PidanaMateri Hukum

Diversi: Sebuah Penerapan Restorative Justice dalam Perkara Pidana Anak

Dedon Dianta
1500
×

Diversi: Sebuah Penerapan Restorative Justice dalam Perkara Pidana Anak

Sebarkan artikel ini
Diversi
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas secara mendalam mengenai Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.

Restorative Justice dalam Perkara Pidana Anak

Indonesia memasuki era baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Pembaharuan hukum pidana Indonesia menimbulkan banyak perkembangan, salah satunya ialah keadilan restoratif (restorative justice) sebagai paradigma hukum pidana yang menitikberatkan tujuan capaian keadilan melalui pemulihan serta perbaikan keadaan setelah adanya suatu peristiwa pidana. Keadilan restoratif menitikberatkan keadilan dengan upaya pembalasan, sedangkan keadilan restitutif menitikberatkan keadilan pada ganti rugi. Pandangan tentang sebuah kejahatan pun berbeda antara keadilan retributif (kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara) dan keadilan restoratif (kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain). Maka dari itu, penulisan ini di dalamnya akan dibahas secara rinci mengenai segala hal tentang diversi dalam hukum pidana anak.

Dalam hal ini, pejabat pemerintahan diperluas seluas mungkin kewenangannya melalui upaya diskresi yang telah tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tentu aparat penegak hukum melalui upaya diskresi dapat mengambil kewenangan dalam suatu tindak pidana dengan suatu tindakan tertentu untuk menghentikan atau meneruskan melalui suatu kebijakan yang telah dibuat. Selain itu juga, sistem diversi merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam proses peradilan anak sebagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tenang Sistem Peradilan Pidana Anak (Selanjutnya disebut sebagai UU SPPA).

Anak merupakan generasi bangsa di masa depan yang akan meneruskan estafet pemerintahan suatu bangsa, maka dari itu tentu harus diatur tentang perlindungan hukum secara khusus untuk anak. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1979  tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Segala peraturan tersebut mengupayakan perlindungan hukum anak dengan asas-asas umum yakni non diskriminasi, menghargai partisipasi anak, memperhatikan kelangsungan hidup anak, dan mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi kesejahteraan anak.

Sejarah Konsep Diversi

Konsep diversi bermula pada abad ke 19 yang merupakan awal berdirinya peradilan anak yang memiliki tujuan agar perlakuan anak tidak disamakan dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Diversi hadir sebagai pendekatan non-penal atau tindakan persuasif serta memberikan kesempatan anak untuk memperbaiki kesalahan.

Hadirnya diversi, tujuan utamanya ialah agar anak tidak mendapatkan pemaksaan, penyiksaan, dan kekerasan dalam proses peradilan hingga pemidanaannya. Latar belakang dari adanya implementasi diversi yakni sebagai upaya preventif terhadap efek negatif yang berpotensi timbul terhadap perkembangan psikis jika penyelesaiannya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana pada umumnya. Diversi memiliki urgensi dalam menjamin hak asasi anak dan mencegah adanya stigma sebagai anak nakal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka dari itu, hukum dapat ditegakkan tanpa adanya penyiksaan dan kekerasan terhadap anak serta memberikan kesempatan terhadap anak untuk memperbaiki kesalahan tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang memiliki kekuasaan dalam suatu negara.

Tujuan Diversi

Diversi
Ilustrasi Gambar / Sumber: Canva AI

Diversi merupakan sebuah proses mengalihkan perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke luar proses peradilan pidana yang hanya berlaku pada anak berumur 12 tahun hingga anak yang belum menyentuh 18 tahun sebagaimana Pasal 1 UU SPPA. Dijelaskan pula pada Pasal 6 tentang tujuan diversi, antara lain:

  1. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Diversi dalam penerapannya tentu harus memperhatikan 2 syarat formil yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA. Syarat pertama ialah tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 tahun. Syarat kedua, tindak pidana yang dilakukan anak tersebut bukanlah merupakan pengulangan tindak pidana.

Hasil dari diadakannya diversi ialah sebuah kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan tersebut harus mendapatkan persetujuan pihak korban, kecuali apabila tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana ringan (tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan), tindak pidana tanpa korban (crime without victim), atau tindak pidana yang nilai kerugiannya tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.

Berakhirnya Diversi

Diversi dapat berakhir dengan kesepakatan yang berupa:

  1. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
  2. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
  3. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di LPKS paling lama 3 bulan; atau
  4. pelayanan masyarakat

Pengaturan Diversi

Pelaksanaan diversi tertuang dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasca dikeluarkannya Penetapan Ketua Pengadilan terkait diversi, maka hakim/fasilitator terkait mengeluarkan Penetapan hari Musyawarah Diversi. Pelaksanaan diversi di pengadilan dihadiri oleh para pihak yang disertai dengan pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional, perwakilan masyarakat, dan pihak-pihak lain yang dipandang perlu untuk dilibatkan dalam musyawarah diversi.

Ketidakberhasilan dari proses diversi sesuai dengan laporan dari pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan, maka hakim sebagai fasilitator dapat melanjutkan perkara ke dalam peradilan yang tunduk terhadap Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim juga wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi. Bagaimanapun isi kesepakatan diversi, hakim/fasilitator diversi tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban perdata maupun pidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.