Hukum BisnisPerdata

Perjanjian Baku di Indonesia

Adam Ilyas
1344
×

Perjanjian Baku di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Perjanjian Baku
(Sumber: Unsplash/Kelly Sikkema)

Artikel ini membahas mengenai perjanjian baku dan klausula baku. Perjanjian baku adalah dokumen tertulis yang dibakukan oleh salah satu pihak dan digunakan secara massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi para pihak. Pihak yang membuat perjanjian baku memiliki daya tawar lebih kuat daripada pihak yang ditawari. Perjanjian baku biasanya mengandung klausula baku, yang merupakan tawaran “take it or leave it” dari pelaku usaha kepada para calon konsumen. Konsumen dapat menolak atau menerima perjanjian baku tersebut. Artikel ini juga membahas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian baku, serta masalah dan solusi dalam penggunaannya di Indonesia.

Pengertian Perjanjian Baku dan Klausula Baku

Perjanjian baku merupakan perjanjian tertulis berupa dokumen yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah dibakukan secara sepihak oleh salah satu pihak, kemudian digandakan, dan digunakan secara massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki para pihak. Pembuat perjanjian baku adalah pihak yang daya tawarnya lebih kuat daripada pihak yang dia tawari perjanjian baku itu. Para pihak yang potensial ditawari perjanjian baku itu umumnya disebut “konsumen”. 

Perjanjian baku pada umumnya memuat klausula baku sebagaimana Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang mana pada pokoknya UUPK mengisyaratkan bahwa perjanjian baku memang merupakan tawaran yang bersifat “take it or leave it” dari pelaku usaha kepada para calon konsumen.

Kedudukan para pihak dalam perjanjian baku tidaklah seimbang karena pelaku usaha sebagai pihak yang ekonominya kuat sedangkan konsumen berada pada pihak yang ekonominya lemah. Pelaku usaha yang membuat aturan-aturan yang terdapat dalam perjanjian baku, dimana aturan tersebut kadangkala bersifat berat sebelah. 

Dalam perkembangannya yang mutakhir, perjanjian baku yang berisi klausula baku dapat berbentuk: tertulis pada kertas (paper based), dan tertulis secara digital (digital based/paperless) dalam bentuk dokumen yang telah dibuat secara digital secara sepihak oleh salah satu pihak, dan siap digunakan oleh pihak lain yang akan membuat perjanjian dalam jaringan. 

Sejatinya dalam perjanjian baku, konsumen dapat menolak atau menerima dan menandatangani atau tidak menandatangani. Artinya, jika konsumen menandatangani perjanjian tersebut maka secara tidak langsung ia terikat dengan pelaku usaha dan hak dan kewajiban antara para pelaku usaha dengan konsumen muncul. 

Perjanjian baku dalam bentuk digital merupakan perjanjian baku yang dibuat melalui sarana elektronik yang digunakan di dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Adapun ciri dari perjanjian baku digital sebagai berikut: Tanpa kertas (paperless), tanpa tatap muka (faceless), tanpa uang kartal (uang kertas dan logam), menggunakan tandatangan digital (digital signatures), melampaui batas wilayah negara (borderless), dan meliputi banyak yurisdiksi. Sebagai akibat perjanjian baku ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, potensi kerugian konsumen yang membuat perjanjian baku dapat dimitigasi menjadi klausula baku yang berisi klausula eksonerasi, pelanggaran prinsip keseketikaan, dan penyalahgunaan keadaan.

Pada saat ini terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung tentang perjanjian baku, yaitu sebagai berikut:

  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
  • UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
  • PP No. 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE) 
  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan serta Peraturan Bank Indonesia No. 16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran

Permasalahan dan Solusi dalam Penggunaan Perjanjian Baku

Pada saat ini penggunaan perjanjian baku di Indonesia telah meluas mulai dari perjanjian baku yang sederhana, yaitu seperti halnya bon atau nota pembelian yang mencantumkan klausula baku ‘barang yang sudah dibeli tidak boleh ditukar atau dikembalikan’ sampai dengan perjanjian baku asuransi kesehatan yang sangat rumit dan menggunakan istilah atau frasa yang tidak mudah dipahami oleh tertanggung sebagai konsumen. Kasus yang paling sering terjadi adalah kenaikan biaya yang harus ditanggung nasabah bank. Konsumen tak dapat berkutik karena dalam perjanjian yang sudah dibuat, misalnya untuk kredit perumahan ada klausula yang menyebutkan konsumen harus membayar ‘kenaikan biaya yang terjadi di kemudian hari’. 

Beban pembuktian unsur kesalahan dialihkan dari konsumen sebagai penggugat kepada pelaku usaha sebagai tergugat. Dalam hal ini, pelaku usaha harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1865 KUHPer dimana penggugat (konsumen) yang mendalilkan kesalahan tergugat (pelaku usaha) memiliki beban untuk membuktikan kesalahan tergugat.

