan hak manusia didefinisikan sebagai atribut yang inheren pada eksistensinya sebagai manusia. Kebebasan dan hak yang ia dapatkan tidak dipotret dari sudut pandang teosentris, yaitu anugerah dari Tuhan. Manusia dipresuposisikan mendapatkan kebebasan dan haknya pasca ia lahir sebagai manusia tanpa pemberian dari siapa pun bahkan dari Tuhan sekalipun. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa nilai yang dijadikan sebagai basis konstruksi HAM dalam percaturan hukum internasional adalah nilai humanisme yang berdimensi antroposentris.
Komparasi HAM Kacamata Nasional dan Internasional
Dua konsep Hak Asasi Manusia di atas, kacamata nasional dan internasional, yang saling berhadapan secara diametral ini tentunya melahirkan distingsi pada penerapan Hak Asasi Manusia tersebut di lapangan. Sebagaimana dua bangunan yang memiliki pondasi yang berbeda, maka dapat dipastikan pada suatu kasus konkret akan terjadi asinkronisasi. Asinkronisasi yang terjadi dapat berupa kerancuan dalam berhukum juga dalam bersosial di tengah masyarakat.
Salah satu bentuk asinkronisasi dalam berhukum adalah penerapan limitasi pada HAM. Limitasi pada HAM dalam kacamata internasional beririsan dengan limitasi pada HAM dalam kacamata nasional. Distingsi antara keduanya terjadi pada penggunaan parameter uji limitasi tersebut. Penggunaan parameter uji yang berbeda akan memengaruhi konsep HAM karena ini menentukan sejauh mana HAM dapat dikenakan limitasi.
Limitasi pada HAM dalam kacamata internasional tidak menggunakan agama sebagai parameter uji. Parameter uji yang digunakan sebatas pada moral yang dalam beberapa konsep berbeda dengan agama. Salah satu alasannya adalah konsep agama terlalu subjektif dan multitafsir dibandingkan dengan moral. Sementara itu, deklrasi dan kovenan internasional menuntut adanya universalitas nilai dan parameter uji yang digunakan akan terciptanya tatanan hukum yang berlaku secara komprehensif.
Heiner Bielefeldt menyebutkan bahwa diskursus ini, tidak menyertakan agama, berorientasi pada menciptakan dan menjaga jarak (creating and upholding a distance). Jarak yang terpisah antara agama dan negara diperlukan demi menyediakan ruang bernapas bagi spirit kebebasan dan kesetaraan untuk tumbuh subur di tengah keanekaragaman. Negara diposisikan sebagai wali yang bertugas memberikan garansi bagi terjaminnya agama dan tidak boleh mengukungnya.[4]
Selain dalam berhukum, asinkronisasi antara HAM kacamata nasional dan internasional adalah dalam bersosial. Dalam bersosial, hal yang dijunjung tinggi adalah nilai-nilai luhur yang telah mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Dalam kultur masyarakat Indonesia, nilai-nilai tersebut memiliki distingsi yang tajam dengan nilai-nilai asing yang tertuang dalam HAM kacamata internasional. Contoh konkretnya adalah adanya rasa integralisasi antarindividu dalam masyarakat.
Kultur yang mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia adalah kultur integral, adanya peleburan individu ke dalam satu kesatuan sosial. Masyarakat Indonesia terbiasa meleburkan diri dalam tatanan sosial sehingga batas antarindividu makin kabur. Budaya gotong royong adalah salah satu bukti integralisasi yang secara de facto terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Dengan melihat kenyataan empiris tersebut terlihat jelas distingsi antara nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia dan yang dianut oleh dunia internasional. Masyarakat Indonesia yang terbiasa melebur dengan rasa integralisasi antarindividu tidak akan selaras dengan masyarakat internasional yang terbiasa memisahkan diri dengan rasa individualismenya. Konsekuensi logisnya adalah nilai yang berbeda tersebut tidak akan dapat masuk dan diterima oleh masyarakat Indonesia secara penuh. Sama halnya dengan HAM yang dikonstruksi di atas basis nilai yang bukan berasal dari nilai intrinsik Indonesia, melainkan dari Barat, tidak akan dapat seutuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia.
