Literasi Hukum – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Bagaimana kebijakan ini memengaruhi daya beli masyarakat, UMKM, dan perekonomian nasional? Simak ulasan lengkap beserta rekomendasi strategis untuk menghadapinya.
Rencana Menaikkan Tarif Pajak oleh Pemerintah
Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif tersebut disebut hanya akan berlaku untuk barang dan jasa yang masuk kategori mewah atau premium. Langkah ini diambil untuk menyesuaikan aturan perpajakan dengan kebutuhan ekonomi nasional.
Pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah bantuan beras bagi masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, ada juga insentif PPh untuk industri padat karya dan diskon 50% tagihan listrik bagi pelanggan dengan daya di bawah 2200 VA selama dua bulan. Kebijakan ini ditujukan untuk membantu rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, sektor properti, mobil listrik dan hybrid.
Tidak sedikit yang beranggapan bahwa penerapan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan bagi pelaku usaha. Misalnya, jika sebuah toko ritel menjual barang mewah dan barang biasa sekaligus, penjual harus menghitung tarif yang berbeda untuk masing-masing kategori. Proses ini dapat memperumit administrasi pajak, karena setiap kategori barang memerlukan perhitungan yang terpisah. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perhitungan pajak yang harus dibayar.
Kenaikan PPN dianggap kurang tepat karena ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih. Kondisi ini semakin membebani, terutama bagi kelas menengah ke bawah yang sudah menghadapi tekanan akibat inflasi dan kenaikan harga barang pokok. Kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana dampaknya terhadap ekonomi rakyat? Hal ini penting untuk memahami implikasinya secara menyeluruh dan merumuskan langkah-langkah yang lebih adil.
Dampak Terhadap Masyarakat
Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi kelompok menengah ke bawah. Dalam kondisi ekonomi yang masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi, kebijakan ini berpotensi melemahkan daya beli masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga menyumbang 52,88% terhadap PDB pada triwulan III 2023. Jika daya beli menurun akibat kenaikan PPN, pertumbuhan ekonomi nasional dapat terpengaruh secara signifikan.
Kenaikan PPN berpotensi memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. BPS mencatat Gini ratio Indonesia pada Maret 2024 adalah 0,379. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia menurun. Tarif PPN yang lebih tinggi dapat meningkatkan beban masyarakat miskin karena harga barang kebutuhan pokok berpotensi naik akibat dampak distribusi. Hal ini dapat semakin menekan kelompok miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar, memperbesar kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin.
Disisi lain, kenaikan tarif PPN diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan nasional, seperti infrastruktur dan layanan publik. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pengelolaan pajak yang transparan dan akuntabel. Jika penerimaan pajak tambahan tidak dikelola dengan baik, kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal bisa menurun. Transparansi menjadi hal penting agar masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dari kebijakan ini.
Bagi pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kenaikan PPN dapat menambah tekanan operasional. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia menyumbang terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 61% pada tahun 2023. Kontribusi ini setara dengan Rp9.580 triliun , bergantung pada daya beli masyarakat yang kuat. Jika kenaikan PPN menyebabkan konsumen mengurangi pengeluaran, maka akan berdampak negatif terhadap pendapatan pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif khusus atau subsidi untuk UMKM agar mereka dapat bertahan dan tetap berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% membutuhkan pertimbangan yang matang dan strategi mitigasi yang jelas. Pemerintah harus memastikan kebijakan ini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Langkah-langkah seperti peningkatan subsidi, program bantuan sosial, dan insentif bagi UMKM perlu dilakukan secara konsisten. Dengan pendekatan yang tepat, kebijakan ini dapat menyeimbangkan peningkatan penerimaan negara dengan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Dampak Terhadap Ekonomi
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Kebijakan ini diperkirakan akan menambah pemasukan sekitar Rp 60 triliun per tahun, yang bisa digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik. Namun, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam karena PPN adalah pajak konsumsi yang langsung memengaruhi daya beli masyarakat. Dampaknya pada ekonomi, terutama terhadap kelompok berpenghasilan rendah, harus menjadi perhatian utama.
Kenaikan tarif PPN berpotensi membuat pengeluaran rumah tangga semakin membebani, terutama bagi konsumen. Harga barang-barang konsumsi akan meningkat sesuai dengan selisih tarif PPN, yang berisiko menurunkan daya beli, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kelompok ini akan merasakan dampak lebih besar, apalagi untuk produk-produk yang bukan kebutuhan pokok dan tidak dikecualikan dari PPN. Dampak ini bisa memengaruhi pola konsumsi dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Kebijakan ini juga akan berdampak pada sektor bisnis, khususnya UMKM. Meskipun batasan omzet untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap Rp 4,8 miliar per tahun, kenaikan PPN berpotensi memengaruhi rantai pasok dan biaya operasional. Perusahaan harus mempertimbangkan penyesuaian harga jual untuk menghadapi perubahan ini. Hal ini bisa berdampak pada daya saing produk mereka di pasar yang semakin kompetitif.
