Hukum BisnisMateri HukumPerlindungan Konsumen

Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 18/PUU-XVII/2019

Probo Pribadi S.M, S.H, M.H
296
×

Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 18/PUU-XVII/2019

Sebarkan artikel ini
Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 18/PUU-XVII/2019
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumArtikel ini membahas secara mendalam tentang fidusia sebagai bentuk jaminan atas benda bergerak menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, mencakup dasar hukum, objek dan subjek jaminan, pendaftaran, eksekusi, dan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam praktik bisnis serta solusi untuk mengatasi hambatan yang timbul dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Pendahuluan

Fidusia adalah salah satu bentuk jaminan yang dikenal dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, di mana fidusia dijadikan sebagai hak jaminan atas benda bergerak. Fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan yang paling umum digunakan dalam transaksi keuangan, terutama dalam perjanjian jual beli. Dalam perjanjian fidusia, debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur sebagai jaminan agar kreditur dapat memastikan pelunasan kredit jika debitur tidak dapat melunasi kreditnya. Jaminan fidusia dapat dijamin keberadaannya dan dapat digunakan sebagai jaminan pelunasan kredit.

Fidusia memiliki beberapa sifat, yakni: 1) Fidusia adalah hak jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur; dan 2) Fidusia hanya dapat diberikan terhadap benda bergerak. Dalam terminologi Belanda, istilah fidusia sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (FEO), yang memiliki pengertian penyerahan hak milik secara kepercayaan, sedangkan dalam bahasa Inggris, disebut Pengalihan Kepemilikan Fidusia. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam fidusia, yaitu pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah pihak yang memberikan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah pihak yang menerima fidusia. Fidusia dapat memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman.

Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang fidusia, fidusia merupakan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dalam perjanjian fidusia, objek yang dijadikan jaminan berupa barang yang menjadi akad kredit. Jika terjadi wanprestasi, seperti ketidakmampuan debitur untuk membayar cicilan kredit atau melunasi kredit, atau terjadi pengalihan objek jaminan di bawah tangan, perjanjian fidusia memberikan perlindungan kepada pemberi kredit untuk mendapatkan pembayaran yang seharusnya mereka terima. Perjanjian fidusia juga memberikan kekuatan hak eksekutorial kepada pemberi kredit untuk mencabut objek fidusia tanpa melalui perjanjian pengadilan jika debitur melanggar perjanjian.

Dalam praktik bisnis, perjanjian fidusia juga digunakan untuk melindungi kepentingan kreditur dan memastikan pelunasan hutang-hutang antara debitur dan kreditur. Perjanjian fidusia dibuat di notaris dengan klausal-klausal yang meliputi jangka waktu perjanjian, besaran kredit yang harus dibayar, cara pembayaran, dan sanksi yang berlaku jika salah satu pihak melanggar. Jika seseorang gagal membayar pinjaman, ada beberapa konsekuensi yang diterima. Melalui artikel ini, penulis membahas secara mendalam tentang apa itu fidusia dan bagaimana mekanismenya dalam praktik bisnis.

Dasar Hukum Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan, oleh pemerintah disusun suatu peraturan mengenai fidusia dalam suatu undang-undang. Yang menjadi dasar hukum berlakunya fidusia, antara lain: 1) Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwerij Arrest (negeri Belanda); 2) Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet Arrest Arrest (Indonesia); dan 3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Objek dan Subjek Jaminan Fidusia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, objek Jaminan Fidusia dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud; dan 2) Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Benda-benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia menurut ketentuan Pasal (1) ayat (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 20, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia yaitu: 1) Benda yang harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum, 2) Benda berwujud, 3) Benda tidak berwujud, termasuk hutang, 4) Benda bergerak, 5) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan dan 6) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotek.

Subjek dari Jaminan Fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia yang mengikatkan diri dalam perjanjian Jaminan Fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadikan objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.

