Tata Negara

Rekonstruksi Konstitusi, Antara Fakta Historis dan Cita-cita

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
39
×

Rekonstruksi Konstitusi, Antara Fakta Historis dan Cita-cita

Sebarkan artikel ini
Rekonstruksi Konstitusi, Antara Fakta Historis dan Cita-cita

Literasi Hukum – Konstitusi memiliki peran penting dalam sistem pemerintahan dan hukum. Artikel ini membahas konsep konstitusi normatif dan positif, dinamika sejarah konstitusi Indonesia, serta implikasi fleksibilitas konstitusi terhadap praktik kekuasaan. Pelajari bagaimana konstitusi idealnya menyeimbangkan legitimasi hukum dan kebutuhan adaptasi zaman.

Konsepsi Konstitusi, Antara Teoritis dan Praktis

Konstitusi terbagi menjadi dua, yaitu konstitusi positif (as it is) dan konstitusi normatif (as it ought to be). Konstitusi positif adalah konstitusi yang diundangkan dengan cara yang legitimate, seperti UUD 1945 yang dibentuk dan diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara konstitusi normatif adalah konstitusi yang diidealkan atau dengan kata lain sebagai cita-cita luhur para pendiri bangsa yang berkenaan dengan nilai-nilai ideal. Jurang pemisah antara konstitusi positif dan normatif tersebut melahirkan problematikanya tersendiri yang cara penanggulangannya adalah interpretasi.[1]

Mollers mengatakan “Constitution can describe a norm but also a political condition, an object, the document itself or even a function.” Konstitusi pada dasarnya bersifat kabur sehingga diperlukanlah analisis makna yang terkandung dalam konstitusi. Sebagai upaya menafsirkan konstitusi, Mollers mengusulkan ada tiga pemaknaan konstitusi, yaitu “a theoretical level that reflects the term with regard to history and legitimacy; a normative level that applies the term as an element of the legal system; and a descriptive level that uses constitution as a term to analyse institutions.”[2]

Pemaknaan pertama yaitu pada tingkatan teoretis yaitu dengan melihat latar belakang historis pembentukan suatu pasal konstitusi yang kemudian menjadikan pasal tersebut memiliki legitimasinya tersendiri. Tingkatan normatif pada pemaknaan konstitusi yaitu konstitusi dimaknai sebagai dasar legalitas-konstitusional peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Berdasarkan Hierarchy of Law Theory yang digagas Hans Kelsen, peraturan yang di lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi dan jika terjadi, maka dapat dilakukan pengujian seperti judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara pada tingkatan deskriptif, konstitusi dimaknai sebagai instrumen yang mengevaluasi bergeraknya negara melalui organ insitusional yang dibentuk berdasarkan constitutional based power ataupun constitutional importance.

Konstitusi memilik peran ganda, yaitu posisinya terhadap pemerintahan negara dan terhadap sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.  Berdasarkan posisinya terhadap pemerintahan negara, konstitusi merupakan anteseden yang melahirkan pemerintahan negara dan yang menjadikan kekuasaan yang dimiliki pemerintah memiliki dasar yang hak. Langgengnya kekuasaan eksekutif yang kental dengan executive heavy pada masa Orde Baru merupakan contoh kekuasaan pemerintah yang memiliki dasar yang hak, jika dilihat dari kacamata positivisme. Jika konstitusi tidak memberikan dasar legitimasi langgengnya kekuasaan kepresidenan, maka kekuasaan tersebut akan jatuh dengan sendirinya karena tidak memiliki dasar normatif-konstitusional.

Lebih jauh lagi, Thomas Paine sebagaimana yang dikutip Charles bahwa “A constitution is not act of a government, but of a people constituting a government.” Paine menekankan bahwa yang membentuk pemerintahan adalah rakyat dengan perantara konstitusi.[3] Pembentukan pemerintahan berdasarkan konstitusi dilandasi Teori Kedaulatan Rakyat yang menyatakan bahwa kesepakatan tertinggi rakyatlah yang melahirkan negara dan pemerintahan. Penggunaan kata “rakyat” dalam praktik ketatanegaraan sebenarnya menggunakan sistem kedaulatan representatif, tidak semua unsur “rakyat” turut serta dalam pembentukan konstitusi.