Kenaikan PPN dapat memberikan dampak yang luas dari sisi makroekonomi. Di satu sisi, dengan meningkatnya penerimaan negara, pemerintah dapat memperkuat anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. Namun, di sisi lain, kenaikan ini berisiko menurunkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini penting karena konsumsi rumah tangga merupakan bagian terbesar dari PDB Indonesia.
Sektor ritel modern dan tradisional kemungkinan akan merasakan dampak yang berbeda. Ritel modern, yang sudah memiliki sistem perpajakan yang lebih terstruktur, akan lebih mudah menyesuaikan diri. Sebaliknya, pedagang tradisional mungkin akan menghadapi tantangan dalam menyesuaikan harga dan margin keuntungan. Perbedaan ini dapat mempengaruhi persaingan di sektor ritel secara keseluruhan.
Inflasi menjadi isu yang penting dalam penerapan kebijakan ini. Kenaikan PPN dapat menambah tekanan inflasi dalam jangka pendek, meskipun dampaknya bergantung pada bagaimana pasar menyerap kenaikan harga tersebut. Selain itu, efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia juga memainkan peran besar dalam mengendalikan inflasi. Oleh karena itu, koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter sangat diperlukan untuk mengurangi risiko inflasi.
Kenaikan PPN dapat memengaruhi distribusi pendapatan dan kesenjangan ekonomi. Meskipun PPN cenderung regresif, penerimaan tambahan dari pajak ini dapat digunakan untuk program sosial dan pembangunan infrastruktur yang mendukung kelompok berpendapatan rendah. Dengan demikian, program-program tersebut bisa membantu mengurangi dampak negatif yang dirasakan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada seberapa efektif program redistribusi yang dilaksanakan.
Dalam jangka panjang, kesuksesan implementasi kenaikan PPN akan sangat ditentukan oleh transparansi dalam penggunaan dana. Selain itu, efektivitas program-program pemerintah akan berperan besar dalam menjaga keberlanjutan kebijakan ini. Peningkatan penerimaan negara harus diimbangi dengan perbaikan kualitas belanja publik. Dengan penguatan tata kelola yang baik, diharapkan manfaat dari kebijakan ini dapat dirasakan secara optimal bagi perekonomian nasional.
Implikasi terhadap sosial dan politik
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% bisa memberi dampak besar pada daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di kelompok menengah ke bawah. Harga barang dan jasa yang lebih tinggi akibat kenaikan pajak ini akan memaksa banyak orang untuk menyesuaikan pengeluaran mereka. Masyarakat mungkin akan mengurangi konsumsi atau beralih ke produk yang lebih murah, namun ini bisa membatasi pilihan mereka. Akibatnya, kesenjangan sosial bisa semakin lebar, dengan kelompok berpenghasilan rendah merasakan dampak ekonomi yang lebih berat.
Kebijakan kenaikan PPN berpotensi memicu penolakan dari berbagai kelompok, seperti serikat pekerja, asosiasi pengusaha kecil, dan organisasi konsumen. Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan kebutuhan peningkatan pendapatan negara dengan keinginan publik akan harga yang stabil dan daya beli yang terjaga. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ini dapat mengurangi tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Dampaknya, ketegangan ini bisa mempengaruhi dinamika politik, khususnya menjelang pemilihan umum yang akan datang.
Kenaikan PPN dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat, mendorong mereka untuk mengurangi frekuensi makan di luar rumah atau membatasi kegiatan rekreasi yang memerlukan biaya lebih. Perubahan ini tentu akan berdampak pada hubungan sosial dan kohesi dalam masyarakat. Tekanan ekonomi yang timbul juga berpotensi memicu ketegangan sosial dan meningkatkan risiko konflik antar kelompok. Dalam skala yang lebih besar, kebijakan kenaikan PPN akan menguji sejauh mana sistem perlindungan sosial yang ada mampu memberikan dukungan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan kompensasi yang tepat, agar kelompok rentan tetap terlindungi. Jika dampak sosial ini tidak dikelola dengan baik, bisa saja terjadi penurunan dukungan politik dan munculnya gerakan protes yang mengancam stabilitas sosial. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan komunikasi yang jelas dan menyeluruh kepada masyarakat. Program mitigasi yang efektif harus disiapkan agar kebijakan ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Kesimpulan dan rekomendasi
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% berpotensi meningkatkan penerimaan negara, namun dapat memperburuk daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah, serta memperlebar kesenjangan sosial. Kebijakan ini juga dapat menambah beban bagi UMKM dan memperburuk inflasi, yang memerlukan pengelolaan kebijakan yang hati-hati dan transparan. Untuk memitigasi dampak negatifnya, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter serta program redistribusi yang efektif sangat penting. Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada pengelolaan yang baik dan transparansi dalam penggunaan dana untuk memastikan manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan, antara lain :
- Transparansi dalam Pengelolaan Pajak: Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa dana yang diperoleh dari kenaikan PPN digunakan secara transparan dan akuntabel. Masyarakat perlu melihat dengan jelas bagaimana pajak yang mereka bayar berkontribusi langsung pada kesejahteraan bersama, misalnya untuk pembangunan infrastruktur atau program sosial. Hal ini akan memperkuat rasa kepercayaan dan kerjasama antara pemerintah dan rakyat.
