Literasi Hukum – Ilmu Hukum Pidana adalah pengetahuan tentang hukum pidana yang berlaku di suatu negara. Dalam ilmu ini terdapat tiga fase untuk memahami obyektif hukum pidana, yaitu interpretasi, konstruksi, dan sistematik. Dengan memahami hal ini, kita dapat menentukan hukum secara obyektif dan menghindari pandangan subyektif.
Ilmu Hukum Pidana
Ilmu Hukum Pidana merupakan ilmu atau pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yakni hukum pidana. Obyek dari ilmu ini adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku di suatu negara; bagi kita hukum pidana Indonesia, hukum pidana yang berlaku dinamakan hukum pidana positif. di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai hukum pidana terbagi menjadi 2, yaitu aturan hukum yang termaktub di dalam KUHP atau Wetboek van Strafrecht, dan ketentuan pidana di luar KUHP.
Kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dari adanya ilmu hukum pidana? tujuannya yakni menyelidiki pengertian obyektif dari hukum pidana positif. Dalam arti objektif,hukum pidana positif dapat diartikan sebagai serangkaian larangan atau keharusan untuk berbuat sesuatu, yang terhadap pelanggarannya dikenakan ancaman hukuman. “Rechtswissenschaft ist die Wissenschaft vom obyektiven sinn des positive Rechts”, demikian Prof. Radbruch dalam Vorschule der Rechtfilosofie 1948.
Penyelidikan tersebut memiliki 3 (tiga) fase untuk dilalui, tiga Stufen, yakni:
- Interpretasi;
- Konstruksi;
- Sistematik.
Interpretasi
Interpretasi, bertujuan untuk mengetahui pengertian obyektif dari apa yang termaktub di dalam aturan-aturan hukum, yang dimaksudkan dengan pengertian obyektif adalah mungkin berbeda dengan pengertian subyektif dari pejabat-pejabat ketika membuat aturan. Sebab jika tidak demikian dan tetap mengikuti pengertian pada saat lahirnya, maka aturan-aturan tadi tidak dapat digunakan untuk waktu yang keadaan masyarakatnya jauh berlainan dari ketika aturan-aturan dibuat, sehingga tidak dapat mengikuti kehidupan dan pertumbuhan rakyat. Akibatnya ialah bahwa aturan-aturan hukum lalu dirasa sebagai penghalang perkembangan masyarakat. Interpretasi dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan untuk mengartikan setiap aturan hukum pidana secara benar dan objektif sesuai dengan aturan hukum yang dibutuhkan dan dikehendaki oleh masyarakat.
Konstruksi
Konstruksi, merupakan bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang tertentu, dengan tujuan agar supaya apa yang termaktub dalam bentukan itu merupakan pengertian yang jelas dan terang. Rumusan-rumusan delik misalnya adalah suatu konstruksi yuridis.
Misalnya: pencurian dalam Pasal 362 KUHP, dirumuskan sebagai: mengambil barang orang lain, dengan maksud memilikinya secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang dapat dimasukkan dalam konstruksi ini itulah yang menurut hukum dianggap sebagai pencurian. Dalam arti lain, setiap perbuatan pidana yang diselidiki harus terlebih dahulu memenuhi setiap konstruksi yuridis yang tertera dalam undang-undang sebelum dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman/pemidanaan. pemenuhan unsur delik menjadi contoh nyata dari konstruksi yuridis.
Sistematik
Sistematik, mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau seluruh bidang hukum pada umumnya, maksudnya adalah agar supaya peraturan-peraturan yang banyak dan beraneka warna itu, tidak merupakan hutan belukar yang sukar lagi berbahaya untuk diambil kemanfaatanya, tetapi supaya merupakan tanaman yang teratur dan indah rupanya sehingga memberikan kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.
Kesimpulan
Dengan mengerti makna obyektif dari hukum pidana yang berlaku serta mempergunakan sarana konstruksi dan sistematik, maka dalam menetapkan (toepassen) hukum itu, baik sebagai Polisi, Pamongpraja, Jaksa, Hakim, maupun Pengacara danPembela, orang lalu bukan saja mengetahui tentang adanya aturan hukum yang berlaku, melainkan juga mengetahui akan maksudnya, baik sebagai suatu aturan khusus, maupun dalam rangkaiannya dengan lain-lain aturan, yang merupakan bentukan atau konstruksi hukum yang tertentu, dengan tujuan yang tertentu pula, ataupun justru sebagai perkecualian dari aturan-aturan lain.
Dengan demikian orang tadi lalu tidak ragu-ragu, tidak bimbang atau bingung manakala menghadapi suatu kompleks kejadian itu, sebab alas an-alasan yang dipakai dalam menentukan hukumnya kompleks kejadian tersebut, bukanlah pandangan yang subyektif, menurut keinginan atau kehendak sendiri, yang tergantung dari keadannya masing-masing, melainkan pandangan yang obyektif menurut ketentuan ilmiah, sehingga boleh diuji dan ditelitu kebenarannya oleh siapapun juga.
Daftar Bacaan
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993