Literasi Hukum – Artikel ini membahas perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah era Orde Baru dan agenda reformasi besar-besaran yang dilakukan untuk menghapus corak sentralisasi dalam kepemimpinan. Namun, saat ini, kehadiran oligarki dalam mengambil peran dan konsensus bagi negeri menjadi marak dan mengkhawatirkan. Artikel ini juga membahas tentang Otonomi Khusus di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kekhawatiran tentang konstitusionalitasnya, mengingat lembaga Otorita Ibu Kota Nusantara yang setara dengan kementerian yang tidak pernah ada dalam kebiasaan ketatanegaraan di republik Indonesia.
Oleh: Ch Idzan Falaqi Harmer, Mahasiswa Pascasarjana (Magister Ilmu Hukum) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Setelah mengakhiri era pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa setelah kurun waktu 32 tahun, corak sentralisasi yang sangat kental dalam penuturan kepemimpinan era Orde Baru luntur berkat adanya agenda reformasi besar-besaran di seluruh penjuru Indonesia. Kecaman dari beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI, seperti: Aceh, Riau, Papua dianggap sebagai persoalan serius yang telah mengebiri daerah-daerah dalam prinsip pengakuan ‘hak asal usul’ dalam pemerintahan yang cenderung bersifat otokratik pada saat itu, sehingga tidak sejalan dengan cita-cita awal pendirian republik ini.
Babak baru, corak neo-kolonialisme yang dipertontonkan oleh praktik pelaksanaan pemerintah saat ini menjadi potret maraknya kehadiran oligarki dalam mengambil peran dan konsensus bagi negeri ini. Sebagaimana tujuan akhirnya, adalah untuk memperbesar kekuasaan modal dan politik bagi kelompoknya—yang sejatinya hal ini harusnya sudah ditepis dan dikubur sedalam-dalamnya demi mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ironinya, praktik ini seakan ditopang oleh kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok orang tersebut di pemerintahan. Bahkan, hal ini dianggap lebih berbahaya dari praktik otoritarianisme pada era orde baru.
Otonomi Khusus di IKN : Sebuah Pisau Analisa Peraturan Perundang-Undangan
Melalui Sidang Umum MPR 18 Agustus 2000, terdapat sebuah kesepakatan untuk melakukan perubahan kedua atas UUD 1945 yakni pada muatan Pasal 18, 18A, dan 18B berkenaan tentang status daerah khusus dan daerah istimewa. Setidaknya, setelah perubahan pada pasal tersebut terdapat beberapa daerah yang bersifat khusus dan istimewa seperti: Aceh, Yogyakarta, Papua, dan Jakarta—lalu, sebuah nomenklatur baru di IKN yakni Nusantara dan selanjutnya diterangkan melalui Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 3 Tahun 2022: “Ibu Kota Negara bernama Nusantara dan selanjutnya disebut sebagai Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang ini”.
Sebuah ‘kekhususan’ dan berbeda dari kebiasaan pemberian status ‘khusus’ dan ‘istimewa’ kepada daerah-daerah yang telah disebut sebelumnya tersebut kembali dipertegas pada Pasal 5 Ayat (3) yang menyatakan bahwa: “Dikecualikan dari satuan pemerintahan daerah lainnya, di Ibu Kota Nusantara hanya diselenggarakan pemilihan umum tingkat nasional.” Memang, dalam pembentukannya diperuntukkan dalam perjalanan sebuah amanat demi kelangsungan Ibukota baru bagi Negara Republik Indonesia. Tapi perlu diperhatikan, dalam penyelenggaraannya seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah dibangun dan dilaksanakan di Indonesia.
Secara terang benderang, sebagaimana yang disebutkan pada poin ‘mengingat’ landasan pembentukan Undang-Undang ini terdapat salah satunya yakni Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18 (2) UUD 1945 sebagai alas konstitusional pembentukan Undang-Undang ini. Perlu ditinjau, bahwa pembentukan Undang-Undang ini apakah selaras dengan pemaknaan hukum dasar yang menjadi tumpuan dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus di Indonesia.
Bahwa, terdapatnya alas UUD 1945 pada poin ‘mengingat’ tersebut belum sepenuhnya menjawab mengenai Konstitusionalitas IKN—secara prinsipil. Mengenai dasar konstitusi yang dijadikan dalam Undang-Undang tersebut telah memberikan sebuah pergeseran tersendiri terhadap peletakan ‘Otorita Ibu Kota Nusantara’ sebagai lembaga yang setingkat dengan kementerian (Pasal 4 Ayat (1) poin b), yang sejatinya tidak pernah ada dalam kebiasaan ketatanegaraan di republik ini. Sehingga, peletakan hal ‘setingkat’ tersebut adalah sebuah praktik baru yang telah mengangkangi konstitusi sebagai norma hukum tertinggi.
Prinsipnya, pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dijadikan dasar dalam poin ‘mengigat’ melalui Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) sekalipun direkognisi sebagai wilayah dengan pemberian ‘kekhususan’ atau ‘istimewa’ tidak pernah ada sebuah corak atau praktik yang menjadikannya setingkat dengan kementerian. Artinya, peristiwa hukum baru dalam praktik ketatanegaraan dalam Undang-Undang ini telah jauh melabrak sejumlah ketentuan yang tidak dilakukan pada praktik ketatanegaraan sebelumnya dan tidak pernah disebutkan dalam konstitusi.