Pendaftaran Jaminan Fidusia

Pendaftaran jaminan fidusia telah diatur dalam Pasal 11 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan pemerintah terdiri atas 14 pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi: pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan, dan penggantian sertifikat.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia maupun berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran dilakukan pada kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor pendaftaran fidusia telah dibentuk pada setiap provinsi di Indonesia. Kantor pendaftaran fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Eksekusi timbul karena debitur cidera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada kreditur. Eksekusi Jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 29 ini, jika debitur atau pemberi fidusia cidera janji terdapat tiga cara untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut, yaitu:

  1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia
  2. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan, dan
  3. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Dalam pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia, Pemberi Fidusia diwajibkan untuk menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Sebaliknya, jika Pemberi Fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan jika perlu dapat meminta bantuan kepada pihak yang berwenang.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

Hal penting dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 antara lain:

  1. Menyatakan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  2. Menyatakan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”;
  3. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Dapat ditarik kesimpulan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 adalah bahwa frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, serta frasa “cidera janji” dalam Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus diterjemahkan dalam konteks kesepakatan cidera janji dan kesediaan debitur untuk menyerahkan objek jaminan fidusia dengan sukarela.

Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, terdapat beberapa mekanisme dan prosedur hukum yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia. Pasal 29 UU Fidusia juga mengatur bahwa apabila debitur cidera janji, eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia. Selain itu, Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Namun, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi, Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia sepanjang frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengharuskan pihak terkait untuk memperhatikan mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku, serta memastikan bahwa eksekusi dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU Fidusia.

Hambatan yang Terjadi pada Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019

Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019, antara lain: 1) Kendala dalam Proses Eksekusi, di mana kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan parate eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, contohnya permasalahan dalam proses eksekusi jaminan fidusia yang dapat melanggar hak pemberi fidusia (debitur); dan 2) Keterbatasan dalam Proses Lelang, di mana kendala pelaksanaan lelang objek jaminan fidusia pada saat ini, seperti permasalahan dalam proses lelang yang dapat mengganggu kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait.

Solusi dalam Mengatasi Hambatan yang Terjadi pada Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019

Solusi dalam mengatasi hambatan yang terjadi pada pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019, antara lain:

  1. Pengawasan hukum yang ketat harus dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia sesuai dengan hukum dan tidak melanggar hak pemberi fidusia. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui pengadilan dan lembaga pembiayaan yang berwenang;
  2. Adanya pendidikan dan pelatihan yang tepat diberikan kepada pihak lembaga pembiayaan dan pihak berwenang untuk memastikan bahwa mereka memahami dan mengikuti prosedur yang benar dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia;
  3. Peningkatan koordinasi dan sosialisasi perlu adanya peningkatan koordinasi antara pemerintah, lembaga terkait (seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, dan Kejaksaan), serta pelaku usaha untuk menyamakan persepsi dan pelaksanaannya; dan
  4. Pembentukan peraturan pelaksana, pemerintah dapat menerbitkan peraturan pelaksana, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, untuk mengatur lebih lanjut tata cara dan prosedur eksekusi objek jaminan fidusia sesuai dengan putusan MK. Peraturan ini dapat memberikan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi para pihak.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa secara garis besar, solusi-solusi tersebut mencakup pengawasan ketat, peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, koordinasi dan sosialisasi yang baik, serta pembentukan regulasi atau peraturan pelaksana yang lebih rinci sebagai pedoman bagi para pihak. Hal ini penting untuk memastikan pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berjalan sesuai hukum, melindungi hak-hak para pihak, dan memberikan kepastian hukum pasca putusan MK tersebut.

Referensi

  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
  • Peraturan perundang-undangan terkait, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia.
  • Jurnal “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia” oleh Adi Sulistiyono dan Maradaman Simanungkalit (2020), Jurnal Hukum dan Peradilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Opini

Artikel ini membahas keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, fleksibilitas dalam memilih arbiter, serta tata cara pengajuan koreksi atau keberatan terhadap putusan arbitrase berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Temukan pentingnya aturan lebih lanjut terkait tata cara pengajuan koreksi dan keberatan dalam arbitrase.

Pencatatan Palsu Surat dan Keabsahannya
Ilmu Hukum

Artikel ini membahas mengenai pencatatan surat palsu, sebuah tindakan ilegal yang melibatkan pembuatan atau pengubahan surat untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah.

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”
Hukum

Masyarakat Indonesia kembali diperdebatkan dengan rilisnya film “VINA: Sebelum 7 Hari” di bioskop. Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016, yang sebelumnya diduga sebagai kecelakaan tunggal.