Literasi Hukum – Artikel ini membahas kasus pencatutan karya cipta lagu “Karna Su Sayang” pada tahun 2018 yang disebabkan oleh pencipta yang tidak mendaftarkan karyanya. Penulis membahas peran negara dalam menangani kasus ini, perspektif hak atas kekayaan intelektual dan hukum internasional, serta cara penyelesaian sengketa melalui ranah hukum privat dan jalur World Intellectual Property Organization (WIPO) Mediation & Arbitration Centre.
Pada tahun 2018 terjadi kasus pencatutan karya cipta lagu “Karna su sayang” hal ini dilatabelakangi oleh pencipta tidak mendaftarkan karyanya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, sehingga pelaku yang berkewarganegaraan Malaysia mendaftarkan karya tersebut dan sekarang menjadi miliknya. Sifat yang dimiliki hak cipta adalah first to declare artinya siapa yang pertama mengumumkan negara wajib melindungi.
Peran Negara Terhadap Kasus Pencatutan Karya Cipta Lagu “Karna Su Sayang”
Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta salah satunya di mana diatur pada Pasal 43 huruf d Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut. Jadi, apabila perbuatan tersebut dilakukan bersifat komersial, apalagi penciptanya keberatan jelas hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hak cipta.
Adanya alasan fair use atau penggunaan yang wajar yang digunakannya pada kasus ini tidak tepat, hal ini dikarenakan fair use baru dapat diterapkan apabila tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Cara penyelesaian sengketa dalam kasus seperti ini adalah melalui ranah hukum privat sehingga peran negara di sini adalah sebagai pembuat peraturan yang melindungi hak para pencipta karena hal ini menyangkut perlindungan hak yang sifatnya pribadi. Dengan demikian, seorang pencipta diharapkan memiliki kesadaran untuk mencatatkan hak ciptanya apabila telah memasuki ranah komersial yang rentan dengan perselisihan atau sengketa. Selain itu, kuasa hukum dapat membantu menuliskan surat yang menginformasikan adanya kemungkinan timbul sebuah konflik biasa disebut dengan istilah “cease dan desist letter” kepada para pelanggar hak cipta atas lagu tersebut.
Penyelesaian Sengketa dalam Perspektif Hak atas Kekayaan Intelektual dan Hukum Internasional
Dalam perspektif Hak atas Kekayaan Intelektual, jika terjadi pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh orang yang berasal dari negara lain, maka gugatan pelanggaran harus dibawa ke pengadilan negara orang yang melakukan pelanggaran tersebut dan akan dituntut berdasarkan ketentuan hukum hak cipta yurisdiksi negara tersebut, bukan berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta Indonesia. Hukum hak cipta memiliki sifat teritorial dan berlaku dalam ranah wilayah nasional.
Secara spesifik, apabila pelanggaran dilakukan secara online seperti yang terjadi pada kasus lagu Su Sayang tersebut, pencipta atau pemegang hak cipta dapat mengirim pemberitahuan kepada platform penyedia jasa itu sendiri, misalnya dalam hal ini ‘TuneCore’ terkait materi yang diklaim sebagai pelanggaran atau menjadi subyek aktivitas pelanggaran yang diposting secara online menggunakan layanan ‘TuneCore’ dengan mengisi DMCA Notification of Claimed Infringement untuk selanjutnya dikirimkan ke Agen Hak Cipta ‘TuneCore’ yang ditunjuk. Setelah menerima pemberitahuan yang valid, ‘TuneCore’ akan segera menanggapi dengan cara memfasilitasi pemecahan dari permasalahan tersebut, yaitu menghapus atau menonaktifkan akses ke materi yang diklaim sebagai pelanggaran atau menjadi subjek aktivitas pelanggaran.
Karena kasus ini juga menyangkut lintas negara, maka dapat diselesaikan dengan hukum internasional. Dalam perspektif Hukum Internasional, sebaiknya Indonesia menggunakan prosedur penyelesaian sengketa melalui jalur World Intellectual Property Organization (WIPO) Mediation & Arbitration Centre karena di WIPO terdapat asas-asas untuk melindungi Traditional Knowledge dan Traditional Cultural Expression.
Cara yang efektif untuk menangani pelanggaran ini adalah melalui arbitrase atau mediasi. Manfaat dari arbitrase dan mediasi adalah pihak-pihak yang terkait tetap dapat melakukan pengawasan terhadap proses penyelesaian persengketaan. Karena hal seperti itu dapat membantu memelihara hubungan bisnis yang baik dengan perusahaan lainnya yang mungkin satu perusahaan akan melanjutkan kolaborasi atau akan menyepakati sebuah persetujuan/ perjanjian lisensi di masa yang akan datang. Hal tersebut merupakan praktek yang baik untuk memasukkan mediasi dan atau klausul arbitrase dalam persetujuan lisensi.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.