Literasi Hukum – Artikel ini membahas perbedaan wewenang antara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN) dalam menangani perkara pertanahan yang berkaitan dengan sertifikat hak milik. PTUN berwenang membatalkan sertifikat hak milik yang cacat administrasi, sedangkan PN berwenang menyatakan sertifikat tidak memiliki kekuatan hukum dalam perkara perdata. Artikel ini juga menjelaskan bagaimana kedua lembaga ini menangani sengketa tanah serta implikasi dari putusan mereka.
Perkara Pertanahan
Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 menjelaskan mengenai pengertian Perkara Pertanahan, yang berarti perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
Perkara pertanahan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yakni peraturan yang belum sempurna, ketidaksesuaian dengan peraturan, dan kurangnya upaya dari otoritas pertanahan terhadap integritas dan kuantitas tanah yang tersedia, seperti data tanah yang tidak lengkap dan tidak akurat, sumber daya yang terbatas dalam hal menyelesaikan sengketa tanah, transaksi tanah yang tidak akurat, tindakan hukum dari pemohon hingga adanya tumpang tindih sertifikat hak dengan alas hak yang sama atas obyek yang sama.
Sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah dipertegas dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun 1997) yang merupakan “surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Sertifikat Hak Milik sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
Obyek gugatan atau pangkal sengketa tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengandung onrechtsmatig overheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa).
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjelaskan bahwa KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan pertanahan, pada dasarnya sertifikat hak milik atas tanah atau dokumen bukti hak atas tanah yang dalam hal ini diterbitkan oleh Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional sebagai badan atau pejabat tata usaha negara dapat dikategorikan sebagai KTUN. Hal ini mengingat bahwa PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur Badan Pertanahan Nasional (BPN) berwenang melakukan pendaftaran tanah.
Kepala Kantor Pertanahan mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan suatu KTUN berupa sertifikat hak milik atas tanah kepada seseorang atau badan hukum perdata yang telah memenuhi kriteria secara yuridis, maka tindakan tersebut dikategorikan kriteria keputusan pejabat tata usaha negara. Kepala Kantor Pertanahan juga harus memperhatikan dan mematuhi kriteria pendaftaran tanah yang diatur di dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria dan Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997.
Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Pembatalan Sertifikat Hak Milik
Apabila terdapat perkara pertanahan yang menyangkut kewenangan, prosedur, dan substansi yang bersifat administratif dalam penerbitan hak atas tanah atau sertifikat tanah, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili adalah peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 beserta perubahannya. Sebagai contoh BPN menerbitkan sertifikat hak milik atas nama pihak lain tanpa melalui prosedur dan substansi yang seharusnya, seperti tidak ada Akta Jual Beli, tidak ada surat keterangan riwayat tanah, tidak ada surat pernyataan tidak sengketa dari pemilik tanah, tidak ada pengukuran ke lokasi, penetapan batas bidang tanah yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, tidak ada pengesahan surat ukur, dan beberapa syarat dalam prosedur penerbitan sertifikat tanah tidak terpenuhi.
Maka, penerbitan sertifikat hak milik yang cacat administrasi dan cacat prosedur serta merugikan pihak tertentu seperti tersebut di atas, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar sertifikat hak milik tersebut dinyatakan batal atau tidak sah oleh hakim PTUN, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pembatalan Sertifikat Hak Milik
Pembatalan sertifikat hak milik yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau terdapat proses yang keliru terhadapnya merupakan tindakan administratif yang merupakan kewenangan instansi/badan yang menerbitkan atau peradilan tata usaha negara. Hal ini berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 383 K/Sip/1971 tanggal 3 November 1971 dengan kaidah hukum “menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi agraria secara sah tidak termasuk wewenang pengadilan negeri melainkan semata-mata wewenang administrasi”.
Pembatalan sertifikat hak milik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu : meminta pembatalan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN melalui Kantor Pertanahan dengan alasan adanya kesalahan hukum dalam proses penerbitannya atau melalui mekanisme pengajuan gugatan ke PTUN. Pembatalan surat bukti hak milik harus dimohonkan oleh pihak yang dimenangkan pengadilan kepada Kantor Pertanahan/BPN berdasarkan putusan pengadilan yang diperolehnya.
