Literasi Hukum – Artikel ini membahas pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, sebagaimana diakui dalam Konstitusi Republik Indonesia dan dituangkan dalam Keputusan Kepala Daerah. Artikel ini menjelaskan definisi hukum adat dan Masyarakat Hukum Adat, serta peran penting Keputusan Kepala Daerah sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam mengakui dan melindungi hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat. Selain itu, artikel ini juga mencantumkan contoh-contoh Keputusan Kepala Daerah yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat di berbagai daerah di Indonesia.
Konstitusi Republik Indonesia mengakui dan menghormati kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI. Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat tersebut dituangkan dalam suatu Keputusan Kepala Daerah.
Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat.
Setiap generasi dalam suatu lingkungan masyarakat biasanya akan mewariskan beberapa kebiasaan/kelakuan secara turun temurun yang disebut dengan adat istiadat. Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnis dan suku, Indonesia dianugerahi oleh adat istiadat yang beraneka ragam. Adat istiadat itu sendiri pada intinya memiliki makna yang sangat mendalam, kaya akan sejarah serta merupakan cerminan norma, kelakuan, dan kepribadian dari masyarakat di suatu daerah tertentu.
Beberapa ahli/pakar hukum telah memberikan gambaran singkat mengenai syarat suatu adat istiadat ditetapkan menjadi hukum adat. Teer Haar berpendapat harus ada keputusan dari kepala adat setempat untuk menyatakan/menetapkan suatu adat menjadi hukum adat. Jika tidak ada, maka hal tersebut hanya dianggap sebagai tingkah laku/kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan Van Vollenhoven berpendapat harus ada ketentuan mengenai penjatuhan sanksi untuk menjadikan suatu adat sebagai hukum adat. Adapun Hukum adat itu sendiri memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan bidang hukum lainnya, yaitu pada umumnya tidak tertulis, tertuang dalam petuah-petuah yang isinya memuat tentang asas dan pelajaran kehidupan di masyarakat, memungkinkan kepala adat untuk campur tangan membantu penyelesaian suatu permasalahan/perselisihan, serta terkadang tidak terpisahkan dari norma agama.
Masyarakat yang telah terikat oleh sistem hukum adat kemudian melebur menjadi suatu unit/kesatuan yang dinamakan Masyarakat Hukum Adat. Dalam beberapa literatur Masyarakat Hukum Adat disebut juga dengan istilah Masyarakat Tradisional atau indegenous people. Secara garis besar pengertian/definisi dari Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan dan mendiami wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa/pemimpin tertinggi suatu negara, memiliki rasa solidaritas yang tinggi serta menggunakan wilayah adatnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggota Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat disimpulkan suatu Masyarakat Hukum Adat memiliki wilayah teritorial desa adat tersendiri.
Keputusan Kepala Daerah Sebagai Bentuk KTUN.
Keputusan Kepala Daerah dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), karena diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang berwenang, dalam hal ini adalah Kepala Daerah sebagai Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KTUN itu sendiri memiliki sifat atau ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pertama, bersifat Konkret dalam arti tidak abstrak, tetapi berwujud, jelas, dan dapat ditentukan. Kedua, bersifat Individual, dalam arti adalah tidak ditujukan untuk umum. Apabila yang dituju lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena Keputusan TUN tersebut harus disebutkan. Ketiga, bersifat final, dalam arti sudah definitif di mana Keputusan tersebut menimbulkan akibat hukum.
Selanjutnya Keputusan Kepala Daerah yang mencantumkan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dapat dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bersifat deklaratoir. Pengertian dari Deklaratoir di sini adalah ketetapan yang menyatakan suatu hubungan hukum atau dengan kata lain ketetapan tentang pemberian suatu status. Penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang pengakuan dan perlindungan terhadap suatu Masyarakat Hukum Adat sesungguhnya merupakan langkah penting untuk menjaga kearifan lokal dan kebudayaan.
