Literasi Hukum – Artikel ini memberikan analisis mendalam yang menyoroti pandangan ahli, contoh konkret, dan implikasi praktis dari judicial activism dan judicial restraint.
Memahami Dilema Judicial Activism dan Judicial Restraint di Mahkamah Konstitusi
Logika dan penalaran merupakan bagian paling penting dalam membangun argumentasi hukum yang baik. Dewasa ini, dinamika penalaran hukum telah berkembang dengan pendekatan yang sangat beragam. B. Arief Sidharta mengungkapan bahwa, argumentasi dalam penalaraan hukum merupakan kegiatan berpikir problematis yang tersistematis. Sejauh yang penulis amati di media-media nasional, salah satu perbicangan sekaligus perdebatan hangat oleh pemerhati hukum di Indonesia, yakni perihal pendekatan judicial activism dan judicial restraint yang dilakukan oleh lembaga peradilaan. Khususnya, Mahkamah Konstitusi dalam memutus sebuah perkara.
Secara sederhana, pendekatan judicial activism ataupun judicial restraint merupakan prinsip yang lahir dan berlandaskan pada demokrasi dari tradisi hukum Amerika Serikat. Arthur Schlesinger memaknai judicial activism merupakan sebuah (judicial discretion) yang lahir akibat kompleksitas permasalahan yang harus diselesaikan oleh pengadilan tanpa adanya hukum (dalam arti formal) yang cukup. Sedangkan James B. Tahyer memaknai judicial restraint, sebagai prinsip tertinggi dari teori hukum ketatanegaraan. Prinsip tersebut menolak kedudukan peradilan sebagai lembaga utama dalam sistem politik dalam sebuah negara.
Jika ditelisik dari pengertian diatas, baik pendekatan judicial activism ataupun judicial restraint akarnya adalah demokrasi. Hanya saja, ada perbedaan penekanan kedua pendekatan tersebut. Apa dan seperti apa perbedaan pendekatan tersebut?
Corak Judical Restraint dan Judical Activism
Karakteristik judical restraint (pembatasan yudisial) lebih menekankan kepada lembaga peradilan membatasi diri, untuk tidak mencapuri urusan kewenangan legislator, eksekutif dan lembaga dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Sehingga tidak mengadili ataupun membuat kebijakan yang jelas bukan kewenanganya. Pendekatan Judicial restraint menilai bahwa, lembaga peradilan bukan pemeran utama dalam relasi suprastuktur-politik. Lebih menghendaki peran dominan tetap berada pada institusi yang mencerminkan representasi rakyat “misalnya eksekutif dan legislatif”. Sebagaimana ajaran teori pemisah kekuasaan (trias politika).
Dilihat secara seksama pendekatan judical restraint dibagi dalam tiga kategori, Pertama, formalism merupakan pendekatan secara tegas nahwa hakim hanya menjalankan perintah undang-undang dan tidak membuat undang-undang. Kedua, process jurisprudence merupakan kedudkan hakim secara jelas tidak memasuki ranah kewenangan legislatif atau eksekutif dalam membuat kebijakan keputusan yang dibuatnya. Ketiga, constitutional restraint, hakim sangat sulit menyatakan inskonstitusional atas tindakan yang dilakukan legislatif ataupun eksekutif dalam mebuat undang-undang.
Pendekatan ini cendrung membuat hakim terbelenggu oleh muatan yang terdapat dalam asas-asas maupun doktrin-doktrin hukum tertentu, yang pada akhirnya membuat hakim kesulitan dalam memberikan keadilan substantif yang seharusnya dirasakan oleh masyarakat.
Disisi yang lain, pendekatan judical activism (aktivisme yudisial). Merupakan pendekatan yang dilakukan hakim dan lembaga peradilan untuk mengontrol atau memengaruhi institusi politik dan administratif, baik di legislatif maupun eksekutif, dalam hal ini membuat kebijakan dan keputusan yang dihadapi oleh lembaga yudikatif. Judicial activism cenderung menganggap pengadilan sebagai subjek yang dominan didalam relasi antar institusi pada level suprastruktur politik. Tidak jarang juga, para hakim cendrung membuat aturan hukum (judges making law) berdasarkan penalaran hukum argumentasinya dalam melihat atau menilai kasus yang secara konkret (in concreto). Para hakim yang sering menggunakan pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah activist judges.
Jika dilihat secara seksama, judical activism bertujuan untuk mewujudkan putusan hakim yang lebih progresif dalam menghadapi berbagai permasalahan dan isu-isu konkret yang berkembang di tengah masyarakat. Namun perlu dicatat, menggunakan pendekatan ini dalam memutus perkara dinilai dapat menimbulkan bias atau subjektivitas yang dilakukan hakim, sehingga akan berpengaruh pada kehidupan sosio-politk terhadap putusan yang dijatuhkannya.
Kapan Judical Restraint dan Judical Activism Bisa Diterapkan
Menurut Aileen Kavanagh, setidaknya empat alasan “kausal” kondisi untuk menerapkan pendekatan judical restraint. Pertama, harus adanya keterbatasan kewenagan peradilan yang diatur oleh undang-undang untuk memutus perkara yang sangat kompleks dan tidak dapat memprediksi masalah-masalah lain yang akan muncul dari putusannya. Kedua, sifat incremental dari putusan pengadilan harus disadari putusan tersebut akan membawa resiko yang kontraproduktif sehingga akan gagal mencapai harapan atau maksud yang ingin dituju.
Ketiga, bahwa lembaga peradilan lebih rendah dibandingkan dengan legislator dan eksekutif dalam membuat suatu putusan atau kebijakan. Keempat, adanya tuntutan bagi lembaga peradilan untuk memutus perkara yang adil, sehingga keputusan lembaga peradilan dihormati, baik oleh parlemen, eksekutif, dan masyarakat luas.
Disisi yang lain, judicial activism dalam realitanya, ditempuh untuk melindungi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi. Pan Mohamad Faiz mengatakan bahwa ada empat langkah dalam menerapkan prinsip tersebut. Pertama, untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara, baik yang tersurat maupun tersirat di dalam konstitusi. Kedua, untuk memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok minoritas atau rentan yang memperoleh dampak negatif dari proses keputusan yang sekadar didasarkan pada pertimbangan mayoritas.
Ketiga, untuk memulihkan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar, baik yang bersifat individual maupun kelompok. Keempat, untuk menyesuaikan perkembangan keadilan global dengan menggunakan perbandingan dan hukum internasional.
Dari alasan kedua pendekatan tersebut, baik pendekatan judicial activism ataupun judicial restraint memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Meskipun demikian, judicial restraint karena corak kartektristiknya cendrung membatasi diri, pendekatan ini harus dilihat sebagai sebuah kehati-hatian peradilan guna menjamin keberlangsungan pemisahan kekuasaan. Disisi yang lain, judicial activism harus dilihat setidaknya sebagai sesuatu yang berbahaya, sekaligus juga sangat dibutuhkan (necessary evil) maka pendekataan tersebut harus dilakukan secara kehati-hatian “selektif” dan proposional.
Oleh karena itu, hakim dalam menerapkan pendekatan judicial activism dan judicial restraint harus didasarkan pada kasus-kasus tertentu. Sehingga perlu untuk mendudukan “pemicu minimum” yang sah secara hukum dengan mengacu pada sistem hukum positif. Kapan dua pendekatan tersebut dapat “mewarnai” putusan pengadilan agar nilai-nilai keadilan dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan masyarakat.