Opini

Persoalan Bahasa Asing dalam Nama Perseroda

Radhyca Nanda Pratama, S.H., M.Kn.
1485
×

Persoalan Bahasa Asing dalam Nama Perseroda

Sebarkan artikel ini
Larangan bahsa asing dalam Nama Perseroda
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas polemik penggunaan bahasa asing dalam nama Perseroan (Perseroda). Di satu sisi, PP 54/2017 melarang penggunaan bahasa asing. Di sisi lain, UU 40/2007 dan PP 43/2011 memberikan keleluasaan untuk menggunakan bahasa apa pun. Artikel ini juga mengkritisi Perpres 63/2019 yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas.

Larangan Bahasa Asing pada Nama Perseroda

Nama perseroda merupakan salah satu bagian esensial dalam anggaran dasar perseroda. Mengingat hal tersebut merupakan syarat minimal yang semestinya dimuat dalam suatu anggaran dasar perseroda sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 ayat (2) PP 54/2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (PP 54/2017). Ketentuan tersebut selaras dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) yang melegitimasi syarat minimal yang serupa terhadap anggaran dasar Perseroan.

Tedapat keanehan ketika mencermati Pasal 15 ayat (1) huruf h PP 54/2017 yang secara expressive verbis mensyaratkan bahwa Nama Perseroda tidak boleh mengandung bahasa asing. Padahal jika memperhatikan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf i PP 54/2017 telah membuka diri dan menundukkan terhadap peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas.

Melalui rumusan Pasal 5 ayat (1) PP 43/2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (PP 43/2011) menjelaskan terkait beberapa kriteria yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan Nama Perseroan kepada Menteri Hukum dan HAM. Pada hakikatnya dalam Pasal a quo secara tegas tidak melarang penggunaan bahasa asing dalam Nama Perseroan.

Berdasarkan praktiknya terdapat 2 (dua) Perseroda yang berkedudukan di Jakarta yang namanya mengandung unsur bahasa asing. Kedua perseroda tersebut, yaitu PT Food Station Tjipinang Jaya (Perseroda) dan PT Mass Rapid Transit Jakarta (Perseroda).

Untuk PT Mass Rapid Transit Jakarta (Perseroda) landasan hukumnya terlacak pada Perda Provinsi DKI Jakarta No. 9/2018 tentang Perseroan Terbatas MRT Jakarta (Perseroan Daerah). Sedangkan PT Food Station Tjipinang Jaya (Perseroda) landasan hukumnya dapat kita temui dalam Perda Provinsi DKI Jakarta 4/2023 tentang Perubahan Bentuk Hukum Perseroan Terbatas Food Station Tjipinang Jaya menjadi Perseroan Terbatas Food Station Tjipinang Jaya (Perseroan Daerah).

Menariknya lagi terkait larangan penggunaan bahasa asing terhadap Nama Perseroda dalam ketentuan peralihan pada PP 54/2017 tidak mengatur atau mengecualikan terhadap perseroda yang eksisting sebagai badan hukum yang namanya mengandung bahasa asing tetap berlaku dan sah. Menurut hemat saya hal tersebut dapat menimbulkan problematik tersendiri bilamana membaca ketentuan Pasal 140 PP 54/2017 mengatur bahwa terhadap segala ketentuan pelaksana BUMD dinyatakan masih berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP tersebut.

Persoalan Pemakaian Bahasa Asing dalam Nama Perseroda

Jika mencermati 2 (dua) Perda yang diuraikan sebelumnya, konsideran bagian menimbang keduanya sama-sama menyebutkan PP 54/2017. Kedua Perda tersebut berpotensi mengakibatkan disharmoni hukum dengan PP 54/2017.

Adapun Nama Perseroda yang termuat dalam kedua Perda tersebut mengandung unsur bahasa asing. Melalui tulisan singkat ini menjelaskan mengenai persoalan pemakaian bahasa asing dalam Nama Perseroda.

Pertama, penggunaan bahasa asing maupun bahasa daerah terhadap Nama Perseroda sejatinya diperbolehkan. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi mengenai ketentuan pemakaian sebuah nama perseroan menginduk pada ketentuan PP 43/2011. Melalui ketentuan Pasal 1 angka 2 PP 43/2011 menjelaskan bahwa nama perseroan merupakan identitas bagi sebuah perseroan guna membedakan dengan perseroan lainnya sehingga ketentuan tersebut secara mutatis mutandis berlaku juga terhadap Nama Perseroda.

Pada dasarnya dalam UU 40/2007 maupun PP 43/2011 telah memberikan keleluasaan bagi para pendiri Perseroan untuk memilih, menentukan dan menggunakan Nama Perseroan dengan bahasa apapun sepanjang tidak menyimpang dengan persyaratan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP 43/2011. Saya berpandangan bahwa Nama Perseroda diperbolehkan menggunakan bahasa asing maupun bahasa daerah dengan ketentuan memenuhi persyaratan dalam UU 40/2017 jo. PP 43/2011.