Kedudukan Paham Konstitusionalisme Terhadap HAM
Pasca pemaparan isu dan topik mengenai HAM dalam kacamata nasional dan internasional, timbul pertanyaan dalam benak penulis. Apakah eksistensi HAM tersebut sejalan dengan paham konstitusionalisme dalam menyorot hukum? Apakah ada irisan yang terjadi antara HAM dengan konstitusi sebagai wadah formil tertuangnya materi substansial bernegara? Berikut ini akan dipaparkan kedudukan paham konstitusionalisme
Paham konstitusionalisme mengalami evolusi sejak masa pramodern sampai masa modern, pasca revolusi Perancis. Cikal bakal paham ini adalah buah pemikiran filsafat Yunani, direpresentasikan oleh Plato dan Aristoteles, yang menitikberatkan adanya konstitusi sebagai acuan bagi undang-undang (UU). Norma hukum yang akan dituangkan dalam UU harus sesuai dengan konstitusi, Aristoteles menyebutnya “Politea”, agar tercipta tatanan hukum yang sistematis.[5]
Tatanan hukum yang sistematis diperlukan agar tatanan sosial yang diatur oleh hukum tersebut tidak mengalami kekacauan atau chaos. Kekacauan dalam ranah tata hukum dapat membawa implikasi kacaunya tatanan sosial. Kekacaun ini dapat ditanggulangi dengan menyandarkan valuasi sistematisasi hukum pada suatu kesepakatan tertinggi. Kesepakatan tertinggi tersebut dituangkan dalam bentuk konstitusi.[6]
Konstitusi sebagai wadah kesepakatan tertinggi dalam masyarakat mengandung tata aturan yang mengatur kehidupan bernegara dengan menjunjung tinggi prinsip rule of law. Prinsip ini berorientasi pada pemerintahan yang digerakkan oleh hukum, rule by the law not by the man. Dengan adanya prinsip ini, maka kekuasaan yang absolut akan dibatasi agar tidak terlahir kekuasaan yang otoriter.
Paham konstitusionalisme menyoroti sistem ketatanegaraan dengan restriksi secara ketat agar tidak terjadinya abuse of power, penyalahgunaan wewenang. Restriksi secara ketat ini berorientasi pada pemenuhan hak-hak warga negara sebagai oposisi penguasa yang sangat berpotensi menyalahgunakan wewenangnya. Terdapat tiga pilar utama yang dapat menjamin tegaknya paham konstitusionalisme ini. Tiga pilar tersebut adalah :
- Kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara.
- Kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan.
- Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan proseder-prosedur ketatanegaraan.[7]
Dengan melihat pemaparan isu dan topik mengenai paham konstitusionalisme di atas, dapat terlihat dengan jelas adanya urgensi konstitusi dalam penegakan HAM. Konstitusi sebagai wadah formil tatanan hukum berorientasi pada restriksi kekuasaan agar terproteksinya warga negara dari abuse of power. Garansi jaminan ini memiliki irisan dengan HAM yang menuntut adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan.
Garansi tersebut juga ditegaskan dalam konstitusi sebagai amanat paham konstitusionalisme. Merujuk pada konstitusi Indonesia, garansi tersebut digariskan dengan tegas pada Bab XA tentang HAM yang memiliki 10 pasal. Seluruh pasal tersebut secara komprehensif dan holistik memberikan jaminan negara terhadap HAM sesuai dengan nilai intrinsik Indonesia. Konstruksi pasal-pasal tentang HAM tersebut di atas nilai intrinsik Indonesia dimaksudkan agar masyarakat Indonesia dapat menerima HAM sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Indonesia.
Konklusi
HAM memiliki konsep dan definisi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini dapat lahir karena nilai sebagai basis konstruksi HAM tersebut juga berbeda. Seharusnya perbedaan ini tidak menjadi percikan api karena apa pun konsep HAM yang berlaku orientasinya tetap sama, yaitu menjunjung tinggi kehormatan manusia. Di samping itu, konsep HAM memiliki irisan dengan paham konstitusionalisme yang dianut oleh mayoritas negara di dunia. Paham ini membawa konsep restriksi kekuasaan agar terjaminnya warga negara yang menjadi salah satu orientasi HAM. Secara tidak langsung menjaga konstitusi secara tidak langsung berarti menjaga HAM.
Daftar Referensi
- Asshiddiqie, J. (2009). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Depok: Rajawali Pers.
- Atmadja, I. D. (2010). Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945. Malang: Setara Press.
- Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Amandemen IV.
- Republik Indonesia. (2000). Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia . Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4026. Sekretariat Negara. Jakarta.
- Smith, R. K. (2005). Textbook on International Human Rights. New York: Oxford University Press.
- Sochmawardia, H. A. (2013). Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa. Bantul: Genta Publishing.
- Tomte, A., Saul, M. W., Fraser, J., Putro, W. D., RIyadi, E., Wiratraman, H. P., . . . Shidarta. (2023). Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia : Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
[1] (Sochmawardia, 2013), halaman 37
[2] (Smith, 2005), halaman 39
[3] Ibid, halaman 46
[4] (Tomte, et al., 2023), halaman 177
[5] (Atmadja, 2010), halaman 14
[6] (Asshiddiqie, 2009), halaman 345-346
[7] (Atmadja, 2010), halaman 19