Literasi Hukum – Artikel ini membahas ekstensifikasi wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia dalam menangani perselisihan hasil pemilihan umum. Melalui analisis kasus Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, penulis menguraikan bagaimana MK memperluas interpretasinya terhadap konstitusi, mengesampingkan asas judicial restraint, dan mempertimbangkan aspek teleologis dalam putusannya. Artikel ini juga mengeksplorasi potensi aplikasi serupa dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan umum mendatang, serta implikasi yuridis dan politik dari pendekatan MK yang lebih progresif ini dalam konteks hukum nasional dan konstitusi.
Menyoal Problematika Mahkamah Konstitusi (MK)
Undang-Undang (UU) tentang MK, dengan perubahan terakhir oleh UU Nomor 7 Tahun 2020, merupakan UU yang menerima atribusi normatif dari Konstitusi. Posisinya sebagai penerima atribusi normatif yang bersumber dari naskah Konstitusi memberikannya privilese, di antaranya adalah wewenang menetapkan regulasi lebih lanjut mengenai materi Undang-Undang tertentu sebagai perpanjangan tangan Konstitusi. Regulasi yang diatur lebih lanjut di antaranya adalah persyaratan menjadi Hakim MK, pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, dan batas usia pensiun bagi Hakim MK.
Objek kajian normatif yang perlu mendapatkan sorotan adalah vakumnya regulasi lebih lanjut yang menyentuh ranah wewenang MK itu sendiri. Sepanjang hasil riset penulis sampai tulisan ini dikeluarkan, tidak ditemukannya regulasi dalam bentuk UU yang mengatur hal demikian. Empat wewenang dan satu kewajiban MK yang digariskan Konstitusi diturunkan apa adanya tanpa pergeseran dan ekstensifikasi (perluasan) ke dalam bentuk UU dan Perpu (Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang ditetapkan menjadi UU dengan UU Nomor 4 Tahun 2014). Realitas normatif ini menjadi menarik karena ditemukannya produk hukum di luar UU dan Perpu yang menyentuh ranah yang tidak disentuh oleh UU dan juga Perpu.
Produk hukum yang diakui hukum nasional, dan juga oleh negara-negara hukum lainnya, tidak hanya berdimensi law in abstract, berupa UU dan turunannya, tetapi juga berdimensi law in concrete, berupa putusan pengadilan atau yurisprudensi. Dalam khazanah yurisprudensi MK, ditemukan yurisprudensi yang menyentuh ranah tersebut, di antaranya adalah Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Putusan a quo dapat dikatakan sebagai putusan yang progresif-kontroversial karena melangkahi beberapa pagar yang dalam tradisi hukum wajib ditaati oleh MK.
Menilik Legal Reasoning Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
Pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menimbang bahwa perlu memasukkan Perpu ke dalam pengertian UU yang masuk ke dalam wewenang MK untuk dilakukan judicial review. Hal ini dilakukan sebagai tafsir terhadap Pasal Konstitusi yang mengatur hal tersebut. Pasal yang mengatur Perpu, Pasal 22 UUD 1945, secara eksplisit membedakan antara Perpu dan UU walaupun materi yang dikandung oleh keduanya sejatinya sama. Legal reasoning yang dibangun oleh MK sebagai landasan putusan a quo di antaranya adalah mempertimbangkan implikasi yang lahir dari Perpu tersebut.
Perpu akan melahirkan norma hukum baru yang berimplikasi pada lahirnya status hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum baru pula. Interval berlakunya norma hukum dalam Perpu yaitu sejak Perpu tersebut disahkan hingga penolakan atau penerimaan Perpu oleh DPR pada sidang berikutnya pasca Perpu tersebut dikeluarkan. Dengan demikian, MK berwenang menguji materi Perpu karena kekuatan mengikat dan materinya sama dengan UU.
