Opini

Pencabutan Hak Politik Koruptor: Antara Efek Jera dan Hak Asasi Manusia

Suci Rizka Fadhilla
136
×

Pencabutan Hak Politik Koruptor: Antara Efek Jera dan Hak Asasi Manusia

Sebarkan artikel ini
Pencabutan Hak Politik Koruptor: Antara Efek Jera dan Hak Asasi Manusia
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumKorupsi bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti bangsa Indonesia. Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Salah satu solusi yang diusulkan adalah pencabutan hak politik bagi para koruptor. Namun, kebijakan ini menimbulkan dilema antara efek jera dan hak asasi manusia.

Tindak Pidana Korupsi

Korupsi termasuk suatu tindakan kejahatan yang tiada hentinya beredar di sosial media. Pemberitaan silih berganti membahas koruptor dengan alibi dan nominal korupsi yang bervariatif. Tak heran jika Indonesia masih dipandang sebagai negara terkorup di dunia. Upaya pemberantasan korupsi pun sudah dilakukan dengan berbagai cara, namun tidak satupun dari upaya tersebut cocok untuk diterapkan di Indonesia. maksudnya cocok jika diterapkan tentu ampuh untuk mengatasi hal tersebut sehingga menyebabkan kuantitas dari tindak pidana korupsi berkurang. Nyatanya, tidak demikian, hari demi hari pemerintah, pejabat negara, pegawai swasta, para investor, sederet artis, ataupun profesi lainnya yang ikut andil dalam menggerakkan perekonomian negara, tak lupa turut andil dalam meramaikan semarak tindak pidana korupsi

Adapun kasus korupsi yang sedang hangat dan gempar adalah tertangkap tangannya suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis, tersangka kasus korupsi. Selain nominal yang sangat fantastis, yaitu diperkirakan mencapai 271 Triliun Rupiah, netizen indonesia juga terkesima dengan rumah megah serta akad pernikahan di Disneyland yang diyakini menggunakan uang negara. Berita mengenai adanya tangkap tangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia sudah acap kali terdengar di telinga masyarakat indonesia. Akan tetapi, pemrosesan hukum terhadap perkara tersebut sering dicurigai tidak murni dan ter-intervensi pihak luar bahkan penegak hukum dapat mengesampingkan integritas dan martabatnya. 

Berdasarkan observasi online yang penulis lakukan, terdapat beberapa kendala atau hambatan terhadap pemberantasan korupsi di indonesia. Hal tersebutlah yang menyebabkan korupsi mengakar dan mendarah daging pada kultur dan jiwa bangsa. Beberapa kendala dan hambatan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia adalah hambatan instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya masih terdapat peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif.

Hambatan dalam Pemberantasan Korupsi 

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio, dalam bahasa inggris corruption atau corrupt, dalam bahasa belanda disebut dengan corruptie, yaitu asal mula kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Korup berarti busuk, buruk, suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri dan sebagainya). Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, dan ekonomi. Korupsi dapat diibaratkan, seperti kanker dalam tubuh manusia yang mengharuskan orang tersebut harus “cuci darah” jika menginginkan hidup lebih lama.

Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestise, kekuasaan dan lain-lain. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Dengan berbagai macam respons dan pandangan berbagai pihak terkait hal ini. Tak heran, jika koruptor memiliki jiwa yang buruk dalam memimpin sebab secara keseluruhan mereka mengabdi kepada negara dengan alasan tertentu tak peduli merugikan keuangan negara dan berdampak besar terhadap perekonomian nasional sekalipun.

Terdapat beberapa kendala atau hambatan terhadap pemberantasan korupsi di indonesia, yaitu: Pertama,  hambatan struktural lebih berfokus pada praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan semestinya. Kedua, hambatan kultural, yaitu berfokus pada kebiasaan yang ada di masyarakat, sebab sikap toleran antar aparatur pemerintahan masih tinggi. hal ini terkesan melindungi para koruptor. Ketiga, hambatan instrumental yang berfokus pada regulasi yang ada. Peraturan terkait penanganan korupsi masih terbilang tumpang tindih, lemahnya penegak hukum serta kesulitan pada tahap pembuktian di persidangan. Terakhir, hambatan manajemen termasuk kurangnya tindakan pemerintah dalam menindaklanjuti dugaan adanya tindak pidana. semua faktor hambatan ini saling berkaitan, tak heran jika pemberantasan korupsi di indonesia sangat lemah. 

Adapun hambatan instrumental merupakan hambatan yang sering terjadi. Sebab hambatan ini bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana perbankan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain masih terdapat peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah belum adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll) yang mampu mengurang peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat, lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi, serta sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi. 

Dilema Pencabutan Hak Dipilih Bagi Koruptor

Problematika terkait dengan upaya preventif dan represif dari tindak pidana korupsi, yakni salah satunya dengan tidak memperbolehkan koruptor untuk mencalonkan diri pada pemilihan umum alias kandidat untuk dipilih nantinya. Adapun termasuk upaya preventif dikarenakan koruptor tidak dapat mencalonkan diri menjadi pemimpin, hal ini mencegah mantan narapidana untuk berkuasa serta mengelakkan tindak pidana berulang. Terkait dengan upaya represif yang diyakini dapat menimbulkan tekanan, kekangan, efek jera terhadap perbuatannya. Untuk itu pencabutan hak ini penulis masukkan dalam kedua kategori tersebut.