Keputusan Kepala Daerah Sebagai Dasar Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Negara Indonesia pada prinsipnya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengamanatkan ketentuan mengenai penetapan pengakuan dan perlindungan Masyaakat Hukum Adat dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah (Bupati/Walikota atau Gubernur), setelah sebelumnya Kepala Daerah yang bersangkutan membentuk dan menerima rekomendasi dari Pantia Masyarakat Hukum Adat yang telah melakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Berikut adalah contoh Keputusan yang diterbitkan oleh Bupati selaku Kepala Daerah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Pertama, Keputusan Bupati Paser Nomor 413.3/KEP-924/2019 tertanggal 22 November 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Paring Sumpit Desa Muara Andeh di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Sebagaimana dilansir dari situs resmi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Timur, Masyarakat Hukum Adat Paring Sumpit merupakan penghuni mayoritas di Desa Muara Andeh. Senyatanya penduduk di Desa Muara Andeh mayoritas mengandalkan alam berupa hasil hutan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam Lampiran Keputusan Bupati Paser Nomor 413.3/KEP-924/2019 tertanggal 22 November 2019 terdapat peta wilayah adat yang menunjukkan Wilayah Masyarakat Hukum Adat Paring Sumpit seluas 14.832, 71 Ha. Selain itu, terdapat Lampiran yang mencantumkan Komposisi dan Personalia Pengurus Masyarakat Hukum Adat Paring Sumpit di Kabupaten Paser yang terdiri dari Kepala Adat (Kampung Tuo), Wakil Kepala Adat (Wakil Kampung Tuo), Sekretaris (Pengirak), Bendahara (Ngona), dan seluruh Anggota Masyarakat Hukum Adat Paring Sumpit.
Kedua, Keputusan Bupati Sigi Nomor 189-324 tertanggal 27 Februari 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat To Kulawi Moma di Ngata toro, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Suku Kulawi Moma merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakat suku To Kulawi Moma yang berdiam di Kecamatan Kulawi memiliki adat istiadat dan hukum adat yang merupakan warisan dari nenek moyang dan berlaku secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Dalam Lampiran Keputusan Bupati Sigi Nomor 189-324 tertanggal 27 Februari 2018 terdapat peta wilayah adat yang menunjukkan wilayah Masyarakat Hukum Adat To Kulawi Moma di Ngata Toro seluas 23.860 ha. Selain itu, terdapat Lampiran yang menjelaskan mengenai struktur lembaga adat To Kulawi Moma di Ngata Toro. Pada prinsipnya lembaga kepemimpinan tradisional pada Masyarakat Hukum Adat To Kulawi Moma dipegang oleh Totua Ngata. Totua Ngata adalah dewan para totua kampong yang menjalankan kepemimpinan/pemerintahan desa secara kolektif.
Beberapa urusan yang dijalankan adalah mulai dari urusan pertanian, urusan pembukaan lahan, urusan penyelenggaraan upacara adat dll. Keanggotaan dewan ini tidaklah melalui proses pemilihan atau penunjukkan melainkan terbentuk secara alami melalui proses pengakuan masyarakat. Hal yang unik dari Masyarakat Hukum Adat To Kulawi Moma adalah adanya kewajiban untuk mengikutsertakan tokoh perempuan pada setiap forum pengambilan keputusan. Kehadiran tokoh perempuan merupakan perwujudan dari pandangan budaya Masyarakat Hukum Adat To Kulawi Moma yang menempatkan perempuan dalam kedudukan tinggi.
Referensi
- Aprilianti dan Kasmawati, Hukum Adat di Indonesia, Pusaka Media, Bandar Lampung, 2020.
- Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, Unimal Press, Lhoksumawe, 2016.
- Erwin Oman Hermansyah (et.al), Buku Ajar Hukum Adat, Madza Media, Malang, 2021.
- Diana Halim Koentjoro dan Johanes Sardadi, Hukum Administrasi Negara Edisi Kedua, Penerbit Universitas Atma Jaya, Jakarta, 2012.
- Philipus M. Hadjon (et.al), Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2015.