Dasar pertimbangan lainnya berupa adanya unsur kebaruan (novelty) sebagaimana yang disyaratkan baik dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b PP 43/2011 maupun Pasal 14 ayat (1) huruf a PP 54/2017. Kedua Pasal tersebut sama-sama mengatur bahwa “nama perseroan yang akan digunakan belum dipakai secara sah oleh perseroan dan perusahaan daerah lain atau sama pada pokoknya dengan nama perseroan dan perusahaan umum di Daerah lain.” Dengan perkataan lain, penggunaan frasa atau kata dalam menentukan nama pada saat pendirian Perseroan maupun Perseroda sejatinya masih terbuka peluang lebar untuk menggunakan bahasa lainnya sehingga Nama Perseroan atau Perseroda tersebut menjadi unik dikarenakan terdapat unsur pembeda dengan Nama Perseroan atau Perseroda yang eksisting.

Rupa-rupanya ratio legis dari ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf h PP 54/2017 berpatokan pada peraturan perundang-undangan Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (vide UU 24/2009). Dalam ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU 24/2009 jo. Pasal 36 ayat (3) Perpres 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres 63/2019) telah membuka ruang dapat dipergunakan bahasa asing atau bahasa daerah dalam Nama Perseroan maupun Perseroda sepanjang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.

Menjadi pertanyaan, siapa yang dapat menentukan adanya unsur nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan dalam Nama Perseroan maupun Perseroda? Tidak mungkin Menteri Hukum dan HAM Cq. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum disibukkan manakala meneliti dan memeriksa pengajuan Nama Perseroan maupun Perseroda yang menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah telah terpenuhi unsur-unsur tersebut. Saya rasa pedoman pokok yang digunakan sebagai acuan seharusnya untuk meneliti permohonan pengajuan permohonan pemesanan Nama Perseroan maupun Perseroda mengacu pada UU 40/2017 maupun PP 43/2011 melainkan bukan Perpres 63/2019.

Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (2) Perpres 63/2019 mengatur bahwa kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia hanya berlaku bagi Perseroan Terbatas yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pasal tersebut merupakan Pasal keranjang sampah dikarenakan secara nyata terdapat kontradiksi dengan UU 40/2007 maupun PP 43/2011.    

Selain itu, materi muatan Pasal 36 ayat (2) Perpres 63/2019 tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b PP 43/2011 dan Pasal 14 ayat (1) huruf a PP 54/2017. Penulis sendiri menilai dalam ketentuan Pasal 36 ayat (2) Perpres 63/2019 pemerintah sudah terlalu jauh ikut campur tangan dengan mewajibkan menggunakan bahasa Indonesia terhadap Nama Perseroan sehingga menafikan peraturan perundang-undangan Perseroan yang tidak mensyaratkan seperti itu.     

 Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b PP 43/2011 dan Pasal 14 ayat (1) huruf a PP 54/2017 telah mensyaratkan adanya unsur kebaruan (novelty) dalam pemakaian Nama Perseroan maupun Perseroda sebagai daya pembeda dengan Nama Perseroan maupun Perseroda eksisting lainnya. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 36 ayat (2) Perpres 63/2019 seharusnya ditinjau ulang keberadaannya dan bahkan perlu dicabut.  

Kedua, larangan penggunaan Prinsip Retroaktif dalam peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas. Ruang lingkup larangan menggunakan prinsip tersebut tidak hanya pada ranah Hukum Publik (Hukum Pidana) melainkan juga berlaku pada ranah Hukum Privat maupun Hukum Bisnis (dalam hal ini Hukum Perseroan).

Pemberlakuan larangan Prinsip Retroaktif dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 28I ayat (1) Amandemen Kedua UUD NRI 1945. Selain itu, prinsip tersebut terlacak dalam ketentuan Pasal 2 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB) yang menyatakan “peraturan perundang-undangan hanya berlaku untuk waktu di kemudian hari dan tidak berlaku surut.”

Terdapat keterkaitan antara larangan menerapkan Prinsip Retroaktif dengan pengaturan mengenai larangan penggunaan bahasa asing terhadap Nama Perseroda dalam PP 54/2017. Keterkaitannya berupa pemberlakuan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf h PP 54/2017 hanya diperuntukkan bagi Pendirian Perseroda pasca diundangkannya PP 54/2017. Namun tidak berlaku surut terhadap Perseroda yang telah eksisting sebelum diundangkannya PP 54/2017 meskipun Perseroda eksisting tersebut sejak pendiriannya nama yang digunakan mengandung bahasa asing.

Pengajuan dan pemakaian Nama Perseroda sudah sepantasnya dalam ketentuan PP 54/2017 menginduk pada UU 40/2007 yang merupakan umbrella legislation. Mengingat salah satu tolak ukur tercapainya kepastian hukum nyata adalah tersedianya peraturan perundang-undangan yang jelas dan konsisten yang diterbitkan oleh lembaga yang memiliki otoritas dibidang legislasi (Sulistyowati Irianto dkk, 2012: 122). Akhirnya, penulis berharap perlu dilakukan harmonisasi hukum mengenai ketentuan larangan pemakaian bahasa asing dalam Nama Perseroda dengan peraturan perundang-undangan Perseroan Terbatas (vide UU 40/2007 dan PP 43/2011) yang semestinya dilakukan oleh pemerintah demi mewujudkan kepastian hukum nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

hukum perdata di Indonesia
Perdata

Pelajari segala hal tentang hukum perdata di Indonesia: sejarah, struktur, prinsip utama, reformasi, tantangan, kasus penting, serta pengaruh hukum adat dan hukum Islam. Dapatkan penjelasan mendetail dan lengkap di sini