PidanaMateri Hukum

Mengenal Apa itu Due Process Model dan Crime Control Model dalam Hukum Acara Pidana

Suryanto Suryanto
194
×

Mengenal Apa itu Due Process Model dan Crime Control Model dalam Hukum Acara Pidana

Sebarkan artikel ini
Mengenal Apa itu Due Process Model dan Crime Control Model dalam Hukum Acara Pidana
Mengenal Apa itu Due Process Model dan Crime Control Model dalam Hukum Acara Pidana

Literasi Hukum – Penulis dalam menulis artikel ini dilatarbelakangi oleh artikel yang baru-baru ini dipublikasikan di platform Hukum Online yang berjudul “KUHAP, Due Process atau Crime Control?” yang ditulis oleh Hamalatul Qurani dan juga sedang ramai nya pembahasan kasus Pegi Setiawan yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan Vina Cirebon, tetapi pada akhirnya putusan praperadilan nomor 10/Pid.Pra/2024/ Pengadilan Negeri Bandung ternyata menyatakan proses penetapan tersangka Pegi Setiawan oleh Polda Jawa Barat tidak sah sehingga status tersangka Pegi Setiawan dinyatakan gugur. Namun, pada tulisan ini akan dijelaskan lebih sederhana mengenai apa itu Due Process Model dan Crime Control Model dalam hukum acara pidana.

Pengertian Due Process Model dan Crime Control Model

Konsep due process model dan crime control model merupakan dua konsep yang dicetuskan oleh Herbert L. Packer, seorang kriminolog dan profesor hukum asal Amerika Serikat yang terkenal dengan bukunya yang berjudul The Limits of The Crminal Sanction. Secara sederhana crime control model menekankan pada efisiensi, kecepatan, dan lekat kaitannya dengan asas presumption of guilt atau asas praduga bersalah dalam proses peradilan pidana , sehingga segala perbuatan kriminal harus secepat mungkin ditindak. Prof, Eddy Hiariej dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian mengibaratkan hal tersebut layaknya sebuah bola yang sedang bergelinding dan tanpa penghalang.[1]

Sementara itu, due process model memiliki karakteristik yang bertolak belakang dengan crime control model karena pada due process model menolak untuk mengedepankan efisiensi dan lebih mengutamakan kualitas proses serta erat dengan asas presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah sehingga peran dari penasehat hukum sangat vital untuk dapat menghindari dan mengawasi penjatuhan hukum atau proses hukum yang tidak sesuai dengan aturan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindakan kriminal. Model tersebut diibaratkan layaknya seseorang yang sedang melakukan lari gawang.[2]

Dalam konteks hukum pembuktian, due process model berkaitan erat dengan masalah bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti sampai ke pengadilan. Dengan demikian, analogi Prof. Eddy yang menganalogikan due process model seperti halnya seseorang yang sedang melakukan lari gawang, gawang yang dimaskud di sini ialah serangkaian syarat/prosedur yang harus dipenuhi dan diikuti dalam mendapatkan/mengumpulkan bukti-bukti yang akan digunakan di persidangan nantinya.

Due Process of Law dan Sejarah Lahirnya Miranda Rules

Di negara yang menjujung tinggi due process of law, sangat mengutamakan perlindungan terhadap setiap individu dari tindakan sewenang-wenang aparat, misalnya di Amerika Serikat seorang tersangka yang ketika ditangkap tidak disebutkan hak-haknya oleh penyidik dapat mengakibatkan gugurnya status tersangka yang mana hal tersebut dikenal dengan istilah Miranda Rules atau The Four Miranda Warnings yang berbunyi:

“You have the right to remain silent. Anything you say can be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provide for you at government expense”

Lahirnya Miranda Rule yang saat ini digunakan sebagai upaya untuk menjamin hak-hak seseorang yang diduga melakukan tindak pidana agar tidak mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari aparat berawal dari peristiwa yang terjadi pada tahun 1963 di Arizona, Amerika Serikat.

Saat itu seorang pemuda bernama Ernesto Miranda ditangkap polisi atas tuduhan penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 tahun, atas penangkapan tersebut, Ernesto Miranda pun dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi yang berlangsung selama dua jam.

