Stasiun Artikel

Kupas Tuntas Regulasi Keamanan Bekerja pada Pekerja Sektor Gig Economy di Indonesia (Studi Pada Pekerja Go-jek)

Rafi Pravidjayanto
398
×

Kupas Tuntas Regulasi Keamanan Bekerja pada Pekerja Sektor Gig Economy di Indonesia (Studi Pada Pekerja Go-jek)

Sebarkan artikel ini
Kupas Tuntas Regulasi Keamanan Bekerja pada Pekerja Sektor Gig Economy di Indonesia (Studi Pada Pekerja Go-jek)

Literasi HukumArtikel ini membahas analisis mendalam tentang perlindungan hak atas keamanan bekerja bagi pekerja mitra di sektor gig economy Indonesia, dengan fokus khusus pada pengemudi Gojek. Melalui wawancara mendalam dan analisis dokumentasi, penelitian ini mengeksplorasi dampak status pekerja sebagai kontraktor independen terhadap akses mereka ke perlindungan hukum, asuransi, dan pelatihan keselamatan kerja, menyoroti celah regulasi yang ada dan mendesak reformasi regulasi yang lebih inklusif.

Pendahuluan

Hak untuk bekerja merupakan salah satu hak fundamental yang dilindungi oleh negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana negara berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya. Penegasan ini diperkuat kembali melalui Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[1]

Meskipun hak atas pekerjaan dijamin oleh konstitusi, masih terdapat kesenjangan antara ketersediaan lapangan kerja dan jumlah pencari kerja. Hal ini menyebabkan pengangguran dan kemiskinan yang kian meningkat. Salah satu faktor utama yang mendasari tingginya angka pengangguran adalah rendahnya tingkat pendidikan[2] Dilansir dari data Badan Pusat Statistik pada data pendidikan tahun 2023, dimana presentasi penduduk usia 15 (lima belas) tahun keatas di pedesaan didominasi oleh tamatan SMP/sederajat ke bawah sebesar 72,03 persen. Kesenjangan yang cukup jauh juga terlihat pada penduduk yang tamat Perguruan Tinggi, yang hanya sebanyak 13,21 persen.[3]

Akibat keterbatasan lapangan kerja formal, masyarakat beralih ke berbagai usaha informal. Usaha-usaha ini umumnya berskala mikro, memiliki jam kerja yang tidak menentu, mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan penghasilan yang tidak stabil. Contohnya adalah supir angkot, tukang becak, petani, nelayan, pengamen, dan supir ojek. Namun, seiring berkembangnya globalisasi dan transformasi dalam bidang ekonomi dan bisnis, banyak perusahaan jasa berbasis daring (startup) mulai muncul di Indonesia. Digitalisasi dalam sistem ketenagakerjaan mulai diterapkan dan menjadi daya tarik baru dalam dunia usaha. Saat ini, platform yang paling disorot publik adalah Go-Jek dan Grab. Penelitian ini akan berfokus pada platform Go-Jek.[4]

Adapun perkembangan layanan ojek online telah sukses meresap banyak pekerja. Bertumbuhnya jumlah driver salah satunya disebabkan oleh banyaknya khalayak yang mengenakan pelayanan tersebut. Salah satu respon masyarakat adalah harga yang terjangkau apabila menggunakan layanan ojek online dibanding layanan ojek konvensional. Karena patokan harga dari ojek online adalah berdasarkan rute tujuan pelanggan. Selain biaya terjangkau, juga fleksibilitas dalam penggunaannya yang tidak perlu berjalan ke pos ojek konvensional.[5] Disamping adanya kelebihan, pasti terdapat kekurangan yang mana, resiko pekerjaan yang berkaitan dengan pengemudi.

Pasal dalam Undang-Undang No. 13 Tentang  Ketenagakerjaan

  • Bab X Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dijelaskan dalam Pasal 86 bahwa setiap pekerja/buruh berhak atas:
  1. Perlindungan atas keselamatan dan kesehatan mereka.
  2. Perlindungan moral dan kesusilaan.
  3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Pasal 87 selanjutnya menjelaskan lebih rinci mengenai penerapan K3 dalam peraturan pemerintah.

  • Bab XII Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dijelaskan dalam Pasal 151 bahwa segala upaya harus dilakukan oleh pengusaha dan pekerja/buruh untuk menghindari terjadinya PHK.
  • Bab XIV Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dijelaskan dalam Pasal 99 bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak atas jaminan sosial untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar bagi kehidupan yang layak.

