Administrasi NegaraMateri HukumPerdata

Peradilan untuk Penyelesaian Konflik Pertanahan

Ramos Perisai
745
×

Peradilan untuk Penyelesaian Konflik Pertanahan

Sebarkan artikel ini
Peradilan Konflik Pertanahan
(Sumber: Unsplash/Gautier Pfeiffer)

Literasi Hukum – Dalam konflik pertanahan, para pihak yang bersengketa terkadang keliru menentukan lembaga peradilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Konkritnya, para pihak keliru menentukan apakah mereka akan mengajukan perkara ke lembaga peradilan umum (“PN”) atau lembaga peradilan tata usaha negara (“PTUN”).

Kekeliruan itu dapat memberi akibat fatal, yaitu gugatan yang diajukan menjadi tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Ini disebabkan tidak adanya dasar kewenangan bagi pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Kita dapat melihat fenomena ini melalui segelintir kasus.

Kasus pertama terdapat dalam Putusan No. 102/1992/TN/P.TUN.JKT. Di sini, majelis hakim memutus bahwa gugatan dari Penggugat salah alamat sehingga tidak dapat diterima. Alasannya, Penggugat mempermasalahkan batasan hak milik terhadap luas dari tanah sengketa. Majelis hakim menilai bahwa hal itu adalah perkara perdata yang merupakan yurisdiksi dari PN.

Kasus selanjutnya terdapat dalam Putusan No. 59/Pdt.G/2016/PN.Sda. Di kasus ini, majelis hakim menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah salah alamat. Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa perkara sebab evaluasi keabsahan dari keputusan gubernur yang menjadi objek sengketa merupakan yurisdiksi dari PTUN.

Apa yang menyebabkan PN dan PTUN menjangkau konflik pertanahan? Bagaimana caranya untuk membedakan kewenangan dari keduanya untuk menyelesaikan konflik? Artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut.

Titik Singgung PN dan PTUN

Dalam mengadili konflik pertanahan, kewenangan PN dan PTUN memiliki konteks tersendiri. Melalui Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial No. 6/WK.MA.Y/II/2020 (“Surat WMA”), Mahkamah Agung berpendapat bahwa perbedaan itu adalah sebagai berikut.

  • Apabila sengketa pertanahan tersebut menyangkut kewenangan, prosedur dan substansi dalam penerbitan surat pemberian hak atas tanah dan atau sertipikat hak atas tanah, maka hal demikian menjadi wewenang Badan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan menyelesaikannya.
  • Apabila sengketa pertanahan tersebut menyangkut kepemilikan hak atas tanah, maka demikian menjadi wewenang dari Badan Peradilan Umum.

Beberapa pakar menyatakan, indikator untuk membedakan jangkauan kewenangan PN dan PTUN dalam konflik pertanahan adalah sertifikat hak atas tanah.

Menurut Sarjita dan Hasan dalam buku Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah, sertifikat menyinggung aspek kewenangan PN dan PTUN secara sekaligus sebab sertifikat memuat aspek perdata sekaligus aspek administrasi.

Aspek perdata dari sertifikat terletak pada hak atas tanah yang timbul berdasarkan sertifikat tersebut. Di sini, penekanannya adalah hak berdasarkan sertifikat dan hak ini diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Jika konflik pertanahan menyangkut keberadaan hak ini, konflik diselesaikan lewat PN.

Aspek administrasi dari sertifikat terletak pada keputusan (beschikking) dari pejabat yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat tersebut. Di sini, penekanannya adalah sertifikat itu sendiri yang eksis berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi. Jika konflik pertanahan menyangkut keberadaan sertifikat, konflik diselesaikan lewat PTUN. Penyelesaian melalui PTUN juga dapat mencakup konflik pertanahan yang melibatkan pemerintah, seperti sengketa lahan dalam pengadaan tanah untuk jalan tol.

Aridi dan Natsir Asnawi, dalam artikel jurnal Batas Kewenangan Pengadilan dalam Sengketa Hak atas Tanah, menjelaskan bahwa untuk menentukan kewenangan PN dan PTUN dalam konflik pertanahan, menggunakan sertifikat hak atas tanah saja tidaklah cukup. Para pihak yang bersengketa juga perlu mencermati kaitan sertifikat dengan inti perkara.

Jika sertifikat menjadi dasar dari perselisihan hak dalam konflik pertanahan, perkara yang terjadi di antara para pihak adalah perkara perdata yang harus diselesaikan melalui PN. Sementara itu, jika sertifikat menjadi objek dalam konflik pertanahan, perkara yang terjadi di antara para pihak adalah perkara administratif yang harus diselesaikan melalui PTUN.