Setelah itu, Ernesto menandatangani surat pengakuan yang menyatakan bahwa ia melakukan penculikan dan pemerkosaan terhadap perempuan yang dimaksud, tetapi sebelum menandatangani surat itu ternyata Ernesto tidak diberikan hak untuk diam dan hak mendapatkan pengacara untuk mendampinginya selama pemeriksaan oleh penyidik. Kemudian, surat pengakuan tersebut pun dihadirkan di persidangan dan digunakan sebagai salah satu alat bukti, atas dasar hal tersebut Ernesto dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.

Namun, Ernesto Miranda mengajukan keberatan atas vonis tersebut ke Supreme Court Amerika dengan mempertimbangkan tiga kasus lain yang serupa dan keberatan yang diajukan tersebut pun dikabulkan oleh Supreme Court dengan dasar pengakuan tertulis yang dibuat oleh Miranda tidak sah karena sebelumnya Ernesto Miranda tidak diberikan hak-hak nya sebagai tersangka.

Meskipun demikian, hal itu tidak serta merta membebaskan Miranda, hanya menangguhkan hukumannya saja. Berdasarkan putusan Supreme Court Amerika Serikat tahun 1966 itu lah yang menyatakan bahwa pengakuan Miranda tidak sah, maka sejak saat itu pula hak-hak tersangka mulai diperhatikan secara serius dan peristiwa itu lah awal mula munculnya istilah Miranda Rules.

Indonesia Menganut Due Process atau Crime Control?

Kembali kepada pembahasan di awal mengenai due process model dan crime control model, timbul pertanyaan yang diterapkan di Indonesia model yang mana? Apakah due process atau crime control? Jika menggunakan analogi lari gawang yang digunakan oleh Prof. Eddy, maka sejatinya hukum acara pidana di Indonesia merupakan due process model karena di dalam KUHAP kita ketahui bersama bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum haruslah sesuai dengan syarat dan prosedur yang telah ditetapkan. Misalnya saja mengenai penangkapan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 20 KUHAP yang dimaksud penangkapan adalah:

 “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Sementara syarat penangkapan dapat dilihat pada pasal 17 KUHAP yang menyatakan:

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan penangkapan haruslah memenuhi adanya unsur seseorang yang diduga keras mlakukan tindak pidana dan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Terkait unsur yang kedua, Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 menjelaskan bahwa maksud frasa “bukti permulaan yang cukup” harus ditafsirkan setidak-tidaknya dua alat bukti sebagaimana yang termaktubkan dalam pasal 184 KUHAP.

Kemudian pada pasal 18 ayat (1) KUHAP djelaskan bahwa penangkapan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut, yaitu:

  1. Dilakukan oleh petugas Polisi Negara Republik Indonesia
  2. Menunjukan surat tugas
  3. Memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan
  4. Menjelaskan uraian singkat atas tindak pidana yang disangkakan serta tempat ia diperiksa

Semua syarat dan prosedur di atas bersifat kumulatif, artinya untuk melakukan penangkapan haruslah dipenuhi syarat-syarat di atas. Hal itu menunjukan bahwa sejatinya sistem peradilan pidana kita menganut due process model karena yang diutamakan bukan hanya efisiensi dalam penindakan, tetapi kualitas atas tindakan yang dilakukan tersebut. Apalagi dalam hukum acara pidana kita diakui pula mekanisme praperadilan yang diatur dalam pasal 77 KUHAP, yang mana esensi dari praperadilan ialah untuk menguji apakah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan/atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum telah sesuai dengan syarat dan prosedur yang berlaku atau belum.

Akan tetapi, dengan adanya putusan praperadilan nomor 10/Pid.Pra/2024/ PN Bandung yang menyatakan proses penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan yang dilakukan oleh Polda Jabar tampaknya membuat kita berpikir ulang apakah memang benar hukum acara pidana kita menganut due process model atau justru crime control model. Mungkin pertanyaan tersebut sedikit banyaknya dapat terjawab melalui pendapat Maqdir Ismail, seorang advokat senior dalam sebuah seminar publik yang menyatakan bahwa “hukum acara kita ini walau dalam KUHAP due process, tapi praktiknya lebih banyak crime control”.[1]

[1] Hamalatul Qurani, KUHAP, Due Process atau Crime Control?, Hukum Online, Juli 8, 2024, https://www.hukumonline.com/stories/article/lt668a102b33474/kuhap–due-process-atau-crime-control/

[1] Eddy Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm. 30

[2] Ibid. hlm. 31

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.