Historisitas Konstitusi Indonesia yang Kontroversial

Pembentukan konstitusi Indonesia pertama secara historis didahului pembentukan rancangan UUD oleh tim yang diketuai Soepomo. Hasil rancangan tim tersebut diserahkan kepada BPUPKI pada 13 Juli 1945 yang kemudian pada 16 Juli 1845 disetujui untuk dijadikan konstitusi positif Indonesia.[4] Konstitusi yang disahkan sehari setelah proklamasi tersebut dipresuposisikan sebagai hasil kedaulatan rakyat karena hampir mustahil mensyaratkan seluruh atau sekurang-kurangnya mayoritas rakyat Indonesia bermufakat membentuk konstitusi.

Dengan adanya landasan paradigma bahwa kesepakatan rakyatlah yang melahirkan negara dan pemerintahan, maka tidak ada suatu negara pun yang tidak memiliki konstitusi. Bahkan, menurut Mueller pemerintahan yang diktator pun memiliki konstitusi. “A constitution can be thought of as the set of rules that define a community’s political institutions. By this definition all communities, even dictatorship, have a constitution.”[5] Hal ini dapat terlihat dari fakta sejarah yang mengatakan bahwa negara diktator pun, seperti Jerman pada saat dikuasai Partai Nazi, mempunyai arah politik hukumnya yang ditentukan oleh konstitusi.

Praktik ketatanegaraan Indonesia terutama pada masa lalu pernah bercorak otoritarian dan totalitarian yang kedua corak politik hukum tersebut muncul bahkan di bawah naungan konstitusi. Pada masa Orde Lama (Orma), terutama pasca tumbangnya demokrasi liberal-parlementer, pemerintah menerapkan garis haluan politik yang bercorak otoriter. Pada masa itu, Presiden Sukarno memaksakan keberlakuan kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena Dewan Konstituante dinilai gagal menyusun konstitusi baru yang akan menggantikan UUDS 1950. Terlepas dari kontroversi mengenai legitimasi dan keabsahan dekrit tersebut karena DPR ternyata baru secara aklamasi mengesahkan dekrit tersebut pada 22 Juli 1959, faktor yang melatarbelakangi diberlakukan kembali menarik untuk dikulik.[6]

Pasal-pasal UUD 1945 dinilai memuat kelemahan dalam perumusan yang membuka peluang terjadinya praktik yang menyimpang dari cita-cita dan semangat negara Pancasila.[7] Semangat negara Pancasila yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat terkubur dengan ide “Demokrasi Terpimpin” yang diiklankan oleh pemerintah berasaskan gotong royong. Penerapan ide ini berimplikasi pada meleburnya sistem kepartaian yang berbuntut pada demokratisasi negara hanya memiliki kulit luarnya saja.[8] Jika dirunut dari akarnya, akan ditemukan bahwa tidak jelasnya arah politik hukum UUD 1945 dan sangat tinggi tingkat fleksibilitasnya membuka ruang gerak terlalu luas bagi penafsiran yang diberlakukan pemerintah.

Di antara ketidakjelasan arah politik hukum UUD 1945 adalah masa jabatan presiden yang tidak membatasi berapa kali dapat dipilih kembali.[9] Vakumnya pasal yang mengatur arah kebijakan negara seperti regulasi pemilu, perlindungan HAM, dan hubungan antara pusat dan daerah juga menjadi faktor yang mengindikasikan keluwesan konstitusi, kalau tidak dikatakan sebagai bentuk kealpaan. Praktik ini kemudian berlanjut ke pemerintahan berikutnya yaitu Orde Baru (Orba) yang juga mengiklankan akan memberlakukan UUD 1945 secara murni.

Penerapan konstitusi secara murni pada kenyataannya merupakan strategi pemerintah Orba untuk melanggengkan kekuasaannya sama seperti rezim sebelumnya. Selama 30 tahun lebih, pemerintah Orba dengan otoritasnya menafsirkan konstitusi yang fleksibel tersebut dengan pollical will yang diinginkan dan sangat menyimpang dari semangat negara Pancasila yang sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.[10] Agar dasar legitimasi kebijakan pemerintah tetap tegak yaitu UUD 1945, maka pemerintah berupaya agar UUD 1945 sangat sulit untuk diubah.