Pasal dalam Permenaker  No. 5 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja

  • Pasal 2 Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mewajibkan pengusaha untuk:
  1. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi pekerja.
  2. Mengelola risiko terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan kerja.
  • Pasal 4 menjelaskan tentang pengusaha wajib menyediakan pelindung bagi pekerja, seperti memberikan informasi, intruksi, pelatihan, dan pengawasan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja pekerja.
  • Pasal 5 menjelaskan hak-hak pekerja dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yaitu:
    1. Mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.
    2. Meminta alat pelindung diri (APD) yang sesuai dengan risiko di tempat kerja.
    3. Mendapatkan informasi dan pelatihan tentang K3.
    4. Melaporkan kondisi kerja yang tidak aman kepada pengusaha atau pihak berwenang tanpa takut akan konsekuensi negatif.
  • Pasal 8 menjelaskan, pengusaha wajib mengadakan pemeriksaan kesehatan awal dan berkala bagi pekerja untuk memastikan bahwa mereka sehat dan mampu melakukan pekerjaan yang diberikan.
  • Pasal 10 pengusaha harus melakukan identifikasi dan penilian resiko di tempat kerja serta mengambil tindakan pencegahan yang sesuai untuk mengurangi resiko tersebut.

Analisis Temuan Studi

Novelty dalam penelitian ini terletak pada analisis mendalam mengenai perlindungan hak atas keamanan bekerja bagi pekerja mitra di sektor gig economy, dengan fokus khusus pada pengemudi Gojek. Penelitian ini menggabungkan perspektif hukum dan hak asasi manusia, menyoroti celah regulasi yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia yang tidak secara eksplisit melindungi pekerja mitra. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi dampak dari status pekerja sebagai kontraktor independen terhadap akses mereka ke perlindungan hukum, asuransi, dan pelatihan keselamatan kerja. Dengan menggunakan data empiris yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan analisis dokumen, penelitian ini memberikan wawasan baru tentang kondisi nyata yang dihadapi oleh pekerja mitra Gojek dan menekankan urgensi untuk reformasi regulasi yang lebih inklusif. Ini merupakan kontribusi yang signifikan dalam literatur ketenagakerjaan, terutama dalam konteks gig economy yang berkembang pesat di Indonesia.

Perlindungan Hak Atas Keamanan Bekerja Pada Pekerja Mitra di Gojek

Hak atas keamanan bekerja bagi pekerja mitra di Gojek adalah aspek penting yang perlu mendapat perhatian serius dalam era gig economy. Pekerja mitra di Gojek, yang umumnya terdiri dari pengemudi ojek online dan pengumudi mobil, sering menghadapi resiko yang signifikan saat menjelankan tugas, termasuk kecelakaan lalu lintas, kekerasan di tempat kerja, dan paparan terhadap kondisi kerja yang berbahaya. Gojek mengangap pengemudinya sebagai kontraktor independen daripada karyawan tetap, hal tersebut diatur melalui perjanjian kemitraan, yang mengatur bahwa hubungan antara gojek dan pengemudinya merupakan kontaktor independen, bukan karyawan. Terdapat alasan penting yang melatar belakangi gojek merupakan kontraktor independen. Diantaranya, fleksibilitas operasional, kontrol atas metode kerja, aspek finansial, dan hubungan kontrakual[6]. Dalam hal ini, pengemudi gojek memiliki kebebasan operasional yang tinggi, seperti menentukan jam kerja dan memilih pesanan yang ingin ditolak atau diterima, tanpa sanksi secara langsung dari perusahaaan[7]. Pengemudi Gojek juga memiliki kontrol penuh atas tugas yang dilaksanakan, seperti, memilih rute perjalanan dan menggunakan kendaraan pribadi dan rawat sendiri, dalam hal ini gojek memberi promo bagi para pengemudi untuk perawatan kendaraan. Melihat dari segi finansial, pengemudi gojek dibayar berdasarakan jumlah perjalanan yang sudah dilaksanakan berdasarkan pesanan, tidak dengan gaji tetap dan bertanggung jawab penuh untuk membayar pajak dengan penghasilan pribadi.

