Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Sawah Jadi Mall, Hukum Jadi Alat : Siapa yang Bertanggung Jawab atas Alih Fungsi Lahan?

Nurzen Maulana S.P.
36
×

Sawah Jadi Mall, Hukum Jadi Alat : Siapa yang Bertanggung Jawab atas Alih Fungsi Lahan?

Sebarkan artikel ini
Sawah Jadi Mall, Hukum Jadi Alat : Siapa yang Bertanggung Jawab atas Alih Fungsi Lahan?
Sawah Jadi Mall, Hukum Jadi Alat : Siapa yang Bertanggung Jawab atas Alih Fungsi Lahan?

Literasi Hukum – Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, seperti pusat perbelanjaan atau perumahan, telah menjadi isu yang semakin mendesak di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya berdampak pada ketersediaan pangan, tetapi juga mengubah wajah sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini, hukum seringkali digunakan sebagai alat untuk melegitimasi perubahan tersebut, sementara dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sering kali terabaikan. Artikel ini akan membahas siapa yang bertanggung jawab atas alih fungsi lahan, dengan fokus pada aspek hukum dan sosial. 

Latar Belakang Alih Fungsi Lahan 

Alih fungsi lahan di Indonesia telah menjadi bagian dari perkembangan kota yang pesat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Indonesia berkurang sekitar 100.000 hektar per tahun akibat konversi menjadi lahan non-pertanian (BPS, 2021). Salah satu contoh konkret adalah di Jakarta, di mana banyak lahan hijau yang dulunya berfungsi sebagai sawah, kini telah berubah menjadi mal dan pusat perbelanjaan. Menurut laporan Kompas, sekitar 60 persen ruang terbuka hijau di Jakarta telah hilang dalam dua dekade terakhir, digantikan oleh bangunan komersial (Kompas, 2020). 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih fungsi lahan ini sering kali didorong oleh kebutuhan ekonomi, seperti peningkatan pendapatan daerah dan penciptaan lapangan kerja. Namun, dampak jangka panjang dari alih fungsi ini sering kali diabaikan. Penelitian oleh Adiyaksa dan Djojomartono (2020) menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan industri di Kabupaten Kendal mengakibatkan penurunan produksi pangan lokal dan meningkatnya ketergantungan pada pangan impor. 

Hukum dan Kebijakan Terkait Alih Fungsi Lahan 

Hukum di Indonesia memberikan kerangka kerja untuk pengelolaan lahan, namun sering kali tidak diimplementasikan dengan baik. Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, misalnya, bertujuan untuk melindungi lahan pertanian dari alih fungsi. Namun, dalam praktiknya, banyak lahan pertanian yang tetap dialihfungsikan akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum (Puspitaningrum, 2018). 

Banyak pihak yang berpendapat bahwa hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu. Dalam banyak kasus, izin alih fungsi lahan diberikan meskipun bertentangan dengan peraturan yang ada. Menurut Ikhwanto (2019), hal ini menciptakan celah bagi pengembang untuk mengeksploitasi lahan pertanian demi kepentingan ekonomi jangka pendek, tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial yang lebih luas. 

Dampak Sosial dan Ekonomi 

Alih fungsi lahan tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kehidupan masyarakat. Banyak petani yang kehilangan mata pencaharian mereka ketika sawah mereka dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan. Penelitian oleh Hastuty (2018) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menyebabkan peningkatan pengangguran di kalangan petani, yang beralih ke pekerjaan informal dengan penghasilan yang tidak pasti. 

Di sisi lain, pembangunan pusat perbelanjaan sering kali diiringi dengan peningkatan nilai properti di sekitarnya, yang dapat menguntungkan beberapa pihak. Namun, ini juga dapat menyebabkan konflik sosial, terutama ketika masyarakat yang tinggal di sekitar lahan pertanian merasa terpinggirkan dan tidak mendapatkan manfaat dari pembangunan tersebut (Nulhaqim et al., 2020). 

Siapa yang Bertanggung Jawab? 

Pertanyaan utama yang muncul adalah siapa yang bertanggung jawab atas alih fungsi lahan ini? Banyak pihak yang terlibat dalam proses ini, mulai dari pemerintah daerah yang mengeluarkan izin, pengembang yang melakukan pembangunan, hingga masyarakat yang terdampak. Penegakan hukum yang lemah membuat sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab ketika alih fungsi lahan berdampak negatif pada masyarakat dan lingkungan. 

Sebagian besar masyarakat merasa bahwa pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam melindungi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau. Namun, banyak juga yang berpendapat bahwa masyarakat sendiri harus lebih aktif dalam mengawasi dan mempertahankan lahan pertanian mereka. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lahan pertanian menjadi kunci untuk mencegah alih fungsi yang merugikan. 

Kesimpulan 

Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian adalah masalah kompleks yang melibatkan banyak aspek, termasuk hukum, ekonomi, dan sosial. Meskipun ada peraturan yang dirancang untuk melindungi lahan pertanian, implementasinya sering kali tidak maksimal. Tanggung jawab atas alih fungsi lahan tidak dapat dipikul oleh satu pihak saja; semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah, pengembang, dan masyarakat, harus berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan lahan pertanian. 

Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif, di mana semua pihak berkomitmen untuk melindungi lahan pertanian demi keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa alih fungsi lahan tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat. 

 Referensi 

  1. Adiyaksa, Fitrian, and Prijono Nugroho Djojomartono. “Evaluasi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri di kabupaten kendal tahun 2014–2018.” Journal of Geospatial Information Science and Engineering 3.1 (2020): 71-78.
  2. Agus Ikhwanto. “Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi lahan non pertanian.” Jurnal Hukum dan Kenotariatan 3.1 (2019): 60-73.
  3. Hastuty, Sri. “Identifikasi faktor pendorong alih fungsi lahan pertanian.” Prosiding 3.1 (2018).
  4. Nulhaqim, Soni Ahmad, Eva Nuriyah Hidayat, and Muhammad Fedryansyah. “Upaya preventif konflik penggusuran lahan.” Share Social Work Journal 10.1 (2020): 109-117.
  5. Puspitaningrum, Dwi Aulia. “Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya bagi Ketersediaan Lahan Hijauan Makan Ternak.” Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya bagi Ketersediaan Lahan Hijauan Makan Ternak. (2018).
  6. Isa, Iwan. “Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian.” Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries Japan dan ASEAN Secretariat. Jakarta. 2006.
  7. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/507/403
  8. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/198278
  9. https://www.kompas.id/baca/metro/2020/01/17/andil-mal-dalam-alih-fungsi-lahan-hijau-di-jakarta
  10. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41078646
  11. https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/20/21585091/jakarta-banjir-ini-daftar-area-hijau-yang-kini-berubah-jadi-mal-hingga
  12. https://voi.id/berita/1769/menyesali-ruang-terbuka-hijau-yang-dijadikan-mal
  13. https://psp.pertanian.go.id/layanan-publik/peraturan-perundangan-terkait-perlindungan-lahan-pertanian-pangan-berkelanjutan-plp2b
  14. https://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/view/718
  15. Buku Ajar Hukum Tata Pemerintahan. (2022). (n.p.): Samudra Biru.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.