Mudah untuk memahami bahwa fokus PN terletak pada hak atas tanah yang timbul berdasarkan sertifikat, sedangkan fokus PTUN terletak pada keberadaan sertifikat itu sendiri.

Dalam mengadili konflik pertanahan, PN akan cenderung memeriksa seluk-beluk dari hak atas tanah yang berasal dari sertifikat. Misalnya, PN akan mengevaluasi riwayat dari status tanah atau siapa saja yang memegang hak atas tanah. Fokus PN adalah hubungan hukum antara pihak yang bersengketa dengan dasar keberadaan sertifikat.

Berbeda dengan PN, dalam mengadili konflik pertanahan, PTUN akan memeriksa prosedur administrasi dari penerbitan sertifikat. Misalnya, PTUN akan mengevaluasi apakah sertifikat tersebut diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, diterbitkan memang sesuai peruntukannya, atau diterbitkan dengan cara yang tidak patut.

Prioritas Peradilan Konflik Pertanahan

Dalam mengadili konflik pertanahan tertentu, PN dan PTUN dapat melakukan pemeriksaan yang tumpang tindih. Ini terjadi jika kedua lembaga mengadili objek perkara yang sama.

Contohnya terdapat dalam Putusan No. 9/G/2021/PTUN-KPG. Di kasus ini, gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat dinyatakan tidak diterima sebab objek perkara yang diperiksa juga sedang dalam proses peradilan melalui PN. Majelis hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan bahwa keabsahan dari objek perkara tersebut harus dipastikan terlebih dahulu melalui putusan PN.

Contoh lain terdapat dalam Putusan No. 254/K/TUN/2014. Di kasus ini, majelis hakim menilai bahwa sejak awal, gugatan yang diajukan oleh Termohon Kasasi (dahulu Penggugat dan Pembanding) bersifat prematur. Alasannya, gugatan itu patut lebih dulu diajukan ke PN dengan mempertimbangkan isi sengketa yang berfokus pada perjanjian sewa-menyewa hak atas tanah.

Apa yang dapat kita simpulkan dari kasus-kasus di atas?

Ketika terdapat pemeriksaan yang tumpang tindih, salah satu lembaga di antara PN dan PTUN, akan menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat atas konflik pertanahan yang ia alami adalah gugatan yang cacat formil.

Gugatan cacat formil berarti gugatan yang secara teknis mengandung unsur kesalahan tertentu. Kesalahan itu bisa berasal dari prosedur pengajuan gugatan hingga kesesuaian penyusunan gugatan dengan syarat yang berlaku.

Kasus pertama dan kasus kedua menunjukkan cacat formil dari gugatan, setidaknya, dalam konteks prosedur pengajuan. Kasus pertama bermasalah sebab pihak Penggugat tidak memastikan terlebih dahulu kejelasan dari hak kepemilikannya atas tanah sengketa. Kasus kedua bermasalah sebab pihak Penggugat keliru menentukan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa.

Selain itu, masalah pemeriksaan tumpang tindih antara kedua peradilan juga dapat membawa akibat lain.

Misalnya, dalam suatu sengketa lahan, seorang Penggugat dinyatakan sebagai pemegang hak milik atas lahan sengketa tersebut berdasarkan putusan PN. Tak lama setelahnya ia mendapat sertifikat hak milik dari lembaga pertanahan. Pihak Tergugat tidak menerima putusan PN itu kemudian mengajukan gugatan ke PTUN untuk meminta pembatalan sertifikat tersebut.

Dari kasus di atas, timbul pertanyaan: apa putusan yang dapat dijatuhkan oleh PTUN terhadap gugatan yang diajukan oleh pihak Tergugat pada putusan PN?

Untuk menjawabnya, kita dapat pada Surat WMA yang telah disinggung sebelumnya. Dalam surat ini, Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut:

Bahwa terhadap adanya putusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan putusan Perdata terkait dengan masalah kepemilikan, maka putusan Tata Usaha Negara mengacu pada putusan Perdata.

Dengan demikian, jelas bahwa PTUN perlu menjatuhkan putusan yang senada dengan putusan PN. Pada kasus, putusan PN menyatakan bahwa Penggugat-lah yang berhak atas sengketa lahan. Alhasil, putusan PTUN hanya perlu mempertegas fenomena tersebut dengan menolak gugatan yang diajukan.

Pernyataan Mahkamah Agung melalui Surat WMA itu sejatinya logis. Putusan PTUN yang memeriksa sertifikat hak milik dari Penggugat tentu berdasar pada sah atau tidaknya hak milik Penggugat atas tanah. Jika kesahihan dari hak itu telah jelas, secara otomatis medium apapun yang membuktikan keberadaan hak itu akan dianggap sama jelasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.