Literasi Hukum – Sebelum membahas lebih jauh mengenai teori-teori hak asasi manusia (HAM) alangkah baiknya kita terlebih dahulu memahami pengertian dari hak asasi manusia itu sendiri.
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sementara pengertian HAM menurut Prof. Muladi ialah hak yang melekat secara alamiah (inherent) pada diri manusia sejak manusia lahir dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh.
Setidaknya terdapat empat Teori Hak Asasi Manusia yang dikenal secara universal, yaitu:
- Teori hukum alam
- Teori positivisme
- Teori universalisme
- Teori relativisme budaya
Teori Hak Asasi Manusia: Teori Hukum Alam
Dasar pemikiran teori ini melihat bahwa setiap manusia dalam kehidupan ditentukan oleh tuhan, semua manusia apapun statusnya tunduk pada otoritas tuhan. Teori ini meyakini bahwa semua individu diberi karunia oleh alam hak-hak yang melekat pada dirinya dan karena itu tidak dapat dicabut oleh negara. [1]
Hak alamiah setiap individu tersebut tidaklah lahir dari pengakuan politis yang diberikan oleh negara, tetapi hak tersebut melekat pada harkat dan martabatnya karena mereka terlahir sebagai manusia. [2]
Dengan demikian, dalam teori ini melihat hak asasi manusia merupakan hak yang diberikan oleh tuhan dan telah ada sejak manusia dilahirkan karena statusnya sebagai manusia, hak asasi bukan ada karena pemberian dari negara. Tokoh yang menganut teori ini salah satunya ialah John Locke, menurutnya, setiap manusia dikaruniai hak yang melekat atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan (harta) yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara.
Teori Hak Asasi Manusia: Teori Positivisme
Berbanding terbalik dengan pemikiran teori hukum alam, teori positivisme menilai bahwa suatu hak harus berasal dari sumber yang jelas seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara, bukan justru berasal dari alam yang sifatnya abstrak.
HAM berdasarkan teori ini mendasarkan pada aturan-aturan tertulis mengenai HAM, sehingga tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada merupakan pelanggaran terhadap HAM. [3]
Keunggulan dari teori positivisme ini dibandingkan dengan teori-teori lainnya ialah bahwa setiap orang dapat membela dan memperjuangkan hak-hak nya dengan merujuk pada aturan-aturan yang berlaku.
Teori Hak Asasi Manusia: Teori Universalisme
Teori ini melihat bahwa HAM bersifat universal sehingga HAM sejatinya dimiliki oleh masing-masing individu terlepas dari nilai-nilai atau budaya yang dianut oleh suatu masyarakat atau yang berlaku di suatu negara.
Terdapat satu semboyan utama dari teori ini, yaitu all human rights for all yang berarti semua hak asasi manusia untuk semua. Artinya, teori ini melihat bahwa semua orang, apa pun suku, ras, etnis, dan di mana pun ia berada memiliki hak asasi yang sama. Kemudian, teori ini menghasilkan dua pandangan yang berbeda, yakni:
1. Universal Absolute
Pandangan ini melihat bahwa HAM bersifat universal bagi setiap individu dan mengabaikan latar belakang nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat atau suatu negara. Sehingga HAM dianggap sama bagi setiap orang yang ada di dunia ini dan tidak terkait pada nilai sosial budaya yang melekat.
2. Universal Relatif
Pada pandangan ini, HAM sebagai masalah universal dan melihat dokumen-dokumen internasional tentang HAM sebagai acuan yang penting, tetapi masih terdapat pengecualian yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional yang diakui. [4]
Teori Hak Asasi Manusia: Teori Relativisme Budaya
Pada prinsipnya teori ini melihat bahwa HAM harus diletakan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak yang bersifat universal.
Menurut penganut teori ini, seharusnya HAM tidak bersifat universal karena HAM haruslah dipahami dalam perspektif budaya suatu masyarakat atau negara. [5]
Kemudian, sama halnya dengan teori universalisme, teori ini pun terbagi menjadi dua pandangan, yaitu:
1. Partikularistik Absolute
Aliran ini melihat bahwa HAM merupakan urusan masing-masing bangsa serta menolak terhadap berlakunya dokumen dan instrumen-instrumen hukum internasional tentang HAM.
Dengan kata lain, aliran ini melihat bahwa HAM merupakan urusan setiap negara dan tidak berpaku pada aturan HAM internasional.
2. Partikularistik Relatif
Aliran ini melihat bahwa HAM bersifat universal dan merupakan persoalan internasional, tetapi di sisi lain juga harus menyelaraskan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di masing-masing negara.
Dengan begitu, sekali pun HAM bersifat universal, tetapi menurut aliran ini sifat universal tersebut haruslah menyesuaikan pula dengan keadaan pada masing-masing masyarakat dan negara yang berkaitan.
Teori HAM yang di Anut Indonesia
Setelah memahami berbagai teori HAM yang ada, lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah Indonesia menganut teori yang mana?
Baca Juga: Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia sendiri sejatinya tidak condong untuk menganut satu teori HAM tertentu, bahkan Indonesia menerapkan semua teori HAM yang ada, tidak hanya satu, hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan berikut:
Teori Hukum Alam
Teori ini menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang, di setiap saat dan di semua tempat karena manusia dilahirkan sebagai manusia.
Dalam teori ini posisi manusia dalam kehisupannya ditentukan oleh tuhan. Implementasi dari teori tersebut dapat kita temui dalam pasal 1 angka 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mendefinisikan HAM sebagai:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Teori Positivisme
Teori ini merupakan antitesa dari teori hukum alam/kodrati, teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa hak harus berasal atau harus diberikan oleh sumber yang jelas, yaitu konstitusi, hukum atau kontrak.
Perwujudan dari teori tersebut pun dapat kita temui dalam hukum positif Indonesia, di mana hak-hak asasi manusia diberikan melalui undang-undang yang ada, misalnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan undang-undang lainnya dan juga diberikan oleh konstitusi yang salah satunya melalui pasal 28I UUD NRI 1945.
Teori Universalisme
Teori ini melihat bahwa HAM bersifat universal sehingga HAM dimiliki oleh setiap individu terlepas dari nilai-nilai atau budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada pada suatu negara.
Wujud dari eksistensi teori ini dapat kita lihat dari negara kita yang juga mengakui dan meratifikasi berbagai konvenan internasional tentang HAM, contohnya adalah ratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005. Yang mana berbagai konvensi internasional tentu menganut nilai-nilai HAM yang bersifat universal
Teori Relativisme Budaya
Pada prinsipnya teori ini menilai bahwa HAM harus diletakan dalam konteks budaya tertentu dan menolak adanya pandangan hak yang bersifat universal.
Bentuk perwujudan dari teori ini dapat kita lihat dari berbagai pengakuan konvenan internasional (reservasi) yang mana terdapat beberapa konvenan yang tidak serta merta semuanya diadopsi oleh negara kita, tetapi sering kali terapat beberapa ketentuan dalam konvenan yang bersangkutan yang tidak diadopsi karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia.
Penutup
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidaklah condong menganut satu teori tertentu dalam pengadopsian nilai-nilai HAM, tetapi terdapat beberapa teori yang dapat kita temui dalam implementasi HAM di negara kita.
Endnote:
[1] Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia ( Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2015), 9.
[2] Ibid.
[3] Ibid. 19.
[4] Ibid. 21.
[5] Ibid. 22.
Sumber Referensi
- Rahayu. 2015. Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia