Berita

Polemik Hak Angket DPR: Pandangan 5 Pakar Hukum Tata Negara

Redaksi Literasi Hukum
1258
×

Polemik Hak Angket DPR: Pandangan 5 Pakar Hukum Tata Negara

Sebarkan artikel ini
Hak Angket DPR
Ilustrasi Gambar

Jakarta, Literasi Hukum – Rencana untuk menerapkan Hak Angket DPR dalam rangka menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 semakin ramai dibicarakan. Pendapat yang beragam bermunculan dari berbagai pihak, termasuk para ahli hukum tata negara, mengenai proposal tersebut.

Setelah kedua kubu calon presiden sepakat untuk mengajukan usulan hak angket terhadap KPU dan Bawaslu, berbagai tanggapan pun muncul dari berbagai pihak. Tak terkecuali para pakar hukum tata negara yang memberikan pandangan mereka terhadap hal ini. Berikut adalah beberapa respon pro dan kontra dari tokoh-tokoh terkemuka terkait usulan tersebut:

1. Jimly Asshiddiqie


Jimly Asshiddiqie mengungkapkan pentingnya pemerintah untuk menerima hak angket sebagai mekanisme penting dalam proses demokrasi. Pernyataannya ini disampaikan saat ia bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantor Kemenko Perekonomian pada tanggal 26 Februari 2024. Jimly menekankan bahwa meskipun pemerintahan Jokowi belum pernah menggunakan hak angket, penerimaan terhadap usulan tersebut seharusnya dipertimbangkan. Ia mengapresiasi kemungkinan penggunaan hak angket dalam catatan sejarah era pemerintahan Jokowi. Sebagai seorang Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jimly sebelumnya telah menyoroti bahwa hak angket yang diajukan oleh DPR adalah bagian dari fungsi ‘checks and balances’ antara cabang eksekutif dan legislatif, sesuai dengan prinsip konstitusional berdasarkan UUD 1945. Jimly juga menegaskan bahwa penggunaan hak angket sebagai proses politik oleh DPR seharusnya dipandang sebagai upaya untuk memperkuat sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas.

2. Feri Amsari

Feri Amsari, seorang ahli hukum tata negara, menjelaskan bahwa hak angket merupakan instrumen yang bisa dipergunakan oleh DPR untuk menyelidiki kejanggalan dalam Pemilu 2024. Menurutnya, hak tersebut dapat diarahkan untuk menyelidiki lembaga eksekutif, termasuk Presiden. Feri menyoroti bahwa selama Pemilu 2024, ada banyak tindakan dari Presiden yang memerlukan klarifikasi terhadap maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, penggunaan hak angket oleh DPR adalah langkah yang wajar untuk mengklarifikasi hal tersebut. Feri menegaskan bahwa hak angket merupakan instrumen yang memungkinkan DPR untuk menyelidiki apakah tindakan dan kebijakan Presiden telah melanggar hukum atau tidak.

Feri juga menyampaikan keprihatinannya terhadap indikasi kecurangan dalam Pemilu 2024, seperti penggelembungan suara calon di beberapa provinsi Indonesia. Menurutnya, hal ini memperkuat urgensi DPR untuk bertindak dengan menggunakan hak angket. Namun, Feri mengungkapkan kekhawatirannya jika DPR tidak segera bertindak. Dia menekankan bahwa pelaksanaan hak angket tidak boleh terlalu ditunda, karena persyaratan untuk melakukannya relatif mudah. Feri menegaskan bahwa DPR perlu menunjukkan keberanian dan kesungguhan dalam melaksanakan tugasnya.

3. Fahri Bachmid

Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menegaskan bahwa DPR memiliki wewenang untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Namun, penggunaan hak-hak tersebut seharusnya terfokus pada pengawasan terhadap lembaga eksekutif, bukan untuk membahas hasil pemilu.

Bachmid menekankan bahwa penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu tidak sesuai dengan prinsip konstitusional. Menurutnya, penyelesaian sengketa pemilu seharusnya dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar.

“Dalam hal ini, proses menuju Mahkamah Konstitusi seharusnya diutamakan. Memaksa penggunaan hak angket dalam konteks pemilu hanya akan merusak sistem ketatanegaraan,” ujar Fahri Bachmid seperti dilaporkan oleh Koran Tempo.

Bachmid menilai penggunaan hak angket dalam urusan pemilu sebagai tindakan yang tidak masuk akal dan melanggar konstitusi. Ia menegaskan bahwa masalah terkait hasil pemilu seharusnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Jika pembahasan diluar konteks pemilu, itu bisa diterima. Namun, dalam hal hasil pemilu, upaya hukum harus ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu,” tegasnya, seperti yang dikutip dalam edisi Jumat Koran Tempo, tanggal 23 Februari 2024.

4. Herdiansyah Hamzah

Menurut Herdiansyah Hamzah, seorang ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, hak angket tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan hasil pemilu. Pembatalan hasil pemilu dan investigasi terhadap kecurangan merupakan tugas yang jatuh kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Meskipun demikian, Herdiansyah menganggap penting untuk mendukung hak angket sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR. Dia juga menyarankan bahwa penggunaan hak angket ini mungkin berujung pada proses pemakzulan Presiden Jokowi, tetapi proses ini memiliki tantangan tersendiri. Herdiansyah menjelaskan bahwa proses pemakzulan hanya bisa dilakukan melalui tahap hak menyatakan pendapat, yang membutuhkan setidaknya 384 suara dari total 575 anggota DPR. Namun, dia menyoroti bahwa kubu 01 & 03 belum mencapai jumlah suara yang diperlukan, dengan hanya mendapatkan 314 suara. Pernyataan ini diambil dari laporan Koran Tempo edisi Jum’at, 23 Februari 2024.

5. Mahfud MD

Pakar hukum konstitusi dan calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan untuk mengajukan hak angket guna menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu 2024. Mahfud menolak pandangan yang menyatakan bahwa penyelidikan terhadap kecurangan pemilu tidak sesuai dengan penggunaan hak angket. “Hak angket bisa digunakan secara sah. Saat ini terdapat serangkaian pernyataan yang menyatakan sebaliknya, namun saya menegaskan bahwa tidak ada yang menghalangi penggunaan hak angket,” ujar Mahfud dalam keterangan tertulisnya pada Ahad, 25 Februari 2024. Walaupun demikian, Mahfud menegaskan bahwa hak angket tidak memiliki wewenang untuk mengubah keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil pemilu. Hak angket hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan pemilu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.