Literasi Hukum – Gamma merupakan pelajar SMK asal Semarang yang tewas ditembak polisi. Pelakunya bernama Robig dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) yang bertugas di Polrestabes Semarang. Menurut kronologi yang terekam oleh CCTV di sekitaran tempat kejadian perkara, Robig melakukan penghadangan terlebih dahulu kepada Gamma beserta kawan-kawannya sebelum melakukan penembakan. Kejadian polisi menjagal warga sipil tak bersenjata ini bukan sekali saja terjadi hingga memunculkan gelombang protes tiada henti terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Di Semarang, gelombang protes terkait kematian Gamma terus bergema, terakhir kamis kemarin (19/12), massa yang terhimpun di gerakan Aksi Kamisan Semarang melakukan demonstrasi damai di depan Kapolda Jawa Tengah untuk menuntut keadilan bagi Gamma dan penghukuman yang setimpal bagi Robig. Selain itu, mereka juga menuntut adanya pemecatan terhadap Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar yang telah melakukan tindakan obstruction of justice (penghalangan penyelidikan) dengan melakukan konstruksi palsu terhadap kematian Gamma.
Beda Keterangan Antara Polrestabes Semarang dan Propam Polda Jawa Tengah
Beberapa hari pasca kematian Gamma, Polrestabes Semarang melakukan konferensi pers terkait dengan kronologi penembakan yang dilakukan oleh Aipda Robig. Merujuk pada hasil konpers tersebut, Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar menjelaskan bahwa Gamma merupakan bagian dari gangster yang akan melakukan tawuran. Kedatangan Robig adalah untuk melakukan pembubaran terhadap kegiatan tawuran tersebut. Ditunjukkan juga beberapa barang bukti seperti celurit dan beberapa senjata tajam yang katanya ditemukan di sekitaran lokasi penembakan. Sontak konferensi pers tersebut menambah runyam kematian Gamma, bahkan menurut keterangan satpam yang sedang berjaga bahwa di lokasi penembakan tersebut tidak ada tawuran. Dengan begitu publik mulai menaruh curiga bahwa keterangan yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang merupakan usaha menutupi fakta yang sebenarnya terjadi.
Keterangan berbeda justru berasal dari Kabid Propam Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Aris Supriyono yang mengatakan bahwa kematian Gamma tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan tawuran antara gangster seperti yang dituduhkan Polrestabes Semarang. Malahan, kematian Gamma ditengarai hanya gara-gara senggolan motor antara Gamma dan Robig. Bahkan, saat sedang berlangsungnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kapolrestabes Semarang, Kabid Propam dan Komisis III DPR RI, terungkap bahwa adanya perbedaan mencolok dalam proses konstruksi perkara yang justru menimbulkan pertanyaan terkait dengan kebenarannya.
Dalam RDP tersebut, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman juga mengatakan bahwa sesaat setelah adanya pemberitaan terkait dengan penembakan Gamma, Kapolrestabes yang waktu itu dihubungi langsung tidak menjawab telepon atau pertanyaan yang diajukan terkait dengan kebenaran kasus tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kapolrestabes Semarang melakukan tindakan obstruction of justice dan berusaha melindungi pelaku dari jeratan hukum.
Mencari Keberadaan Kementerian HAM Dalam Penyelesaian Kasus Gamma
Keputusan Prabowo untuk melakukan pembentukan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) dinilai banyak pihak sebagai langkah konkrit dan responsif terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Penunjukkan Natalius Pigai sebagai Menteri yang mempunyai track record pernah menjabat sebagai komisioner Komnas HAM jelas mempunyai nilai plus terkait dengan dasar pengetahuan dan bagaimana cara penyelesaian pelanggaran HAM.
Namun, harapan tersebut nampaknya sia-saia, diawal menjabat saja Natalius Pigai sudah menimbulkan kontroversi dengan menyodorkan kenaikan anggaran kerja hingga 20 triliun dengan dalih akan membentuk kampus HAM dan penyuluh HAM di seluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, kinerjanya dalam melakukan pengusutan terkait kasus kematian Gamma sangat nihil. Bahkan dirinya hanya berstatement sekali terkait kasus tersebut dengan mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan petugas untuk mengecek ke lapangan.
Setelahnya Natalius Pigai dan Kementerian HAM hilang bak ditelan bumi. Baik rilis maupun keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian HAM hingga kini tidak ada padahal kematian Gamma hingga sekarang masih menggantung. Tawaran rekomendasi terkait dengan proses pengusutan perkara juga tidak ada. Lantas masih perlukan adanya Kementerian HAM?.
Bubarkan Kementerian HAM
Tidak responsifnya Kementerian HAM dalam melakukan pengawalan kasus pelanggaran HAM di Indonesia memunculkan pertanyaan terkait dengan tujuan pembentukannya. Berbagai pelanggaran HAM yang melibatkan kekerasan aparat di dalamnya tak kunjung mendapat respon. Bahkan keterlibatan Kementerian HAM dalam kasus kematian Gamma juga dipertanyakan. Baik dalam proses pengawasan dan pemberian rekomendasi tidak pernah dikeluarkan oleh Kementerian HAM. Padahal kematian Gamma merupakan salah satu pelanggaran HAM yang harusnya ada andil Kementerian HAM dalam pengusutannya. Natalius Pigai sebagai Menteri-pun seolah bungkam terhadap kasus tersebut, padahal saat proses seremonial perayaan hari HAM sedunia, Kementerian HAM menggelar kegiatan yang terbilang besar. Sedangkan disisi lain, fungsi Kementerian HAM sebagai corong penyelesaian pelanggaran HAM tidak berjalan alias malfunction.
Dana yang harusnya bisa digunakan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM justru digunakan untuk membuat serangaian perayaan yang minim esensi. Alih-alih membuat program kerja yang langsung memiliki dampak terhadap upaya penyelesaian HAM, Kementerian HAM justru berlomba membuat kegiatan seremonial yang tidak memiliki nilai.
Lantas muncul pertayaan besar, masih bergunakah Kementerian HAM di Kabinet Merah Putih pimpinan Prabowo?. Kalau saja dalam kinerjanya tidak optimal dan jauh dari nilai lantas apakah tujuan dari pembentukan Kementerian HAM itu sendiri?. Jika memang dalam keberjalanannya Kementerian HAM hanya menjadi beban anggaran negara pilihan paling bijaknya adalah bubarkan saja, sebab proses penyelesaian pelanggaran HAM tak kunjung dilakukan oleh Kementerian HAM.