Tata NegaraMateri Hukum

Substantive Justice dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Redaksi Literasi Hukum
1408
×

Substantive Justice dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebarkan artikel ini
mahkamah konstitusi
Ilustrasi Gambar / Sumber: Canva AI

Literasi HukumMahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran penting dalam menjaga supremasi konstitusi dan mewujudkan keadilan substantif di Indonesia. Melalui kewenangannya dalam pengujian undang-undang dan putusan-putusan landmark, MK telah mengubah cara berhukum dan memperkuat demokrasi di Indonesia.

Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Supremasi Konstitusi dan Mewujudkan Keadilan Substantif

Sebagai lembaga peradilan, karakter Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi berbeda dengan peradilan lainnya. MK adalah peradilan norma yang berwenang menguji konstitusionalitas suatu norma dengan konstitusi. Manakala norma itu secara nyata menimbulkan kerugian konstitusional dan bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land), maka keberlakuan norma tersebut dapat dianulir. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya MK dan doktrin constitusional review. Menurut Hans Kelsen, agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Kewenangan constitutional review inilah yang pada akhirnya merupakan kewenangan MK di seluruh dunia. Sementara kewenangan lainnya bersifat tambahan dan didasarkan pada praktik ketatanegaraan di masing-masing negara. 

Dalam pada itu, supremasi konstitusi tidak hanya dimaknai semata-mata sebagai supremasi teks pasal-pasal UUD 1945, sebab UUD 1945 adalah manifestasi kesepakatan bersama seluruh rakyat yang di dalamnya termuat ideologi dan nilai-nilai moral sebagai kaidah penuntun substansi hukum yang dibentuk melalui mekanisme yang diatur dalam UUD 1945.

Dalam konsepsi tersebut, pemaknaan terhadap teks UUD 1945 tentu selalu mengalami perubahan sesuai dengan pencapaian cita-cita, kontekstualisasi dasar negara, serta terjadinya perubahan masyarakat itu sendiri. Walaupun kesepakatan bersama telah dirumuskan dalam konstitusi, namun tidak berarti proses itu berhenti. Proses sosial yang membentuk kesepakatan bersama selalu terjadi dan harus menjadi pertimbangan dalam pemaknaan terhadap teks konstitusi. Dalam konteks ini dikatakan bahwa konstitusi itu bukanlah benda mati tetapi ia merupakan benda hidup dalam pengertian nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman, dinamika kehidupan masyarakat dan pengalaman dalam praktik ketatanegaraan serta kehidupan berbangsa dan bernegara (living constitution), sehingga membaca konstitusi perlu dilakukan pada makna yang terdalam (the moral reading).

Kondisi ini telah melahirkan putusan-putusan MK yang mencairkan kebekuan hukum dengan membawa paradigma baru keadilan substantif yang tidak jarang mendobrak status quo dalam berhukum dengan mengesampingkan penafsiran hukum lama, bahkan dalam beberapa perkara menyimpangi asas-asas hukum yang selama ini dipegang teguh oleh para yuris.

Putusan-putusan yang lahir dari progresivitas MK dalam mendukung upaya tegaknya konstitusi, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan substantif telah tersebar dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik dalam perkara judicial review maupun putusan yang terkait dengan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Ketika mengadili sebuah perkara, MK akan memutuskan dengan menggunakan paradigma untuk memperbaiki pembangunan hukum yang berkeadilan ke arah yang lebih baik. Makna memperbaiki pembangunan hukum yang berkeadilan di sini tentu saja berkaitan erat dengan penerapan prinsip democracy (kedaulatan rakyat) dan nomocratie (kedaulatan hukum) yang mengandung nilai-nilai keadilan.

Peran Penting Mahkamah Konstitusi dalam Memperkuat Demokrasi dan Penegakan Hak Konstitusi Warga Negara

Sejak kelahirannya 11 tahun silam, Mahkamah Konstitusi telah memainkan peran dan posisi yang penting dan strategis dalam upaya pembaruan hukum dan konstitusi di negara kita. Dalam perjalanannya mengawal konstitusi dan proses demokrasi, tak jarang Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menjadi landmark decisions karena dalam pertimbangan hukumnya, MK turut mempertimbangkan rasa keadilan substantif di tengah-tengah masyarakat. Walaupun pada awalnya putusan-putusan tersebut sulit untuk diterima dan dinilai kontroversial, namun kemudian lambat laun publik semakin mengetahui makna, manfaat, dan alasan yang melatarbelakangi putusan-putusan yang dijatuhkan tersebut.

Sejarah dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi 2
Ilustrasi Gambar/ Dok. Mahkamah Konstitusi

Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 50 UU Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pembatasan wewenang pengujian MK hanya pada undang-undang yang dibentuk sesudah perubahan pertama UUD 1945 (vide Putusan 066/PUU-II/2004 bertanggal 12 April 2005). Pada mulanya putusan ini sempat menimbulkan kontroversi di sebagian kalangan pengamat hukum, akan tetapi jika saja ketentuan tersebut tidak dibatalkan, maka telah menutup peluang para pencari keadilan (justice seeker) untuk dapat menguji undang-undang yang lahir sebelum perubahan UUD 1945, seperti KUHP, KUHAP, UU Pemasyarakatan, UU Perkawinan, UU Narkotika, UU Nomor 02/Pnps/1964, padahal, misalnya, ada norma dalam undang-undang tersebut yang secara nyata merugikan hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan konstitusi. Oleh karenanya MK membatalkan Pasal 50 UU MK.

Putusan milestone lainnya yang mengubah cara berhukum, misalnya yaitu putusan yang merehabilitasi kembali hak mantan dan keturunan anggota PKI (vide Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004), putusan tentang diperbolehkannya calon independen dalam pemilihan kepala daerah (vide Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007), dan putusan tentang perubahan penghitungan caleg terpilih dari nomor urut menjadi suara terbanyak (vide Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2009 bertanggal 23 Desember 2008).

Putusan yang memperbolehkan penggunaan KTP atau Paspor sebagai syarat memilih dalam Pilpres karena adanya kendala teknis yang berpotensi mereduksi hak warga negara untuk memilih (right to vote), maka Mahkamah Konstitusi membolehkan KTP atau Paspor sebagai syarat untuk dapat memilih (vide Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009). Putusan yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali (vide Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 bertanggal 6 Maret 2014).

Putusan penyelenggaraan Pemilu Lembaga Perwakilan dan Pemilu Presiden yang bersifat serentak (vide Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013), putusan terkait pengelolaan sumber daya air yang mengembalikan kewajiban pengelolaan sumber daya air kepada negara, sedangkan swasta hanya mendapat kewenangan residu dalam pengusahaan sumber daya air (vide Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 bertanggal 18 Februari 2015) dan putusan yang memasukan penetapan tersangka sebagai objek dalam pra peradilan (vide Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 bertanggal 28 April 2015).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.