International Criminal Court (“ICC”) atau adalah pengadilan di tingkat international yang memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan luar biasa di tingkat internasional. ICC berdiri berdasarkan lahirnya perjanjian The Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma“) yang berlaku efektif pada 18 Juli 2002.
Secara normatif, ICC berwenang mengadili beberapa subjek hukum yang melakukan kejahatan luar biasa di tingkat internasional. Pasal 5 dari Statuta Roma menyatakan bahwa terdapat 4 bentuk dari kejahatan tersebut, yaitu genosida (the crime of genocide), kejahatan kemanusiaan (the crime against humanity), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan agresi (the crime of agression).
Kejahatan Kemanusiaan dalam Statuta Roma
Kejahatan kemanusiaan merupakan kejahatan yang yang ditujukan kepada penduduk sipil. Sifatnya luas dan sistematis, serta mengandalkan kesadaran sepenuhnya dari pihak pelaku. Pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 dalam Statuta Roma mengatur setidaknya 11 bentuk dari kejahatan kemanusiaan.
Bentuk pertama adalah pembunuhan. Ini merupakan kejahatan yang menyerang nyawa penduduk sipil melalui rangkaian perbuatan tertentu.
Bentuk kedua adalah pemusnahan. Ini merupakan kejahatan yang menghilangkan akses penduduk sipil untuk hidup bermasyarakat, termasuk menghancurkan pangan dan obat-obatan.
Bentuk ketiga adalah perbudakan. Kejahatan ini termasuk upaya perdagangan manusia, terutama terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak.
Bentuk keempat adalah pengusiran paksa. Pelaku kejahatan ini melakukan upaya apapun untuk membuat penduduk sipil pergi dari tempat tinggal mereka tanpa alasan yang valid berdasarkan hukum internasional.
Bentuk kelima adalah pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik yang melanggar aturan dasar hukum internasional.
Bentuk keenam adalah penyiksaan. Pelaku kejahatan ini secara sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat dengan menyerang fisik atau mental penduduk sipil yang ditargetkan.
Bentuk ketujuh adalah perbuatan yang berkenaan dengan seksualitas tubuh, seperti pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual yang berat.
Bentuk kedelapan adalah penganiayaan kolektif terhadap kelompok yang dilakukan dengan dasar politik, ras, kewarganegaraan, etnis, budaya, agama, gender, atau dasar lain yang secara universal diakui sebagai hal yang tidak dapat diintervensi berdasarkan hukum internasional.
Bentuk kesembilan adalah penghilangan paksa. Kejahatan ini termasuk penangkapan, penahanan, penyekapan yang dilakukan dengan dasar kewenangan, dukungan, atau persetujuan diam-diam dari suatu negara atau suatu organisasi politik. Lebih lanjut, kejahatan ini dibarengi dengan penolakan untuk mengakui perbuatan-perbuatan tersebut atau penolakan untuk memberi informasi mengenai keberadaan dari korban kejahatan sehingga, dalam rentang waktu yang lama, para korban berada di luar perlindungan hukum.
Bentuk kesepuluh adalah apartheid. Kejahatan ini termasuk penindasan dan dominasi oleh satu kelompok ras kepada kelompok ras yang lain dalam suatu rezim kelembagaan. Kelompok penindas melakukan kejahatan ini dengan tujuan untuk mempertahankan rezim tersebut.
Bentuk terakhir adalah perbuatan lain yang memiliki sifat setara dengan bentuk-bentuk sebelumnya dan memberikan penderitaan berat baik dari segi fisik maupun dari segi mental terhadap korban kejahatan.
Perlu diperhatikan bahwa, dalam mengadili seluruh bentuk kejahatan kemanusiaan tersebut, ada 2 unsur yang perlu melekat pada pelakunya.
Unsur pertama adalah mens rea yang berupa kesengajaan atau kesadaran penuh dari pelaku untuk melakukan kejahatan.
Unsur kedua adalah actus reus yang berupa karakteristik dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pelaku. Unsur ini disebut juga sebagai unsur objektif. Pasal 7 dari Statuta Roma mengatur bentuk dari unsur ini sebagai berikut:
- Bersifat luas (widespread);
- Bersifat sistematis (systematic attack);
- Terjadi berulang kali (multiple commission of acts);
- Ditujukan kepada penduduk sipil (against any civilian population); dan
- Dilakukan berdasarkan kebijakan negara atau suatu organisasi (based on state or organizational policy).