Dalam legal reasoning putusan a quo, tergambar jelas bagaimana manuver MK dalam memandang dan menafsirkan relasi normatif antara pasal Konstitusi yang mengatur wewenang MK, Pasal 24C, dengan pasal yang mengatur ihwal Perpu, Pasal 22. MK melakukan penyimpangan interpretatif, yakni mengabaikan asas judicial restraint. Menurut Aharon Barak, asas ini merupakan asas yang menghendaki hakim untuk menafsirkan sebuah Undang-Undang dengan terlebih dahulu memperhatikan politik hukum pembentuknya.[1] Asas yang lahir dari paham konstitusionalisme ini berorientasi pada pembatasan terhadap MK agar tidak bertindak sebagai mini parliament, berlagak seolah menjadi lembaga yang berwenang membentuk norma hukum.[2]
Putusan a quo termasuk putusan yang dapat dilabeli “berani” karena melangkahi asas judicial restraint tersebut. Selain itu alur legal reasoning putusan a quo bercorak interpretasi teleologis, mengabaikan original intent dalam menafsirkan Pasal 22 dan 24C UUD 1945. Interpretasi teleologis merupakan interpretasi yang berorientasi pada tujuan (teleology) suatu regulasi yang ditetapkan. Penerapan metode interpretasi ini tetap memperhatikan kaidah-kaidah interpretasi, yaitu (1) makna verbal; (2) konstruksi gramatikal; (3) konteks perundang-undangan; dan (4) aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung dalam Undang-Undang yang hendak ditafsirkan.[3]
Gagasan Perselisihan Proses Pemilihan Umum
Sebagai lembaga pengadilan, dalam beberapa kasus MK sering kali menggunakan yurisprudensi sebagai konsideran suatu putusan. Hal ini terjadi, semisal, pada Putusan Nomor 01-021-022/PUU-I/2003, 002/PUU-I/2003, dan 058-059-060-063/PUU-II/2004. Pada putusan a quo, MK mengeluarkan ketetapan yang sama pada semua putusan sehingga dapat disebut dengan faste yurisprudensi atau putusan tetap.[4]
Penggunaan yurisprudensi sebagai konsideran suatu putusan dapat berupa penerapan putusan terdahulu sama persis dengan kasus yang sedang ditangani ataupun penerapan legal reasoning yang menjadi basis putusan tersebut. Penerapan legal reasoning yang sama dapat menjawab persoalan hukum yang memiliki corak yang sama. Hakim dapat menggunakan legal reasoning putusan terdahulu apabila Hakim menimbang bahwa legal reasoning tersebut dapat menjawab perkara yang sedang dihadapi.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, MK dapat saja menggunakan langkah serupa pada perkara PHPU 2024. Langkah serupa yang dimaksud adalah penggunaan interpretasi teleologis dalam penyelesaian perkara PHPU. Kompleksitas Perkara PHPU menuntut adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan yang jelas agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang mengatur ihwal Pemilu pada satu lembaga. UU Nomor 7 Tahun 2017, dengan perubahan terakhir oleh Perpu Nomor 1 Tahun 2022 yang ditetapkan menjadi UU dengan UU Nomor 7 Tahun 2023, telah merinci regulasi yang disertai pembagian dan pembatasan kekuasaan tersebut. Implikasi yuridisnya adalah kompleksitas perkara PHPU dapat terpetakan dengan jelas dan komprehensif.
Dalam nuansa kompleksitas perkara PHPU ini, salah satu lembaga yang mendapatkan sorotan selain MK adalah Bawaslu. Lembaga yang berwenang mengawasi jalannya proses Pemilu ini memiliki posisi sentral karena lembaga ini diberikan wewenang mencegah dan menindaklanjuti adanya pelanggaran TSM dalam pemilu. Dengan demikian ketika terjadi pelanggaran TSM pada pemilu, maka hanya Bawaslu yang berwenang. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 93-96.
