Administrasi Negara

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Ramos Perisai
1270
×

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Sebarkan artikel ini
Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
(Sumber: Unsplash/Patrick Perkins)

Literasi Hukum – Pemerintah dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Ini disebut perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Namun, sifatnya agak berbeda dengan pengaturan dalam hukum perdata dan pidana.

Latar Belakang

Perbuatan melawan hukum oleh penguasa merupakan pengembangan dari teori hukum klasik mengenai perbuatan melawan hukum, yaitu tindakan subjek hukum yang bertentangan dengan hukum dan menimbulkan kerugian tertentu.

Secara spesifik, perbuatan melawan hukum terdapat dalam konsep hukum perdata dan hukum pidana.

Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dikualifikasikan sebagai suatu tindakan subjek hukum yang diatur dalam Pasal 1365 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPER”). Ini berbeda dengan hukum pidana yang cenderung menggolongkan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) sebagai salah satu unsur delik yang merugikan kepentingan umum.

Namun, perbuatan melawan hukum tidak lagi sekadar melekat pada orang perorangan atau badan hukum sebagaimana konsep menurut dua cabang hukum di atas. Saat ini, perbuatan melawan hukum juga dapat dianggap melekat pada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Ini disebut sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Pengakuan terhadap onrechtmatige overheidsdaad dipertegas melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan (“PERMA 2/2019”).

Jika kita menelusuri peraturan tersebut, kita akan melihat bahwa, secara esensial, perbuatan melawan hukum oleh penguasa adalah perbuatan yang identik dengan pengaturan Pasal 1365 dari KUHPer. Hanya saja, perbuatan ini dilakukan oleh pemerintah dan tergolong sebagai salah satu keputusan tata usaha negara.

Esensi Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Ketika menyelenggarakan administrasi pemerintahan, pemerintah memiliki kewenangan untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara. Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan, terutama Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”).

Keputusan dikeluarkan oleh pemerintah baik secara inisiatif oleh pemerintah maupun berdasarkan permohonan oleh pihak yang berkepentingan. Ketika keputusan telah keluar, keputusan ini akan membawa akibat hukum bagi masyarakat luas. Khusus untuk keputusan yang keluar berdasarkan permohonan, maka akibat hukum yang timbul kemudian umumnya hanya berdampak pada pemerintah yang mengeluarkan keputusan dan pihak yang memohon penerbitan keputusan.

Pada momentum tertentu, dan terlepas dari apakah ia dikeluarkan berdasarkan inisiasi atau permohonan, suatu keputusan dapat membawa akibat yang merugikan. Kerugian ini ditanggung oleh pihak yang pihak yang dituju dalam keputusan. Tidak jarang bahwa kerugian yang sama ditanggung oleh pihak ketiga yang sedikit-banyak memiliki hubungan dengan terbitnya keputusan tersebut.

Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pemerintah dan merugikan masyarakat adalah cerminan dari perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Dahulu, penafsiran atas perbuatan melawan hukum oleh penguasa identik dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 dari KUHPer. Alhasil, untuk memahami unsur-unsur dari onrechtmatige overheidsdaad, kita dapat merujuk pada unsur-unsur dari onrechtmatige daad.

Onrechmatige daad memiliki 5 unsur, yaitu adanya perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat di antara kesalahan dan kerugian tersebut. Kelima unsur ini turut menjadi indikator atas perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Namun, perbuatan melawan hukum oleh penguasa melibatkan kewenangan pemerintah dalam administrasi pemerintahan. Sukar untuk menyamakan pemerintah sebagai orang perorangan atau badan hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum keperdataan sehingga dapat menjadi pihak tergugat layaknya dalam mekanisme peradilan perdata. Dalam memanfaatkan wewenangnya, pemerintah akan melakukan perbuatan yang berdampak pada kepentingan masyarakat. Untuk itu, konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata tidak menawarkan dasar hukum yang elaboratif.

Perbuatan melawan hukum oleh penguasa juga tidak mungkin menggunakan konsep dalam hukum pidana dan diadili dengan mekanisme peradilan pidana. Memang, tindak pidana dapat terselubung dalam tindakan administratif, tetapi, perlu menjadi catatan bahwa tidak semua penerbitan keputusan tata usaha negara dapat menjadi tindak pidana. Lagipula, jangkauan peradilan pidana dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, terutama dalam penerbitan keputusan tata usaha negara, cenderung menjadi kompetensi dari peradilan tata usaha negara.

Lantas, apa dasar hukum untuk mengukur keberadaan perbuatan melawan hukum oleh penguasa jika kita tidak dapat menggunakan konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata dan pidana?

Mengutip pendapat dari Ridwan HR, dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara, ukuran keberadaan perbuatan melawan hukum dapat dilihat pada 2 putusan pengadilan, yaitu Putusan No. 66K/Sip/1952 dan Putusan Nomor 838K/Sip/1970. Kedua putusan ini memiliki lingkup yang berbeda, tetapi keduanya memiliki pertimbangan yang serupa dalam menilai onrechtmatige overheidsdaad.

