Ditulis oleh: Sintarda Hari (Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Sriwijaya)
Literasi Hukum – Artikel ini membahasan mengenai perjalanan hak asasi manusia dalam tatanan sejarah dan politik hukum. Yuk Simak penjelasannnya!
Kebebasan yang Digapai dalam Hak Asasi Manusia
Kebebasan merupakan sebuah perjuangan yang telah manusia coba miliki demi memberikan harkat dan martabat pada dirinya. Oleh sebab itu untuk menggapainya manusia cenderung akan berseteru demi kebebasan, beberapa diantaranya melalui pengorbanan selama abad ke-20. Gerakan dekolonisasi pada abad tersebut merupakan sejarah umat manusia demi merebut mahkota kebebasan, seperti yang dikatakan oleh sejarawan US Will Durant yang mengatakan “peradaban dimulai dengan perintah, tumbuh dengan kebebasan, dan mati dengan kekacauan”.
Dengan adanya kebebasan, hidup manusia memiliki banyak pilihan. Dalam konteks ini pilihan itu adalah pertanda adanya otoritas dan kedaulatan yang membuat manusia memiliki martabat sehingga seorang individu dapat menentukan apa yang ia kehendaki. Oleh sebab itu kebebasan menjadi lahan subur bagi kreativitas, ekspresi, dan keleluasaan hingga melahirkan dinamika, sehingga itulah mengapa pemikiran, teori, dan dokumen mengenai Hak Asasi Manusia baik klasik atau kontemporer memberikan aspek kebebasan sebagai tempat utama.
Dokumen pertama yang tertulis mengenai Hak Asasi Manusia secara khusus, Magna Charta di Inggris pada tahun 1215 telah mencantumkan jaminan mengenai kebebasan untuk tidak dipenjara semena-mena serta kebebasan dalam memiliki harta dan tidak dieksekusi pun diasingkan.
Walau mungkin dapat juga dikatakan Cyrus Cylinder sebagai bentuk produk Hak Asasi Manusia yang lebih tua. Kemudian, English Bill of Rights (1688-1689) yang mendeklarasikan keharusan adanya kebebasan berbicara, pemilihan umum yang bebas, tidak disiksa, dan tidak dihukum secara tak pantas. Memasuki dunia yang lebih modern pada 1776 lahirlah Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) yang secara eksplisit tertulis
“We hold these truth to be self-evident that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Libertt and the pursuit of Happiness”.
Dalam kandungan itu jelas terdapat tiga prinsip yang dijamin dan dilindungi uakni tentang hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan. Kemudian deklarasi Hak-Hak Wanita (1790) yang mengatakan wanita dilahirkan dengan kebebasan dan persamaan hak dengan kaum pria. Bill of Rights Amerika Serikat (1791) juga menegaskan :
Amendment I
“Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof or abridging the freedom of speech, or the press or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for redress or grievances”.
Dengan adanya dokumen itu kebebasan berbicara, berserikat, beragama, dan berbicara dijamin pun melarang Kongres untuk membuat hukum yang dapat menghalangi praktik kebebasan tersebut. Selain itu pada 1789 Revolusi Prancis turut serta dalam melindungi kebebasan yang melekat pada diri manusia baik dalam hal keamanan, penolakan terhadap bentuk opressi, dan memiliki harta.
Masa Universalitas Hak Asasi Manusia
Setelah usainya dua konflik besar dunia abad ke-20 akhirnya didirikanlah Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama dengan Piagam PBB khususnya Pasal 1 ayat 3 yang turut mendorong dan mempromosikan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia fundamental sehingga berlanjut pada kelahiran Deklarasi Hak Asasi ManusiaUniversal (1948) khususnya pada article 1 sampai 3. Deklarasi ini dengan tegas tidak membedakan tiap manusia untuk mendapatkan Hak-Hak fundamentalnya dalam hidup dengan begitu jelas hingga memasuki 1966 terciptalah Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik demi mengikat dengan lebih tegas negara peserta perjanjian untuk menghargai Hak Asasi Manusiaseperti pada article 2 ayat 2.