Implikasi yuridisnya adalah MK tidak berwenang memasuki ranah tersebut agar tidak kewenangan lembaga negara tidak bercampur aduk. Hal yang miris adalah kecurangan TSM tersebut tidak dapat ditindak hukum di hadapan MK sehingga meninggalkan kesan seolah tidak terselesaikannya kecurangan tersebut secara menyeluruh. Hal itu karena sudah ada Bawaslu yang bertugas mengawasi dan menindaklanjuti kecurangan dalam dan selama proses pemilu. Lebih lanjut lagi, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan bahwa MK hanya memiliki posisi untuk memastikan Bawaslu telah melaksanakan tugasnya tersebut dan tidak berhak melangkah lebih jauh.
Hal ini sebenarnya dapat dicari jalan keluarnya dengan memberikan tafsir terlebih dahulu terhadap UUD dan UU yang mengatur wewenang tersebut. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas mengenai Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, MK terlebih dahulu memberikan interpretasi teleologis terhadap Konstitusi sebelum memutuskan perkara a quo. Pada perkara a quo, MK melakukan judicial review terhadap Perpu sedangkan Konstitusi tidak mengatribusikan wewenang tersebut kepada MK. Demi mengatasi hal tersebut, pada putusan a quo interpretasi teleologis digunakan oleh MK dan terjadi ekstensifikasi wewenang MK.
Interpretasi teleologi pada penyelesaian perkara PHPU 2024 ini adalah dengan memandang pasal Konstitusi yang memberikan wewenang kepada MK dari segi teleologis. MK dapat meninggalkan penggunaan interpretasi gramatikal dengan menyingkap apa tujuan pasal Konstitusi memberikan wewenang menangani PHPU tersebut. Secara gramatikal Pasal 24C ayat (1) “Mahkamah berwenang…memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” hanya memberikan wewenang kepada MK terkait penyelesaian hasil bukan proses. Namun, jika dilihat secara teleologis, Pasal a quo dapat dipandang sebagai perintah kepada MK untuk menyelesaikan apa perselisihan pemilu baik dalam bentuk hasil maupun proses. Hal ini termasuk logis karena tanpa proses yang diselesaikan terlebih dahulu maka tidak akan mengeluarkan hasil yang baik.
Melihat pemaparan di atas, adalah wajar dan dapat saja putusan a quo diikuti oleh MK dalam penyelesaian PHPU 2024 ini. Dengan mengikuti alur legal reasoning yang digunakan pada putusan a quo, MK dapat melakukan ekstensifikasi wewenang terlebih dahulu sehingga MK berwenang menyentuh perkara pemilu yang dihinggapi dengan hama pelanggaran TSM. Jika ini terjadi tentunya akan sangat mewarnai percaturan hukum dan konstitusi di negara tercinta ini
Terlepas dari semua itu, putusan yang dikeluarkan oleh MK wajib dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak. Selain itu tidak ada upaya hukum lagi yang dapat mengganggu gugat putusan MK karena putusan MK adalah putusan di tingkat pertama dan terakhir atau final. Hal ini mengindikasikan bahwa putusan MK bersifat final and binding. Suka atau tidak suka, putusan MK tersebut wajib dihormati dan dilaksanakan tanpa proses hukum yang dapat mengusiknya.
Daftar Pustaka
- Martitah. (2023). Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konstitusi Press.
- NNC. (2007, November 27). Tiga Kali Sama, Putusan MK Jadi Yurisprudensi Tetap? Retrieved from hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/
- Palguna, I. D. (2020). Mahkamah Konstitusi & Dinamika Politik Hukum di Indonesia. Depok: Rajawali Press.
- Talmadge, P. A. (1999). Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General Jurisdiction Court Systems. Seattle University Law Review, 711.
[1] Wicaksana Dramanda, “Menggagas Penerapan Judicial Restraint di Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi Vol. 11 No. 4, 2014, h. 620
[2] Phillip A. Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review No. 695, 1999, h. 711.
[3] I D.G Palguna, Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Politik Hukum di Indonesia (Depok: Rajawali Pers, 2020); cetakan ke-1, hlm. 104
[4] NNC (2007) “Tiga Kali Sama, Putusan MK Jadi Yurisprudensi Tetap?”; diakses pada 22 April 2024 dari https://www.hukumonline.com/