Meskipun gojek dianggap sebagai kontraktor independen, hak atas keamanan bekerja tetap relavan dan krusial.  Hak atas kemanan bekerja bagi pekerja mitra di gojek memiliki kaitan erat dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Mentri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Meskipun Kedua Undang-Undang tersebut ditujukan secara khusus untuk karyawan tetap perusahaan, namun terdapaat prinsip dasar yang relavan yang diterapkan perusahaan gojek untuk melindungi para pengemudi. Merujuk pada Pasal 86 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap pekerja berhak atas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan frasa tersebut, terdapat upaya untuk melindungi pekerja dari resiko kecelakaan dan masalah kesehatan yang timbul dari aktivitas para pekerja. Dalam hal ini, pekerja mitra di platfoam gojek menyediakan pelatihan keseslamatan berkendara, dan distribusi alat pelindung diri (APD) seperti helm, dan jaket pelindung bagi pengemudi gojek, hal ini juga sejalan dengan Permenker No.5 Tahun 2018 Pasal 4. Sedangkan, apabila merujuk pada Pasal 87 Undang-undang No.13 Tahun 2003 mengharuskan perusahaan untuk menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi. Dalam hal ini, gojek mengembangkan dan menerapkan kebijakan serta prosedur keselamatan yang spesifik untuk para pekerja mitra, misalnya pemantauan resiko melalui teknologi seperti GPS tracing dan fitur keselamatan dalam aplikasi, serta memberikan akses asuransi kesehatan dan kecelakaan yang terjadi.

Tantangan Pekerja Mitra Gojek Terkait Dengan Keamanan Bekerja

Sebagai pekerja di sektor gic economy, para pengemudi sering terpapar resiko tinggi seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan, dan kondisi kerja yang tidak stabil tanpa perlindungan. Merujuk pada Deklarasai Universal Hak Asasi Manusia dan Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, hak atas keamanan bekerja dalam kondisi yang aman dan sehat merupakan bagian penting dalam Hak Asasi Manusia yang harus dijamin. Namun terkendalanya status pekerja mitra sebagai kontraktor independen membuat jaminan dan hak yang seharusnya diperoleh dikesampingkan, karena tidak adanya regulasi hukum dan kepastian hukum untuk melindungi hak-hak pekerja mitra[8]. Akibatnya, para pekerja mitra tidak memiliki akses penuh ke perlindungan hukum, asuransi kesehatan dan kecelakan, serta hak atas pengawasan dan pelatihan keselamatan yang memadahi, hal ini disebabkan alasan para pengemudi gojek kemitraan. Sebagaimana wawancara yang disampaikan oleh Bapak M, bahwa memang belum adanya perlindungan hukum terkait pengemudi gojek, sehingga apabila terdapat customer entah melakukan pelecehen secara seksual, kekerasan atau ancaman terhadap pengemudi, hal yang dilakakuan dengan mencari polsek terdekat dan menurunkan customer.  Ketika pengemudi Gojek mengalami kecelakaan kerja atau meninggal dunia, perusahaan Gojek menyediakan program jaminan kecelakaan kerja dan kematian. Program ini memudahkan pengemudi untuk mendaftar dan membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp. 10.000 per bulan untuk kecelakaan kerja dan Rp. 6.800.00 untuk kematian. Penting untuk dicatat bahwa program ini bukan jaminan keselamatan kerja bagi pengemudi Gojek. Hal ini dikarenakan tidak adanya hubungan kerja antara perusahaan Gojek dengan pengemudi Gojek, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.[9].

Mengingat pengemudi gojek merupakan kontraktor independen dengan melihat segi finansial yang diperoleh tidak dengan gaji tetap dan bertanggung jawab penuh untuk membayar pajak dengan penghasilan pribadi, hal ini mengakibatkan keresahan dan tantangan bagi para pengemudi lantaran adanya potongan sebasar 20 persen di setiap penghasilan yang diperoleh. Menurut pendapatnya, walaupun suatu mitra sebagai partner, maka seharusnya mitra mendapat suatu tunjangan, meskipun gojek telah menerapkan hal tersebut, namun tunjangan atau bonus yang diberikan pada pengemudi tidak masuk akal lantaran jam kerja dan targetnya terlalu mepet. Hal ini disampaikan jam intensif yang diberikan sekitar jam pulang kerja. Intensif memang selalu berubah-ubah tergantung dari perusahaan gojek pribadi, dan kebanyakan di jam pulang kerja, yakni start jam 3-4, dan terakhir jam 9-10[10]. Selain itu juga perlunya perbaikan layanan keamanan yang harus dipertegas dan diperhatikan bagi para pengemudi, karena resiko perjalanan sangat memungkinkan terjadi apalagi ketika perjalanan malam. Selain itu perlunya perbaikan di aplikasi gojek sendiri ketika pengemudi menerima customer yang langsung tersambung tanpa bisa memilih dan memilah[11].

