Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai dasar-dasar hukum pidana, yaitu teori kausalitas yang didalamnya terdiri dari teori Conditio Sie Qua Non , bedigungs theori, ubergewichts theori, dan teori adequate.
Teori Kausalitas dalam Hukum Pidana
Dalam proses pembuktian hukum pidana, diperlukan serangkaian proses untuk menilai apakah anasir suatu pasal telah terpenuhi. Mengenai delik materiil, salah satu pisau uji adalah teori kausalitas. Pada dasarnya, teori ini berfungsi untuk membuktikan tindak pidana, utamanya delik materiil yang melarang terjadinya suatu akibat, sebagai contoh apakah benar tindakan A memukul B dengan galon membuat B meninggal dunia. Menurut John Stuart Mill, causa adalah seluruh peristiwa yang melahirkan kejadian baru, baik penyebab positif atau negatif.1
Beberapa teori yang muncul berkaitan dengan kausalitas, antara lain:
1. Teori Conditio Sie Qua Non dalam Hukum Pidana
Teori ini memandang bahwa syarat tanpa musabab (tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat) tidak mungkin menimbulkan akibat. Semua syarat untuk terjadinya akibat memiliki nilai yang sama atau ekuivalen. Sebagai contoh atas teori ini adalah sebagai berikut.
A dan B terlibat perkelahian yang membuat A melayangkan pukulan ke kepala B hingga berdarah sehingga dibawa ke rumah sakit. Dalam perjalanan, B dibawa menggunakan taksi dan di tengah jalan taksi tersebut terguling ke jurang. Tim evakuasi membawa supir taksi dan B ke rumah sakit terdekat. Sesampainya B di kamar operasi, rumah sakit dibakar oleh C dan B meninggal dunia.
Dalam ilustrasi tersebut, A, supir taksi, dan C merupakan syarat meninggalnya B sehingga menurut Von Bury, ketiganya adalah musabab dan dapat dipidana. Terhadap pendapat Von Bury, Van Hamel setuju dengan catatan harus ada unsur kesalahan untuk menjerat pelaku yang terlibat.
Di lain sisi, Prof Moeljatno tidak setuju dengan pendapat demikian sebab syarat dan musabab merupakan dua hal yang berbeda. Selain itu, kesalahan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dan berada di wilayah mens rea, sedangkan kausalitas digunakan untuk menilai apakah sebuah delik terpenuhi yang mana berada di wilayah actus reus.2 Mengenai pendapat Von Bury di atas perihal syarat dan musabab, muncul dua pandangan yang berbeda, yakni pandangan yang menggeneralisir (ante factum) dan pandangan yang mengindividualisir (post factum).
Pandangan yang Mengindividualisir dalam Hukum Pidana
Pandangan ini terbagi atas dua teori, yaitu bedigungs theori dan ubergewichts theori. Bedigungs theorie yang digagas Birk Meyer menilai bahwa terhadap syarat-syarat yang menyebabkan terjadinya akibat, dipilih salah satu syarat yang paling berpengaruh untuk dijadikan musabab dari akibat tersebut. Kohler berpendapat bahwa musabab adalah syarat yang, menurut sifat perbuatannya, dapat menimbulkan akibat yang dilarang.
Terhadap pengerucutan beberapa syarat untuk dipilih menjadi musabab, Birk Meyer tidak dapat menentukan mana yang paling kuat. Sebagai contoh, manakala dua orang menarik becak manusia dan di perjalanan becak tersebut jatuh ke jurang, sulit untuk menentukan siapa yang paling berpengaruh terhadap kejadian tersebut.
Teori kedua, yakni ubergewichts theori digagas oleh Karl Binding. Karl memandang bahwa musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat-syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negatif. Keberatan terhadap teori ini adalah tidak jauh dari teori conditio sie qua non sehingga tetap tidak applicable. Atas kelemahan-kelemahan yang ada, maka ditinjaulah pandangan yang lain.
Pandangan yang Menggeneralisir dalam Hukum Pidana
Pandangan ini dimanifestasikan dengan teori adequate yang digagas J Von Kries. Menurut pandangan ini, musabab dari tiap kejadian adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat. Mengenai “jalannya kejadian yang normal” sangat bergantung pada pengetahuan terdakwa untuk mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakannya dapat menimbulkan akibat yang dilarang. Adapun contohnya adalah sebagai berikut.
A melempar buku tebal ke arah B karena B menirukan gaya bicara A. Buku tebal tersebut mengarah ke arah dada B dan seketika B meninggal. Ternyata, B mengidap penyakit jantung kronis sehingga sangat rentan.
Menurut teori adequate gagasan Von Kries, A dapat dikatakan membunuh B manakala mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa melempar buku tebal ke arah dada akan menyebabkan seseorang meninggal. A dapat saja menyangkal hal tersebut dan mendalilkan bahwa pada umumnya dada bukanlah organ vital sebagaimana kepala. Oleh karena teori ini sangat bergantung pada pengetahuan tiap individu yang beragam, teori ini disebut teori adequate subjektif.
Teori ini sangat luas dan sulit diterapkan secara praktis. Selain itu, menurut Prof Moeljatno, kelemahan teori adequate subjektif adalah sukar untuk membedakan syarat dengan musabab. Adapun kejadian yang normal berasal dari pengalaman manusia yang sifatnya subjektif, sedangkan kausalitas merupakan hal yang objektif. Dengan demikian, teori adequate yang dapat digunakan adalah teori adequate objektif.
Menurut teori ini, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah musabab didasarkan pada ilmu pengetahuan yang relevan dan tidak mendasarkan pada pengetahuan masing-masing persoonlijke. Apabila dikaitkan dengan contoh di atas, maka harus dianalisis menggunakan ilmu kedokteran kehakiman berupa hasil forensik visum et repertum apakah pelemparan buku tebal mengakibatkan kematian B.
- Ahmad Sofian, Kausalitas dalam Hukum Pidana pada Keluarga: Perbandingan antara Civil Law dan Common Law, (https://www.scribd.com/document/520258919/21-Ahmad-Sofian). ↩︎
- Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cetakan Ketigabelas, 2015), hlm. 98. ↩︎