- Dukungan untuk UMKM: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian kita. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus dengan memberikan subsidi atau insentif agar UMKM dapat terus berkembang meskipun menghadapi kenaikan PPN. Ini akan membantu menjaga lapangan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
- Bantuan untuk Masyarakat yang Terkena Dampak: Mengingat kesulitan yang mungkin dialami oleh kelompok menengah ke bawah akibat kenaikan PPN, penting bagi pemerintah untuk memperkuat program bantuan sosial. Misalnya, dengan memberikan subsidi barang kebutuhan pokok atau bantuan tunai, pemerintah dapat membantu masyarakat tetap menjaga daya beli mereka, sehingga tidak semakin tertekan.
- Kebijakan Ekonomi yang Peduli pada Kebutuhan Dasar: Kebijakan kenaikan PPN harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung sektor-sektor yang sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti pangan dan energi. Penyesuaian harga barang pokok atau pemberian insentif pada industri yang terpengaruh dapat membantu meringankan beban hidup yang semakin berat.
- Kerjasama Antara Kebijakan Fiskal dan Moneter: Agar dampak negatif terhadap daya beli masyarakat dapat diminimalisir, penting bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk bekerja sama dengan lebih baik. Kebijakan fiskal yang diambil harus selaras dengan kebijakan moneter yang bertujuan menjaga inflasi agar tetap terkendali, sehingga masyarakat tidak semakin terbebani.
- Edukasi dan Komunikasi yang Jelas ke Masyarakat: Untuk membantu masyarakat memahami kebijakan kenaikan PPN, penting bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang jelas dan menyeluruh. Jika masyarakat tahu alasan dan tujuan kebijakan ini, mereka akan lebih menerima meskipun ada dampak ekonomi yang mungkin dirasakan. Pendekatan komunikasi yang empatik akan membantu menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan rakyat.
- Perlindungan Sosial yang Lebih Kuat: Keberadaan sistem perlindungan sosial yang kuat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan tetap terlindungi. Program asuransi sosial, seperti jaminan kesehatan dan pendidikan, sangat penting untuk membantu meringankan beban hidup mereka, memastikan bahwa mereka tidak tertinggal dalam pembangunan ekonomi.
- Evaluasi Dampak Secara Berkala: Pemerintah harus secara teratur mengevaluasi dampak dari kenaikan PPN terhadap masyarakat dan perekonomian. Dengan mendengarkan masukan dari rakyat dan melihat hasil evaluasi, kebijakan dapat diperbaiki untuk memastikan bahwa tujuan kebijakan tercapai tanpa mengorbankan kelompok masyarakat yang sudah rentan.
Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi ini, diharapkan kenaikan PPN dapat dilaksanakan dengan cara yang lebih adil dan mengurangi potensi dampak negatif bagi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Referensi
- BPS. 2024. Ekonomi Indonesia triwulan III-2024 tumbuh 1,50 persen (Q-to-Q). Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/11/05/2382/ekonomi-indonesia-triwulan-iii-2024-tumbuh-1-50-persen–q-to-q-.html
- BPS. 2024. Gini ratio Maret 2024 tercatat sebesar 0,379. Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/07/01/2371/gini-ratio-maret-2024-tercatat-sebesar-0-379-.html
- Kamar Dagang dan Industri Indonesia. 2024. UMKM Indonesia. Kadin Indonesia. https://kadin.id/data-dan-statistik/umkm-indonesia/
- Harahap, M. H. E. S. Daftar barang dan jasa yang terkena PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4532982/daftar-barang-dan-jasa-yang-terkena-ppn-12-persen-mulai-1-januari-2025
- LPEM. (2024). Indonesia Economic Outlook 2025 [PDF]. LPEM FEB UI. https://lpem.org/wp-content/uploads/2024/11/IEO-2025-ID-a.pdf