Memasuki 1984 pula lahir sebuah prinsip yang dikenal sebagai The Siracusa Principles, prinsip ini hanyalah acuan dan kerangka pikir yang dirancang oleh 31 ahli hukum internasional di Italia. Prinsip ini lahir sebagai upaya untuk mengatur tatanan aturan konkret dalam mengatasi penyalahgunaan situasi darurat seperti yang ada dalam International Convenant on Cuvil and Political Rights.
Pada tanggal 25 Juni 1993 di Kota Wina, Austria, umat manusia yang mewakili negara-negara di dunia kembali memberikan penegasan sikap dan prinsip terhadap HAM dalam suatu konferensi. Hasil konferensi tersebut disebut sebagai Vienna Declaration and programme of Action (VDPA). Deklarasi ini menjadi kompas untuk bertindak secara nyata.
Setidaknya ada beberapa hal yang terkandung demi peningkatan usaha warga dunia dalam mempromosikan ketaatan yang lebih utuh terhadap Hak Asasi Manusiayakni dalam pembukaan yang menyatakan “Mengajak semangat dan realitas yang ada pada zaman ini yang memanggil semua bangsa dunia dan negara anggota PBB untuk mendedikasikan kembali diri mereka untuk tugas global mempromosikan dan melindungi semua hak asasi manusia dan Hak-Hak kebebasan fundamental sehingga dapat mengamankan penerapan secara penuh Hak-Hak universal tersebut” dan banyak postulat lainnya dalam pembukaan mengenai Hak Asasi Manusiasebagai standar universal yang relevan, Hak Asasi Manusiayang tak terpisahkan, Hak Asasi Manusiasebagai Demokrasi dan pembangunan, kemiskinan dan realisasi Hak Asasi Manusia, Hak perempuan dan KDRT, dan tanggung jawab negara terhadap Hak Asasi Manusia.
Tak berhenti disana manusia kembali menciptakan instrumen Hak Asasi Manusialainnya yakni Statuta Roma (1998) yang kemudian menjadi dasar dalam pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Instrumen ini ditujukan demi memperjuangkan Hak Asasi Manusiasebagai lanjutan pada konteks peperangan agar mengadili tindak kejahatan kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum.
Dalam perspektif statuta ini, Mahkamah akan mengadili kejahatan genosida, kemanusiaan, perang dan agresi. Adapun kejahatan agresi tidak dielaborasi dengan jelas dalam Statuta Roma namun acuannya ada pada Resolusi PBB 3314 pada pasal 1, 3, dan 5.
Pengaturan lainnya juga menegaskan pada tanggung jawab komando yang secara tegas dikatakan oleh Mahkamah “seorang komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer, harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan dibawah komando/kontrolnya atau akibat kegagalannya dalam mengontrol pasukan.
Salah satu kasus pertama yang ditangani oleh Mahkamah mengenai itu adalah terhadap Thomas Lubanga (2012) yang merupakan pemimpin kelompok pemberontak Uni Patriot Kongo. Melalui banyaknya instrumen HAM ini setidaknya dapat memberikan sebuah jaminan pada umat manusia khususnya dalam hubungan internasional.
Namun instrumen HAM yang diciptakan sebagai aturan dan pedoman antar bernegara ini, bukan berarti hal tersebut justru benar-benar ditaati dengan bijak oleh negara peserta.
Seringkali unsur politis dan kepentingan negara yang didasari oleh pemikiran realis hadir dalam tatanan praktis bahkan melahirkan kekecewaan seperti apa yang disebut sebagai hypocricy of the west.
Misal kita lihat pada praktik US, hanya pada saat Jimmy Carter berkuasa mereka dapat mempraktikkan HAM dengan baik dalam hubungan internasional, namun tatkala Ronald Reagan berkuasa kebijakan luar negeri US berdiri pada aspek kedigdayaan dan keperkasaan yang kemudian disimbolkan dalam war on terror dan tentu banyak kasus lainnya yang tidak cukup untuk dijabarkan dalam tulisan ini.
Referensi
Hamid Awaludin, HAM : Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.