Dalam kedua putusan, ada 2 parameter dari perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Parameter pertama adalah undang-undang formal yang berlaku. Jika menggunakan konsep hukum yang berkembang saat ini, konteks “undang-undang formal” dalam kedua putusan dapat diperluas menjadi “peraturan perundang-undangan” sebab perbuatan melawan hukum oleh penguasa dapat timbul dalam penerbitan keputusan tata usaha negara yang menggunakan banyak instrumen hukum selain dari undang-undang.

Parameter kedua adalah kepentingan dalam masyarakat. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk konkrit dari kepentingan masyarakat tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan semacam, seberapa jauh kepentingan masyarakat mampu terdampak sehingga membuat suatu perbuatan pemerintah layak dianggap sebagai onrechtmatige overheidsdaad? Kemudian, segmen masyarakat seperti apa yang dapat terdampak dari suatu perbuatan tersebut?

Pembaharuan Konsep

Beberapa pertanyaan yang menggantung mengenai upaya untuk memproses perbuatan melawan hukum oleh penguasa, barangkali terjawab dengan berlakunya UU Administrasi Pemerintahan dan PERMA 2/2019.

Menurut Hotma Sibuea, dalam bukunya yang berjudul Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi dasar untuk menilai keberadaan onrechtmatige overheidsdaad. Ketentuan tersebut adalah ketentuan mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”).

Pasal 1 angka 17 dari UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa AUPB dapat menjadi parameter kesahihan dari perbuatan pemerintah dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan, terutama dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara.

Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (1) dari UU Administrasi Pemerintahan mengatur secara konkrit bentuk dari AUPB sebagai berikut.

  1. Asas kepastian hukum,
  2. Asas kemanfaatan,
  3. Asas ketidakberpihakan,
  4. Asas kecermatan,
  5. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan,
  6. Asas keterbukaan,
  7. Asas kepentingan umum, dan
  8. Asas pelayanan yang baik.

Yang menarik, ayat (2) dari pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengadili perkara perbuatan melawan hukum oleh penguasa dengan menggunakan asas-asas yang lain sebagai dasar pertimbangan.

Berbeda dengan UU Administrasi Pemerintahan yang memberikan dasar baru, PERMA 2/2019 mengatur teknis dari pengajuan gugatan seandainya pihak yang berkepentingan menginginkan adanya proses peradilan untuk perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Berlakunya PERMA 2/2019 membawa nuansa baru. Peraturan ini secara tegas menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh penguasa hanya dapat diadili melalui pengadilan tata usaha negara (“PTUN”). Dengan demikian, mekanisme peradilan perdata dan, barangkali, peradilan pidana tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga menegaskan bahwa proses peradilan selain melalui mekanisme PTUN dan tengah berjalan harus dinyatakan ditolak dan dialihkan kepada PTUN.

Tidak berbeda jauh dengan proses peradilan tata usaha negara pada umumnya, permohonan peradilan terhadap onrechtmatige overheidsdaad dilakukan dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan tata usaha negara. Pengajuan dilakukan dalam jangka waktu 90 hari setelah pelaksanaan tindakan pemerintah yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Dasar gugatan dapat mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau AUPB.

Sayangnya, baik UU Administrasi Pemerintahan maupun PERMA 2/2019 tidak mengatur ketentuan mengenai definisi dari perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Untuk memahami apakah suatu tindakan pemerintah tergolong sebagai onrechtmatige overheidsdaad, kita hanya dapat menafsirkannya dari ketentuan-ketentuan yang relevan.

Mula-mula, suatu perbuatan melawan hukum oleh penguasa diawali dari keberadaan “tindakan pemerintahan”. Pasal 1 angka 1 dari PERMA 2/2019 mendefinisikan tindakan pemerintahan sebagai perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkrit dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Jika tindakan pemerintahan itu merugikan kepentingan suatu pihak, pihak tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan permohonan yang menuntut tindakan pemerintahan tersebut. Nantinya, jika gugatan ini telah diterima oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, akan timbul apa yang disebut sebagai sengketa onrechtmatige overheidsdaad. Adapun yang menjadi penggugat adalah orang atau badan hukum yang merasa dirugikan dari tindakan pemerintahan, sedangkan tergugat adalah pemerintah yang melakukan tindakan pemerintahan.

Pada proses akhir dari peradilan, putusan pengadilan dapat berisi amar putusan yang mengabulkan, menolak, tidak menerima, atau menggugurkan gugatan yang diajukan penggugat. Jika gugatan dikabulkan, pengadilan dapat mewajibkan pemerintah untuk melakukan tindakan pemerintahan, tidak melakukan tindakan pemerintahan, atau menghentikan tindakan pemerintahan. Dalam putusan, pengadilan juga dapat membebani tergugat dengan pemberian ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

Mekanisme ganti rugi dalam gugatan onrechtmatige overheidsdaad tidak lagi mengacu pada Pasal 1365 dari KUHPer dan ketentuan lain yang menyertainya. Kini, mekanisme ganti rugi mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yang secara spesifik diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara (“PP 43/1991”).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.