Literasi Hukum – Artikel ini membahas sistem peradilan pidana di Indonesia, menyoroti ketidakefisienan dan masalah yang ada, termasuk korupsi dan biaya mahal. Dengan fokus pada dua pendekatan reformasi, plea bargaining dan jalur khusus seperti yang diusulkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), artikel ini menjelajahi perbedaan kedua sistem tersebut dan bagaimana mereka berpotensi mempercepat proses peradilan sambil menyesuaikan dengan dinamika hukum lokal. Diskusi ini penting dalam konteks pencarian solusi yang lebih adil dan efisien untuk sistem peradilan pidana di Indonesia.
Hiruk Pikuk Sistem Peradilan
Problema terkait sistem peradilan di Indonesia dapat dikatakan tidak ada ujungnya. Terlebih pada lingkup pidana lebih membutuhkan proses dan waktu lebih lama, misalnya adanya upaya paksa, pra-peradilan, banding, dan kasasi. Mirisnya, hal tersebut sering disepelekan padahal sistem peradilan harusnya mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan perkara sesuai dengan amanat Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Tak hanya itu, Peneliti dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Chairul Huda, menyatakan terdapat beberapa permasalahan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu penumpukan perkara (overloaded), memakan waktu (waste of time), biaya yang mahal (expensive), praktek korupsi (judicial corruption), kurang mampu mengakomodasikan rasa keadilan masyarakat (unresponsive), terlalu kaku, formal, dan teknis (non-flexible, formalistic, dan technically).
Dengan berbagai poin problematika terkait dengan proses peradilan, maka diharapkan hadirnya suatu upaya penanganan yang represif terhadap hal ini, salah satu upaya tersebut adalah pemberlakuan plea bargaining, yaitu suatu upaya hukum yang dilakukan dengan mengurangi dakwaan sekaligus memaafkan terdakwa, ketika mau mengakui kesalahannya. Tentu hal ini mendapat respons pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada yang berpandangan bahwa sistem ini penting untuk mempercepat proses peradilan sekaligus mengakomodir dinamika hukum di masyarakat.
Nyatanya, hal ini telah tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), akan tetapi terdapat perbedaan definisi, substansi, dan prosedur dari plea bargaining yang diberlakukan di negara lain dengan jalur khusus dalam RKUHAP nasional tersebut. Lantas, jika kita menilik keduanya manakah yang lebih pas diberlakukan di Indonesia?
Konsep Itu Dinamakan “Jalur Khusus”.
Pada Pasal 199 RKUHAP terdapat aturan yang membahas tentang jalur khusus yang diadopsi dari konsep plea bargaining. Berbeda dengan plea bargaining yang berlaku pada negara Common Law, jalur khusus tidak menerapkan metode negosiasi atau tawar-menawar (bargaining) antara jaksa dengan terdakwa namun hanya tergantung dari pengakuan sukarela terdakwa saat persidangan saja. Maka dari itu, acapkali konsep plea bargaining dalam RKUHAP disebut plea with no bargain.
Jalur khusus dalam RKUHAP sejatinya menjelaskan bahwa terdakwa dapat mengakui kesalahannya di depan pengadilan pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan. Pengakuan kesalahan oleh terdakwa secara sukarela kemudian akan dinilai dan dipertimbangkan oleh hakim terlebih dahulu. Setelah hakim mengizinkan, barulah penuntut umum dapat melimpahkan perkara dari sidang acara pemeriksaan biasa ke pemeriksaan singkat dengan syarat didakwakan tidak lebih dari 7 tahun penjara.
Plea Bargaining dan Plea With No Bargain
Jalur khusus atau disebut juga plea with no bargain yang diakomodir dalam RKUHAP memiliki perbedaan yang signifikan dengan plea bargaining di negara lain, seperti Amerika Serikat yang melakukan bargain sebelum perkara sampai di persidangan oleh penuntut umum dan terdakwa. Supreme Court Amerika Serikat menyatakan pemberlakuan plea bargaining merupakan elemen yang diinginkan dalam sistem peradilan pidana sebab telah terbukti mampu mengatasi banyaknya perkara yang masuk serta memangkas waktu dan biaya pada proses penyelesaian perkara.
Untuk itu, pengadopsian sistem ini dalam RKUHAP diyakini dapat mewujudkan proses peradilan yang efektif. Sayangnya, prosedur sistem yang diadopsi begitu berbeda. Jalur khusus RKUHAP dilakukan di saat persidangan berlangsung, yaitu setelah pembacaan dakwaan. Jalur khusus lebih berfokus pada pengakuan terdakwa di depan meja hijau yang dinilai langsung oleh hakim. Jadi, tidak ada proses negosiasi antara penuntut umum dan terdakwa selayaknya plea bargaining pada umumnya..
Rancangan yang Kurang Rinci
Konsep jalur khusus yang dihadirkan dalam RKUHAP terbilang masih kabur. Demi asas keadilan dan kepastian hukum, kita memerlukan adanya regulasi khusus yang membahas hal ini secara mendalam agar penegak hukum dapat memahami tupoksi kerja dan prosedurnya serta terdakwa dan korban mendapat kejelasan terhadap haknya.
Substansi dari aturan khusus tersebut dapat memuat: (1). batas waktu pelaksanaan jalur khusus yang dimaksud, apakah dilakukan saat pembacaan surat dakwaan saja atau dapat dilakukan di semua tahap persidangan sebelum putusan mengingat konsep ini berfokus pada pengakuan terdakwa. (2). rincian syarat dari seorang terdakwa dapat melakukan jalur khusus tersebut begitupun sebaliknya. (3). syarat penghapusan dan pengurangan pidana oleh hakim. (4) minimal dan maksimal pengurangan pidana yang didapatkan terdakwa dan hal lainnya yang sekiranya perlu diatur.
Dampak Pemberlakuan Jalur Khusus
Jika diberlakukan sesuai rancangan, yaitu jalur khusus dilakukan saat pembacaan dakwaan oleh penuntut umum. Alhasil, pemberlakuannya dapat mengurangi beban perkara di pengadilan, seperti tidak ada banding dan kasasi sebab terdakwa sudah dikurangi pidananya. Tentunya untuk menangani perkara tersebut tidak lagi membutuhkan berbulan-bulan lamanya dan biaya yang banyak.
Lebih lanjut, tidak dapat dipungkiri hak terdakwa untuk diadili secara detail oleh hakim akan terminimalisir. Khawatirnya hal ini menimbulkan kecemburuan oleh pihak korban yang merasa dikesampingkan dan merasa tidak adil. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi tambahan terkait syarat terdakwa yang dapat melakukan jalur khusus agar keadilan dapat terpenuhi.
Dampak lainnya yang dimungkinkan timbul ketika jalur khusus dalam RKUHAP ini dijalankan, yaitu adanya main gelap antara terdakwa dan hakim di persidangan yang menyetujui dilakukan jalur khusus sehingga terdakwa mendapat keringanan pidana. Hal ini membuka ladang korupsi versi baru di lingkup peradilan. Menjadikan konsep baru ini selain untuk pembaruan peradilan juga pencemar marwah pengadilan.
Agar berbagai kekhawatiran terhadap jalur khusus ini tidak terealisasikan, maka diperlukan adanya regulasi khusus terkait hal ini, agar jelas dan rinci bagaimana pastinya proses jalur khusus yang dimaksud oleh perumus aturan serta perlu diperhatikan dan diperkuat dari sisi pengawasan. Pada akhirnya, sistem manapun yang dipilih dalam rangka pembaharuan KUHAP nasional sejatinya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan haruslah menjadi patokan utama dalam proses pemberlakuannya.