Bentuk konkret upaya pemerintah tersebut tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. UU Referendum tersebut bersandar pada Ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/ MPR/1983 yang menyatakan bahwa UUD 1945 tidak akan diubah. Namun agar terkesan demokratis, UU tersebut membuka sedikit pintu adanya upaya dilakukan amandemen UUD 1945 yaitu dengan cara referendum. Dalam tataran norma saja pelaksanaan amandemen tersebut sangat sulit dilakukan mengingat mengumpulkan dan mengolah suara rakyat se-Indonesia secara serentak dalam satu hari merupakan hal yang sangat sulit, jika tidak dikatakan mustahil.[11] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintah Orba tidak ingin agar UUD 1945 diamandemen karena akan meruntuhkan dasar legitimasi kekuasaannya, namun UU tersebut diberlakukan agar maksud tersebut tetap terlihat demokratis.

Rakyat Indonesia yang sudah muak dengan penerapan demokrasi secara formal-prosedural dan mengabaikan materiil-substansial menghendaki terjadinya reformasi. Tuntutan reformasi tersebut salah satunya adalah penegakan hukum dan demokrasi secara substansial. Merespon hal tersebut, MPR kemudian menggelar Sidang Tahunan yang kemudian lahirlah TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 dan UU Nomor 25 Tahun 2000. Agenda tersebut dilanjutkan dengan amandemen UUD 1945 dengan cara perubahan substansial, selain Pembukaan, yang diiringi dengan sistem adendum yaitu naskah asli tetap dipertahankan dengan melampirkan hasil perubahan.

Amandemen tersebut berhasil mengubah arah politik hukum, ketatanegaraan, dan sistem pemerintahan yang dianut. Sebelum amandemen, UUD 1945 menganut executive heavy yang diimbangi dengan kedaulatan MPR. Penerapan sistem ini mereduksi prinsip check and balances dan sistem ini dihapus dengan perubahan konstitusi. Presiden tidak lagi memiliki superioritas kewenangan dan kedaulatan rakyat tidak lagi direpresentasikan oleh MPR. Dari pemaparan tersebut, terlihat jelas bahwasanya agenda amandemen konstitusi tersebut berhasil mengubah aspek fundamental yang pada masa sebelum reformasi kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian oleh negara.  

Koklusi

Konstitusi memiliki posisi sentrapl dalam kehidupan bernegara karena pembentukan organ pemerintahan, jaminan HAM, dan penerapan kedaulatan rakyat sangat bergantung pada konstitusi. Konstitusi yang baik adalah konstitusi yang mengakomodasi prinsip-prinsip konstitusionalisme yang tidak terlalu fleksibel sehingga dapat dinodai oleh penafsiran pemerintahan dan tidak terlalu rigidi sehingga tidak membuka probabilitas menyesuaian dengan dinamika zaman. Indonesia pernah mengalami dinamika konstitusi yang kelam karena konstitusi hanya dijadikan stempel penguasa dalam melaksanakan kepentingan politik tanpa memperhatikan suara rakyat. Sejarah kelam tersebut harus menjadi catatan yang selalu digaristebalkan agar tidak terulang di era reformasi saat ini.

 

[1]            Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hlm. 5

[2]            Ibid, hlm. 6

[3]            Charles McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern (Liberty Fund, 1947) hlm. 2

[4]            Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Depok: Rajawali Pers, 2023) hlm. 27

[5]            Dennis C. Muller, Constitutional Democracy (New York: Oxford University, 1996) hlm. 43

[6]            Mahfud, Politik Hukum…, op.cit. hlm, 133 – 137

[7]            Palguna, Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Politik Hukum di Indonesia (Depok: Rajawali Pers, 2020) hlm. 147

[8]             Mahfud, Politik Hukum…, op.cit. hlm, 147

[9]            Lihat Pasal 7 UUD 1945

[10]           Palguna, loc. cit

[11]             Lihat UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, terutama Pasal 3, 5, 7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Politik dinasti dalam perspektif demokrasi
Opini

Literasi Hukum – Politik dinasti merupakan salah satu fenomena yang kerap dijumpai dalam proses pemilu. Tak jarang, hal tersebut menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat. Mengingat, negara dengan…

Pers dan media sebagai pilar demokrasi
Opini

Literasi Hukum – Pers dan media massa merupakan pilar keempat demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keduanya memiliki peran untuk menyampaikan informasi kepada publik secara bebas, jujur, dan berimbang….