Sejatinya pencabutan hak tertentu ini sudah diakomodir dalam KUHP yang memaparkan salah satu pidana tambahan yang diberikan adalah berupa pencabutan hak-hak tertentu. Namun, terdapat disparitas dari sanksi pemberantasan tindak pidana korupsi ini, terkhusus pencabutan hak tertentu termasuk hak politik. Berbagai pandangan muncul terkait dengan pemberlakuan pencabutan hak ini, posisi pro berpendapat bahwa untuk pencabutan hak dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan yang berulang dilakukan sedangkan posisi kontra berpandangan bahwa segala macam hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak dapat dibatasi apalagi dihapuskan, termasuk hak dalam pemilihan umum. 

Adapun hak politik itu sendiri terdiri dari hak dipilih dan hak memilih sebagai warga negara. Para aktivis dan ahli yang berpegang pada posisi pro atau setuju menganggap bahwa pencabutan hak politik terhadap koruptor bukanlah suatu hal yang melanggar hak asasi manusia sebab telah ada undang-undang yang memberikan legitimasi yang jelas terhadap hal ini. Beberapa kasus tindak pidana yang telah dijatuhi sanksi pencabutan hak politik seperti Gubernur Non-Aktif Sulawesi Tenggara Nur Alam, Gubernur Nonaktif Bengkulu Ridwan Mukti, dan lainnya. Untuk itu perlu diperjelas efektifitas dari diberlakukannya pencabutan hak ini.

Di sisi lain, pendapat yang berseberangan muncul yakni menganggap jika dilakukan pencabutan hak politik akan berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia. hal ini telah diterapkan pada beberapa kasus korupsi di Indonesia, seperti pada mantan anggota komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Damayanti Wisnu Putranti, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Mohamad Sanusi, dkk. bahkan, hakim memutus untuk tidak mencabut hak mereka dalam proses pemilu. Dengan adanya kontradiktif pandangan terkait pencabutan hak pemilu bagi koruptor, seringkali penegak hukum enggan untuk melakukan hal itu alhasil para koruptor tetap bisa menggunakan haknya untuk pemilu bahkan kembali mencalonkan diri sebagai pejabat pemerintahan. 

Legitimasi Pemberlakuan Pencabutan Hak Dipilih

Pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pencabutan hak dipilih dan memilih atau yang bahasa umumnya disebut sebagai hak politik merupakan sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan terhadap pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, pencabutan hak dipilih merupakan salah satu sanksi pidana yang efektif, yang dapat memberikan bukan saja efek jera melainkan pencegahan. Agar tidak terulang kembali tindak pidana korupsi khususnya terhadap pelaku yang sama dalam tempo waktu yang relatif singkat. namun adanya perbedaan pandangan di kalangan penegak hukum terkait pencabutan hak dipilih. Hak dipilih dianggap merupakan hak yang melekat pada manusia yang tidak dapat dikurangi. Sehingga ketika hak itu dicabut merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Padahal sejatinya, hukum pidana sudah mengatur dengan jelas dan tegas begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi pengurangan atau pencabutan hak. Artinya pencabutan hak dipilih sesungguhnya adalah konstitusional dan bukan pelanggaran hak asasi, dimana hak itu sesungguhnya tetap dilekatkan pada pemiliknya tanpa dikurangi sedikitpun. Hak itu dapat dicabut atau dikurangi karena alasan yang diatur oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, penjatuhan sanksi pencabutan hak dipilih seyogyanya menjadi primadona dan sebuah keharusan di kalangan aparat penegak hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi sebagai upaya dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia demi mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan sosial melalui good governance. 

Selaras dengan hal itu, Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan “hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan negara.” Artinya hak seseorang dapat dibatasi berdasarkan undang-undang. jika dikaitkan dengan pencabutan hak dipilih terhadap para koruptor, undang undang HAM jelas memperbolehkan pembatasan hak dari pencabutan hak dipilih bisa diartikan dengan pembatasan hak dalam jangka waktu tertentu. Maka, ini bukanlah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Jadi, jika seseorang dari kalangan manapun, baik pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa yang telah terbukti di persidangan melakukan tindak pidana korupsi, seharusnya diberikan sanksi sesuai dengan apa yang seharusnya tertera dalam regulasi yang sudah ada. Hal ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Salah satu cara sanksi pidana yang dapat dilakukan sebagai pencegahan dan efek jera adalah dengan mencabut atau membatasi hak politik para koruptor dalam jangka waktu tertentu baik untuk yang pernah menjabat atau belum pernah sama sekali.

Berdasarkan hasil observasi online yang penulis lakukan, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi harus terus dilakukan dengan mengupayakan solusi serta upaya penanganan yang terus diperbarui dan ditingkatkan elektabilitasnya sehingga dapat memperlambat dan mengurangi  ordinary crime satu ini. Tak lupa, kualitas SDM yang perlu ditingkatkan, kinerja bersih dari para penegak hukum, dan penghapusan kultur masyarakat yang serakah dan tamak. Meskipun tidak langsung secara signifikan, namun dapat diyakini perlahan akan mengurangi tingkat tindak pidana korupsi di Indonesia. Salah satu cara tersebut adalah memberlakukan sanksi atau efek jera kepada pelaku tanpa pandang bulu seperti pencabutan hak dipilih untuk menghindari kejahatan tersebut terulang kembali. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.