Sebuah kenyataan yang baru saja lahir melalui Undang-Undang ini ialah terdapatnya sebuah amanat baru dalam perjalanan dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Adanya amanat ‘khusus’ merupakan sebuah sejarah baru dalam perjalanan ‘desentralisasi asimetris’ ataupun ‘otonomi khusus’ di Indonesia. Undang-undang tersebut menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintah di wilayah ibukota baru Negara Indonesia. Tentu, menjadi PR bersama dalam mengawal serta mengkritisi praktik kebiasaan baru ini.
Praktik Autocratic Legalism Pemerintahan itu Terjadi di IKN
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara, setidaknya memberikan petanda berkenaan dengan tantangan masa depan pemerintahan Indonesia di tangan oligarki. Dilegalkannya praktik tersebut seakan memberikan dampak buruk bagi masa depan demokratisasi di Indonesia. Terlihat bahwa kewenangan dari presiden dalam menentukan kelanjutan terhadap pelaksanaan wilayah tersebut dengan nomenklatur baru mengenai Otorita Ibu Kota Nusantara yang memberikan corak baru dalam bingkai demokrasi di Indonesia. Hal ini diwaspadai sebagai gerbang masuk terjadinya praktik oligarki dalam hal pengelolaan dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Dikarenakan tidak adanya akses terhadap rakyat secara umum yang terdapat dalam penentuan pengelolaan terhadap IKN.
Kekhawatiran tersebut sebetulnya telah muncul dari beragam kecaman kontra terhadap praktik penyimpangan yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal penyelenggaraan kekuasaan Negara. Diduga, hal ini menempatkan posisi kedaulatan rakyat dalam kecaman yang sungguh serius. Aroma terhadap penguasaan Negara ditangan oligarki semakin terlihat jelas dalam penetapan dan pengelolaan IKN tersebut. Sekalipun kritik adalah bagian dari demokrasi, dan senantiasa digaungkan dalam konteks IKN.
Cikal bakal semakin kentaranya pemerintahan dalam praktik yang dikuasai oleh oligarki, terlihat dalam pelaksanaan proyek pembangunan terhadap IKN yang sangat pro-investasi dan mengesampingkan kepentinga-kepentingan masyarakat umum, dan lokal. Terlihat pada muatan Pasal 17 yang menyebutkan bahwa: “Otorita Ibu Kota Nusantara memiliki hak untuk diutamakan dalam pembelian Tanah di Ibu Kota Nusantara”. Hal ini tentunya menjadi sebuah dasar hukum yang kuat terhadap aktor-aktor dan investor yang nantinya menjadikan IKN sebagai dalih dalam penguasaan atas kekayaan alam yang ada di Ibu Kota Nusantara.
Telaah mengenai hal tersebut, sejak awal pembentukan Undang-Undang nya sendiri sebetulnya sudah sangat minim partisipasi publik dan masyarakat dalam membahas produk hukum. Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang perlu adanya pelibatan dan partisipasi publik dalam pembuatan Undang-Undang tersebut. Celakanya hal tersebut sudah merambah menjadi budaya dan praktik yang lumrah terjadi oleh para pembentuk Undang-Undang. Hal tersebut diakui dan dituturkan oleh Yohana Tiko, Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim sebagaimana ia menyebutkan: “cacat procedural dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHK) kembali terjadi dalam pembuatan RUU IKN. Dimana sebelumnya dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang berdampak langsung dari pemindahan Ibu Kota.”
Turut tergambar dalam amanat terhadap Pemilihan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara tersebut, bahwa pemilihannya ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden dan DPR. Lalu, berhak dalam menetapkan peraturan untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus (Bagian Kedua Pasal 5 tentang Kedudukan dan Kekhususan). Pun yang juga tercantum pada Pasal 10 Ayat (1) bahwa Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama. Artinya pada pada poin pasal tersebut Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN yang sama dapat dipilih kembali dan tidak adanya batasan periode yang ditentukan.
Anggapan bahwa babak baru dalam pemeliharaan ‘oligarki’ dalam bingkai sebuah Negara demokrasi telah nyata-nyata akan terus subur dan berkembang. Memang, berkenaan dengan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian kepala dan wakil kepala Otorita IKN dilakukan secara langsung oleh Presiden dan DPR demi percepatan pembangunan. Namun hal ini tentu perlu dikritisi, ketika penyelenggaraan IKN telah normal maka tidak ada alasan dan narasi ‘percepatan pembangunan’ demi meniadakan sebuah pemilihan langsung di IKN.
Sebagaimana ihwalnya sebuah daulat atas kepemimpinan dan pelaksanaan atas prinsip demokrasi adalah pemilihan langsung dari rakyat, serta peraturan-peraturan yang dikeluarkan juga harus menyerap dan memerhatikan aspirasi rakyat, bukan hanya terbatas pada kelompok tertentu. Terlebih juga yang sangat penting adalah memerhatikan simpul-simpul demokrasi ditingkat lokal yang menjadi hal prinsipil dalam menjaga amanat otonomi daerah atau desentralisasi dalam pemerintahan Indonesia.