Dalam hal konsumen jasa menggugat penyedia jasa berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka UUPK yang tidak membedakan antara barang dan jasa karena ketergesaan pada waktu penyusunan, gugatan juga didasarkan pada strict liability. Kesimpangsiuran dan ketidakadaan pengaturan secara tersurat tentang perjanjian baku di bidang jasa jelas menimbulkan kelemahan pengaturan tentang perjanjian baku bidang jasa dalam UUPK.

Terdapat klausula baku yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUPK karena memuat klausula eksonerasi dan klausula baku yang tidak termasuk dalam larangan Pasal 18 ayat (1) UUPK tetapi merupakan klausula baku yang memuat klausula eksonerasi. Penggunaan klausula baku ditemukan pada banyak bidang usaha baik barang dan/atau jasa, antara lain layanan telepon/internet; kredit perbankan; asuransi; layanan transportasi; layanan parkir; pembiayaan; ekspedisi/logistik; perumahan; akomodasi; layanan kesehatan; dan sebagainya.

Masalah dalam perjanjian digital/ elektronik di Indonesia, yaitu terdiri dari 4 (empat) terkait keabsahan kontrak elektronik berupa kesepakatan dan tanda tangan elektronik, penyelesaian sengketa kontrak elektronik berupa mekanisme dan pembuktian, tantangan perlindungan konsumen kontrak elektronik, serta antisipasi pencegahan kecurangan kontrak elektronik. Mengingat perkiraan jumlah penggunaan perjanjian baku digital di masa depan, maka dalam perubahan UUPK harus dimuat pengaturan mengenai perjanjian baku digital yang memuat klausula baku digital. 

Pada saat ini terdapat peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan PMSE dan berbagai hal tentang perjanjian baku digital seperti tentang syarat keabsahan dan tanda tangan elektronik, yaitu: UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan PP No. 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). 

Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut, sangat diperlukan adanya perubahan dalam beberapa regulasi terkait penggunaan perjanjian baku, salah satunya UUPK. Hingga saat ini, penegakan UUPK ternyata masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang dimaksud adalah kekeliruan, kekurangan, dan kelemahan pengaturan di dalam UUPK sendiri, yakni dalam aspek:

  1. Gramatika Undang-undang;
  2. Sistematika Undang-Undang;
  3. Tanggungjawab Pelaku Usaha;
  4. Penyelesaian Sengketa Konsumen;
  5. Kelembagaan. 

Menurut UUPK, sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu: melalui pengadilan negeri, atau sering disebut melalui proses litigasi dan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau sering disebut melalui proses non litigasi. Namun, dengan adanya perkembangan semua aspek kehidupan manusia ke arah proses dalam jaringan daring atau online, maka sebagai solusi masa depan, proses penyelesaian sengketa konsumen (termasuk penyelesaian sengketa perjanjian baku) harus dilakukan secara daring atau online. Hal ini disebut sebagai online dispute resolution (ODR).

Penutup

Perjanjian baku, baik non digital maupun digital, berpotensi merugikan konsumen karena disiapkan, dibuat, dan digunakan secara sepihak oleh pelaku usaha. Hal ini mengakibatkan pelaku usaha dengan mudah mencantumkan klausula baku yang memuat klausula eksonerasi. Praktik penggunaan perjanjian baku berpotensi disalahgunakan oleh pelaku usaha, karena UUPK masih multitafsir, sistem pengawasannya tidak terstruktur, serta konsumen yang belum memahami tentang akibat hukum dari suatu perjanjian baku.

Pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap UUPK dengan mempertegas kriteria perjanjian baku yang berisi klausula baku yang memuat klausula eksonorasi. Dalam upaya melindungi hak konsumen menggunakan perjanjian baku, pemerintah harus melakukan sosialisasi yang intensif dan masif bagi pelaku usaha tentang klausula baku yang dilarang. Konsumen yang merasa haknya dilanggar wajib menyampaikan keluhan kepada pelaku usaha hingga mampu menuntut haknya, baik secara litigasi maupun non litigasi.

Referensi

  • Gunawan, Johannes, Bernadette M. Waluyo, Budiono Kusumohamidjojo, David Tobing, Megawati Simanjuntak, dan J. Widijantoro. Perjanjian Baku Masalah dan Solusi. Jakarta: Consumer Protection in ASEAN (Protect), 2021.
  • Malohing, Yanti. “Kedudukan Perjanjian Baku Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak.” Lex Privatum V, no. 4 (2017): 8.
  • Renathan, Aldo. “Tinjauan Yuridis terhadap Klausula Baku sebagai Suatu Perjanjian Dilihat dari Sisi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UUPK.” Universitas Indonesia, 2009, 90.
  • Satory, Agus. “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia.” PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 2, no. 2 (2015): 269–90. https://doi.org/10.22304/pjih.v2n2.a4.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

perjanjian baku yang mengandung klausul eksonerasi
Perdata

Pernahkah Anda Kehilangan Barang di Tempat Parkir? Pasti Anda pernah melihat kalimat “Segala bentuk kehilangan bukan merupakan tanggung jawab pengelola parkiran” di karcis parkir. Tapi, apakah kalimat itu sah? Bolehkah pengelola parkir mencantumkan kalimat seperti itu?