Syarat perkawinan perlu dipahami setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan.
Di Indonesia, syarat perkawinan diatur, terutama, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). UU Perkawinan berlaku secara simultan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (“UU 32/1954”), serta dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (“PP 9/1975”).
Dahulu, aturan perkawinan di Indonesia mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Setelah UU Perkawinan dan peraturan konsolidasnya berlaku, ketentuan dalam KUHPer mengenai perkawinan sudah tidak berlaku.
Secara spesifik, UU Perkawinan menggantikan beberapa ketentuan KUHPer mengenai perkawinan. Misalnya, KUHPer hanya mengatur perkawinan sebagai hubungan hukum dan adanya larangan berpoligami. Sementara itu, UU Perkawinan mengatur perkawinan termasuk sebagai hubungan emosional dan opsi untuk melakukan poligami.
Lebih lanjut, UU Perkawinan mengatur perkawinan sebagai bentuk ikatan batin yang berdampak pada beragam aspek kehidupan antara pasangan yang melakukan perkawinan. Ikatan batin itu akan menghasilkan keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Alhasil, dalam UU Perkawinan, pembentukan perkawinan melibatkan keyakinan pribadi dari tiap pasangan perkawinan.
Sebagai catatan, UU Perkawinan telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (“UU 16/2019”). Dalam perubahan tersebut, ada beberapa pasal yang mengalami dampak signifikan, tidak terkecuali pada pasal mengenai syarat perkawinan.
Syarat Perkawinan di Indonesia
Syarat pertama dapat kita lihat dalam Pasal 1 UU Perkawinan. Dalam pasal ini, setidaknya ada 2 syarat yang diatur. Pertama, perkawinan itu terjalin di antara seorang pria dan wanita. Kedua, perkawinan itu terjalin demi membentuk keluarga berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Dasar ketuhanan yang maha esa diperjelas dalam Pasal 2. Pasal ini mengatur bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dari tiap pasangan. Namun, ketentuan ini menimbulkan perdebatan mengenai potensi adanya perkawinan beda agama.
Syarat selanjutnya adalah persetujuan. Persetujuan ini memiliki 3 konteks tersendiri, yaitu persetujuan antara pasangan, persetujuan orangtua atau wali jika subjek yang menikah adalah anak, dan persetujuan istri jika subjek yang menikah adalah suami yang ingin berpoligami.
Para pasangan yang akan melangsungkan perkawinan juga harus memiliki umur cukup. Saat ini, melalui Pasal 7 UU 16/2019, yang dimaksud umur cukup adalah usia minimal 19 tahun. Ini berlaku baik bagi pria maupun wanita. Namun, jika pasangan belum memiliki umur yang cukup, mereka dapat diwakili oleh orangtua atau wali dari minimal salah satu pihak. Nantinya, mereka dapat meminta dispensasi perkawinan dengan alasan mendesak dan disertai bukti yang cukup.
Para pasangan juga perlu memastikan bahwa masing-masing pihak tidak terikat dengan perkawinan lain, kecuali ada ketentuan berbeda berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 10.
Syarat lain adalah berakhirnya masa tunggu. Ini diatur dalam Pasal 11 dan berlaku khusus bagi wanita yang telah bercerai. Menurut pasal ini, jika pihak mempelai wanita adalah wanita yang telah bercerai, ia baru dapat melangsungkan pernikahan kembali setelah masa tunggunya selesai.
Proses perkawinan juga memerlukan syarat teknis, yaitu pencatatan perkawinan. Nantinya, dari pencatatan perkawinan, pasangan yang melangsungkan perkawinan akan memiliki akta perkawinan.
Untuk melakukan pencatatan, pasangan yang melangsungkan perkawinan harus menghubungi pejabat yang berwenang. Jika perkawinan dilaksanakan dengan hukum agama Islam, pencatatan ditujukan kepada Pejabat Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama. Jika perkawinan dilaksanakan dengan hukum agama selain Islam, pencatatan ditujukan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil.
Setelahnya, pasangan yang melangsungkan perkawinan akan memiliki akta perkawinan. Akta perkawinan merupakan bukti sah yang menunjukkan status perkawinan dari pasangan tersebut. Pasangan akan diminta untuk menandatangani akta perkawinan dan mereka akan mendapatkan kutipan akta perkawinan.
Selain menjadi bukti yang sah, akta perkawinan sesungguhnya berfungsi sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sah. Dalam proses pengadaan akta perkawinan, pejabat yang berwenang akan memeriksa apakah perkawinan yang dilaksanakan oleh pihak terkait telah memenuhi syarat yang diatur. Jika tidak memenuhi, perkawinan tidak akan bisa dicatatkan dan akta perkawinan tidak bisa dikeluarkan.