Kewenangan International Criminal Court
Dalam artikel jurnal berjudul Yurisdiksi ICC terhadap Negara Non-Anggota Statuta Roma 1998, Sefriani menyatakan bahwa ICC merupakan pengadilan yang melengkapi keberadaan pengadilan tingkat domestik. ICC baru dapat mengadili pelaku kejahatan jika pengadilan negara dari tempat pelaku berada tidak mampu dan/atau tidak mau melaksanakan proses peradilan. Kapasitas ICC eksis berdasarkan kewajiban yang diatur dalam hukum internasional dan berdampak pada negara yang bahkan tidak meratifikasi Statuta Roma.
Sebagai catatan, subjek hukum yang dapat diadili oleh ICC adalah individu, terutama orang yang berstatus sebagai warga negara dari negara peserta Statuta Roma. Individu yang bukan berasal dari negara peserta juga dapat diadili oleh ICC setelah melalui mekanisme perjanjian tertentu.
Menurut Widiada Gunakaya, dalam artikel jurnal berjudul Peranan dan Prospek ”International Criminal Court” sebagai International Criminal Policy dalam Menanggulangi ”Internasional Crimes”, ICC akan menerapkan kebijakan khusus ketika mengadili individu selaku pelaku kejahatan. ICC akan lebih dulu memerhatikan apakah pengadilan domestik mampu untuk mengadilinya. Jika terdapat indikasi bahwa pengadilan domestik tidak mampu dan/atau tidak ingin mengadili pelaku, barulah ICC dapat bertindak untuk melaksanakan proses peradilan.
Ada sejumlah kasus yang memperlihatkan bagaimana ICC mengadili individu pelaku kejahatan kemanusiaan.
Kasus pertama adalah Konflik Kongo yang terjadi pada 1998-2003. Ini adalah kasus kekerasan terhadap penduduk dari suku Hutu-Tutsi yang memakan 4 juta korban jiwa. Kasus ini melibatkan banyak organisasi teroris lokal, seperti Uni des Patriotes Congolais (UPC), The Forces Patriotiques pour la Liberation du Congo (FPLC), The Forces de Resistance Patriotiques en Ituri (FRPI), dan The Front des Nationalistess et Integrationnistes (FNI). Pada akhirnya, ICC mengadili Thomas Lubanga Dyilo, selaku pemrakarsa UPC dan FPLC, beserta Germain Katanga selaku komandan FRPI dan Mathieu Ngudjolo Chui selaku mantan pemimpin FNI.
Kasus selanjutnya adalah Konflik Uganda. Kasus ini melibatkan pihak militer Uganda dan The Lord’s Resistance Army (LRA). ICC melakukan investigasi pada 8 Juli 2005 terhadap para individu yang diduga merupakan pelaku kejahatan, yaitu Joseph Kony Komandan (LRA), Vincent Otti wakil ketua Komandan LRA, Okot Odhiambo wakil Panglima Angkatan Darat LRA, dan Dominic Ongwen merupakan Brigade Komandan LRA. Sayangnya, para terduga pelaku belum berhasil ditangkap dan masih dalam pengejaran.
Kasus yang tak kalah penting adalah kejahatan William Ruto. Kasus ini melibatkan Wakil Presiden Kenya, William Ruto, atas dugaan kejahatan kemanusiaan. Ruto dituntut sebagai dalang dari aksi kekerasan atas pemilu di Kenya pada tahun 2007. Temuan ICC mengungkapkan bahwa, pada pemilu tersebut, Ruto membentuk sebuah koalisi yang kemudian melakukan penyerangan terhadap setiap kelompok dari etnis yang berbeda di wilayah Kenya.
Dalam menangani kasus-kasus di atas, ICC bekerja dengan mekanisme yang diatur dalam Statuta Roma. Ada beberapa kasus yang belum berhasil ditangani oleh ICC. Ini disebabkan mekanisme Statuta Roma yang menerapkan prinsip kerja sama. Seharusnya, Statuta Roma mengatur prinsip yang integratif seluruh negara di dunia dapat meratifikasinya. Jika Statuta Roma diratifikasi oleh seluruh dunia, penanganan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan dapat berjalan lebih efektif.