Sertifikat Hak Milik sebagai Alat Bukti Surat dalam Perkara Perdata
Sertifikat hak milik atas tanah yang disengketakan di peradilan umum atau pengadilan negeri berfungsi sebagai alat bukti surat, yang mana merupakan bukti formil sangat kuat kedudukannya dalam hukum perdata karena termasuk akta otentik. Setiap orang dapat membuktikan hak atas tanahnya apabila telah jelas nama yang tercantum dalam sertifikat tersebut sebagai pemegang. Obyek gugatan berupa sertifikat hak milik dalam perkara perdata tentunya berkaitan dengan onrechtmatig daad atau perbuatan melawan hukum perdata Pasal 1365 KUHPerdata.
Pengadilan Negeri (Peradilan Umum) Berwenang untuk Menyatakan Sertifikat Hak Milik Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum
Penerbitan sertifikat hak milik dapat diperkarakan di pengadilan negeri dalam lingkup peradilan umum dengan dasar perkara perdata antara para pihak yang bersengketa. Apabila suatu perkara pertanahan tersebut yang dipermasalahkan adalah sengketa kepemilikan hak atas tanah atau sengketa hak milik maupun masalah hak yang melekat pada kepemilikan tanah dan bukan keabsahan penerbitan sertifikat hak atas tanah, dengan demikian pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa kepemilikannya.
Sebagai contoh pada kasus-kasus seperti beberapa pihak mengaku memiliki sebuah bidang tanah, adanya perkara pertanahan antara saudara sekandung menyangkut hibah, waris, sengketa jual beli tanah antara para pihak, penyerobotan tanah, dan sebagainya. Maka terhadap perkara tersebut dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum pada wilayah pengadilan negeri setempat. Pengadilan negeri tidak mempunyai wewenang untuk melakukan pembatalan atas sertifikat hak milik, akan tetapi hanya berwenang menyatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum dalam amar putusannya.
Rumusan Kamar Perdata Nomor Perdata Umum/2/SEMA 10 2020 yang menyatakan bahwa : “Hakim perdata tidak berwenang membatalkan sertifikat, namun hanya berwenang menyatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah. Pembatalan sertifikat adalah tindakan administratif yang merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara”.
Bagaimana Jika Terdapat Putusan PTUN dan PN yang Bertentangan?
Jika terkait perkara kepemilikan tanah yang diajukan di PTUN dan pengadilan negeri namun ternyata kedua putusan tersebut bertolak belakang, maka sesuai dengan surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Nomor 6/WK.MA.Y/II/2020 tertanggal 10 Februari 2020, perihal Permasalahan Pertanahan yang menjadi obyek sengketa di Lembaga Peradilan, pada poin keempat surat tersebut menyatakan bahwa terhadap adanya Putusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan Putusan Perdata terkait dengan Masalah Kepemilikan, maka putusan Tata Usaha Negara mengacu pada Putusan Perdata. Atas dasar penjelasan tersebut, sepanjang terkait masalah kepemilikan, maka putusan PTUN harus mengacu pada putusan pengadilan negeri. Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN berupa penerbitan sertifikat hak milik atas tanah yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi oleh BPN atau Kantor Pertanahan, maka ia dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Sedangkan, pada peradilan umum dalam hal ini pengadilan negeri terdapat kompetensi mengadili perkara pertanahan terkait sengketa hak kepemilikan dikarenakan alasan-alasan keperdataan berupa perbuatan melawan hukum antara para pihak yang berkepentingan.
Jika di PTUN, status sertifikat hak milik atas tanah sebagai obyek sengketa (termasuk KTUN), sedangkan sertifikat hak milik yang disengketakan di pengadilan negeri berfungsi sebagai alat bukti surat otentik.
Referensi
- Diva Sukmawati, Putu. “Hukum Agraria dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis, Vol 2 no. 2 (2022).
- Pujiyono, Muh. “Perlindungan dan Kepastian Hukum Pemegang Hak atas Tanah (Studi Terhadap Putusan PTUN Pontianak dan PN Mempawah)”. Jurnal Nestor Magister Hukum, Vol 13 no. 1 (2017).