Kepailitan

Tumpang Tindih Sita Boedel Pailit Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dengan KUHAP

Redaksi Literasi Hukum
1434
×

Tumpang Tindih Sita Boedel Pailit Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dengan KUHAP

Sebarkan artikel ini
Tumpang Tindih Sita Boedel Pailit
Ilustrasi Gambar

Literasi HukumArtikel ini membahas Tumpang Tindih Sita Boedel Pailit Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dengan KUHAP. Yuk simak!

Kepailitan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Sedangkan pailit merupakan suatu keadaan di mana Debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran terhadap utang-utang dari pada Kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha Debitor yang telah mengalami kemunduran.

Kepailitan merupakan suatu langkah atau cara yang diambil oleh Kreditor dalam meminta pertanggung jawaban Debitornya dalam hal melunasi utang melalui sita umum. Setelah putusan pailit dijatuhkan, maka si pailit langsung kehilangan hak untuk melakukan pengurusan terhadap dan penguasaan terhadap harta kekayaannya, segenap harta kekayaannya akan menjadi Sita Boedel Pailit.

Sita Boedel Pailit bisa juga disebut sebagai harta pailit, seperti definisi diatas, adalah kekayaan seseorang atau organisasi yang telah dinyatakan pailit. Pada akhirnya harta tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan. Selanjutnya harta peninggalan kepailitan ini akan dibereskan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.

Pelaksanaan pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitor pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar setelah adanya putusan pernyataan pailit atau dikenal dengan istilah insolvency.

Dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan demikian, harta pailit juga meliputi segala sesuatu (harta) yang diperoleh selama kepailitan berlangsung.

Merujuk pada Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kewenangan kurator melakukan pengurusan dan/atau pemberesan dimulai sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sita atau penyitaan, akan tetapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur dua bentuk sita yaitu sita jaminan dan sita umum.

Menurut Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sita jaminan adalah sita yang dilakukan terhadap sebagian atau keseluruhan harta kekayaan debitor guna melindungi kepentingan kreditor.

Sita jaminan akan berakhir begitu hakim memutus pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap. Begitu hakim memutus pailit maka berlaku secara otomatis sita umum terhadap semua harta kekayaan milik debitor.

Tujuan sita umum hampir sama dengan tujuan sita perdata pada umumnya yaitu mencegah debitor melakukan perbuatan yang merugikan para kreditornya seperti menyembunyikan atau menyelewengkan harta, hanya saja terdapat satu tujuan khusus dari kepailitan yaitu mencegah terjadinya perebutan harta debitor oleh para kreditor.

Sita menurut KUHAP, Pasal 1 angka 16 KUHAP menyebutkan “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”. Dari pengertian yang diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP tersebut, penyitaan memiliki dua bentuk perbuatan yaitu mengambil alih dan menyimpan di bawah penguasaan. Perbuatan mengambil alih dimaknai sebagai suatu perbuatan hukum sedangkan perbuatan menyimpan di bawah penguasaan dimaknai sebagai sebuah perbuatan materil atau fisik.

Sita dalam hukum pidana adalah penyitaan yang dilakukan terhadap barang bergerak / tidak bergerak milik seseorang, untuk mendapatkan bukti dalam perkara pidana. Penyitaan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan / atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) KUHAP Pidana, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

  1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil tindak pidana;
  2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
  4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Pasal 39 ayat (2) yang berbunyi “Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1)”.

Undang-undang menetapkan, penyitaan pidana memiliki kepentingan publik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan individu dalam perkara perdata. Karena itu, kepentingan penggugat sebagai pemohon dan pemegang sita revindikasi, sita jaminan, sita umum dalam kepailitan harus dikesampingkan demi melindungi kepentingan umum, dengan jalan menyita barang itu dalam perkara pidana, apabila barang yang bersangkutan memenuhi kategori yang dideskripsikan Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kemudian pertanyaannya, apakah kurator dapat mengajukan gugatan pembatalan atas sita pidana? Penyitaan oleh kurator terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sedangkan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kurator dapat mengajukan gugatan pembatalan atas sita pidana kepada Pengadilan Niaga untuk meletakkan sita umum terhadap harta pailit yang terlebih dahulu telah dilakukan sita pidana oleh penyidik. Pengadilan Niaga dalam hal ini mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa, memutus masalah kepailitan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kepailitan.

Adanya benturan antara sita umum kepailitan dengan sita pidana merupakan bentuk dari hal-hal lain yang berhubungan dengan kepailitan, karena benturan tersebut memperebutkan status sita atas objek yang sama yaitu harta debitor yang telah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga, sehingga harta tersebut status hukumnya menjadi harta pailit.

Selain itu, hak kurator lahir dengan dasar melalui putusan Pengadilan Niaga, sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh kurator baik itu dalam rangka untuk mengangkat sita pidana atas hak debitor, harus memperoleh persetujuan dari Pengadilan Niaga yaitu melalui produk hukum yang berupa putusan.

Disamping itu, dalam hal jika harta pailit yang disita pidana guna menjadi alat bukti di pengadilan, hakim dalam memutuskan status barang yang disita tersebut harus sungguh-sungguh menentukan status kepemilikan barang sitaan.

Sehingga apabila terhadap harta pailit yang telah terlebih dahulu disita pidana tetapi tidak terbukti pidananya, maka harus dikembalikan kepada harta pailit dalam rangka sita umum. Namun sebaliknya, jika terhadap harta itu memang dapat dibuktikan bahwa berasal atau digunakan dari hasil kejahatan, maka demi kepentingan hukum harta tersebut disita untuk negara atau dirampas untuk dimusnahkan.

Seperti halnya dalam Putusan MA No. 156K/Pdt.Sus-Pailit/2015 yang pada pertimbangannya MA berpendapat mengenai sita, adapun kalimatnya sebagai berikut “Bahwa oleh karena sita yang dilakukan oleh Termohon Kasasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan pidana, maka pembatalan sita harus dilakukan melalui ketentuan yang diatur dalam KUHAP”.

Adanya tumpang tindih antara hukum kepailitan mengenai sita umum dengan sita oleh penyidik menimbulkan akibat hukum yang sangat merugikan kreditor apabila terdapat harta pailit yang disita oleh penyidik.

Untuk menentukan sita mana yang harus didahulukan adalah harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam hal ini kreditor.

Apabila sita pidana diberlakukan terlebih dahulu, maka yang terjadi adalah pelanggaran hak para kreditor yang seharusnya mendapatkan pelunasan piutang harta pailit tidak dapat segera dibereskan karena harus menunggu selesainya perkara pidana. Sedangkan apabila sita umum ditetapkan terlebih dahulu, maka kurator dapat melakukan tugasnya untuk mulai melakukan pemberesan harta pailit.

Daftar Bacaan

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
  • Adhia, Yurist Rahmawati, dkk, “Tanggung Jawab Kurator Dalam Sita Boedel Pailit Oleh Negara (Kejaksaan) (Kasus PT Aliga Internasional Pratama Nomor 156K/Pdt.Sus-Pailit/2015), Diponegoro Law Journal, Volume 10, Nomor 1, Tahun 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.