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja tidak secara jelas mengatur hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja mitra dalam sektor gig economy. Hal ini menyebabkan celah hukum yang merugikan pekerja mitra, seperti pengemudi Gojek, karena mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Pasal 86 dan 87 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap pekerja berhak atas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Namun, karena celah hukum tersebut, hak-hak ini tidak secara otomatis berlaku bagi pekerja mitra di sektor gig economy., tidak dapat diterapkan secara langsung pada pengemudi Gojek karena mereka dianggap sebagai kontraktor independen. Akibatnya, tanggung jawab untuk memastikan keselamatan dan kesehatan kerja jatuh pada individu pekerja mitra, bukan pada perusahaan. Hal ini menimbulkan tantangan signifikan dalam memastikan hak atas keamanan bekerja yang diakui sebagai hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif agar kemanan terhadap pekerja gojek tidak rentan terjadi tindak pidana seperti, kekerasan, penipuan, ataupun pelecehan seksual.

Kesimpulan

Pekerja mitra Gojek, seperti pengemudi, menghadapi tantangan besar terkait keamanan bekerja akibat status mereka sebagai kontraktor independen dan kurangnya regulasi hukum yang memadai. Meski Gojek telah menawarkan program asuransi dan kompensasi, perlindungan ini belum cukup untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan pekerja dalam kondisi kerja yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi regulasi dan kebijakan yang lebih komprehensif serta adaptasi hukum ketenagakerjaan yang mencakup pekerja di sektor gig economy. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hak asasi manusia terkait dengan keamanan bekerja dapat dijamin dan diterapkan secara adil bagi semua pekerja, termasuk mereka yang bekerja sebagai mitra di platform seperti Gojek. Adanya Regulasi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Petmenkes belum memiliki kepastian hukum dalam melindungi kemananan para pekerja mitra.

[1] Pemerintah Republik Indonesia, “Undang-Undang Dasar 1945” (1945), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2).

[2] M. Kharis Mawanda and Adam Muhshi, “Perlindungan Hukum Mitra Ojek Daring Di Indonesia,” Lentera Hukum 6, no. 1 (2019): 37, https://doi.org/10.19184/ejlh.v6i1.9203.

[3] Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, Statistik Pendidikan 2023, 12th ed. (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2023), 171.

[4] Whitney Brigitta Sinaga and Nadia Intan Rahmahafida, “Perlindungan Hak Dalam Mendapatkan Pekerjaan Yang Layak Terhadap Mitra Dari Perusahaan Jasa Transportasi Daring,” Jurnal Hukum Magnum Opus 6, no. 1 (2023): 88.

[5] R Aditia and H Mahmud, “Perlindungan Hukum Bagi Mitra Pengemudi Ojek Online Apabila Mengalami Kecelakaan Kerja,” Jurnal Bevinding 01, no. 02 (2023): 47.

[6] Anggalih Bayu Muh. Kamim and M. Rusmul Khandiq, “Mitra Pengemudi Gojek dalam Jeratan Ekonomi Berbagi Melalui Platform,” Jurnal Studi Pemuda 8, no. 1 (June 29, 2019): 8, https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.45240.

[7] Zidna Aufima, “Jaminan Keselamatan Kerja bagi Pengemudi go-jek di Surabaya,” Yurispruden 2, no. 1 (January 23, 2019): 9, https://doi.org/10.33474/yur.v2i1.1589.

[8] Arif Noviato and Ari Hernawan, “Mendorong Kerja Layak & Adil Bagi Pekerja Gig: Kajian Awal Tentang Ekonomi Gig Di Indonesia,” in IGPA Press, Yogyakarta, 2021, 67.

[9] Nur Siti Annazah et al., “Kondisi Kerja dalam Relasi Kemitraan: Studi Kasus pada Mitra Perusahaan Transportasi Online,” Jurnal Ketenagakerjaan 18, no. 3 (December 28, 2023): 12, https://doi.org/10.47198/jnaker.v18i3.305.

[10] Bapak M (Pengemudi Mitra Gojek), Wawancara Surabaya, 2 Juni 2024

[11] Ibid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.