Berita

KPU dan Golkar Bantah Dalil Gerinda mengenai Kecurangan Pemilu DPR RI di Papua Tengah

Redaksi Literasi Hukum
1281
×

KPU dan Golkar Bantah Dalil Gerinda mengenai Kecurangan Pemilu DPR RI di Papua Tengah

Sebarkan artikel ini
KPU dan Golkar Bantah Dalil Gerinda mengenai Kecurangan Pemilu DPR RI di Papua Tengah
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi / Sumber: DALLE

JAKARTA, LITERASI HUKUMMahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan jawaban Termohon, keterangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan keterangan Pihak Terkait untuk Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Tengah yang diajukan oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Sidang dengan nomor perkara 91-01-02-36/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini digelar pada Senin (06/05/2024) pagi di Ruang Sidang Panel 3 dengan Majelis Hakim Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Dalam sidang ini, Termohon memberikan penjelasan mengenai permohonan Pemohon yang sebelumnya telah mendalilkan adanya dugaan pencurian suara noken dan dugaan Pelanggaran Kewajiban administrasi. Pemohon mendalilkan bahwa sistem noken di Papua Tengah telah tercemar oleh praktik kecurangan suara yang terstruktur. Pemohon pada sidang pendahuluan sebelumnya menyebut bahwa suara yang telah diikat dengan sistem noken di setiap distrik hilang saat pleno tingkat kecamatan. Hasil rekapitulasi di tingkat kecamatan kemudian mengalami perubahan drastis di tingkat kabupaten, dan seterusnya hingga tingkat provinsi. Pada pleno rekapitulasi tingkat provinsi, suara yang diperoleh di tingkat kabupaten tiba-tiba hilang.

Selain itu, Pemohon dalam permohonannya menduga adanya pelanggaran tata cara pemungutan dan penghitungan suara di Papua Tengah, khususnya di daerah yang menggunakan sistem Noken/Ikat. Pelanggaran ini diduga terjadi karena tidak dipenuhinya kewajiban administrasi yang diatur dalam Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024.

KPU Papua Tengah Bantah Dalil Pemohon, Sebut Perolehan Suara Sah dan Sesuai Aturan!

Wafda Hadian Umam, selaku kuasa hukum Termohon, memberikan jawaban yang menyatakan bahwa permohonan Pemohon obscuur libel atau tidak jelas atau kabur karena antara Posita dengan Petitium tidak konsisten.

Lebih lanjut Wafda menjelaskan bahwa Termohon menetapkan perolehan suara untuk Daerah Pemilihan Papua Tengah berdasarkan Dokumen D Hasil Provinsi Papua Tengah. Selama pelaksanaan rapat pleno tingkat provinsi, pihak Pemohon tidak mengajukan keberatan, dan saksi dari Partai Pemohon telah menandatangani dokumen tersebut sebagai legitimasi hasil yang telah direkap oleh Termohon di tingkat Provinsi Papua Tengah. Oleh karena itu, menurut Termohon, perolehan suara yang ditetapkan sudah benar. Antara persandingan yang disampaikan oleh Pemohon dalam permohonannya, tidak terdapat selisih suara Partai Gerindra antara versi Pemohon dan Termohon sesuai Keputusan KPU RI Nomor 360 Tahun 2024 dan Dokumen D Hasil Provinsi Papua Tengah.

“Terkait dengan perolehan Partai Gerinda menurut Termohon untuk pengisian keanggotaan DPR RI Dapil Papua Tengah, Perolehannya sudah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Termohon. Artinya antara versi Pemohon dan Termohon sudah sesuai,” ungkap Wafda.

KPU juga menyatakan bahwa dalil Pemohon, yang mendalilkan penghilangan perolehan suara berdasarkan asumsi tentang sistem noken/ikat yang dilakukan secara tidak prosedural, adalah tidak benar dan tidak berdasar. Menurut KPU, mereka telah melaksanakan Pemilu sesuai dengan aturan yang berlaku dan berusaha semaksimal mungkin di Provinsi Papua Tengah, yang pada saat itu mengalami peristiwa yang tidak kondusif. Selain itu, Pemohon tidak dapat membuktikan klaimnya dengan melampirkan bukti yang memadai, sehingga dalil yang disampaikan hanya merupakan asumsi yang tidak berdasar.

Lebih lanjut, KPU menjelaskan terkait dalil Pemohon yang mendalilkan bahwa dalam pelaksanaan Pemilu dengan sistem noken/ikat, KPU tidak mengikuti prosedur-prosedur yang dijelaskan, menurut KPU klaim ini adalah tidak benar dan tidak berdasar. KPU telah melaksanakan prosedur-prosedur Pemilu dengan sistem noken/ikat sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, menurut KPU, Pemohon tidak dapat membuktikan dengan bukti yang memadai bahwa KPU telah melaksanakan Pemilu noken/ikat secara tidak prosedural. Terbukti juga tidak ada keberatan selama rekapitulasi di tingkat distrik, kabupaten, atau provinsi dari Pihak Pemohon, bahkan saksi Pemohon telah menandatangani Berita Acara Rekapitulasi di tiap tingkat.

Sistem Noken di Papua Tengah Diterapkan Sesuai Kebiasaan dan Kesepakatan Bersama

Bawaslu, dalam keterangannya, memaparkan bahwa sistem noken di Papua Tengah diterapkan berdasarkan musyawarah bersama semua unsur terkait—masyarakat, tokoh masyarakat, kepala kampung, tokoh gereja, tokoh adat, dan pihak lain yang terlibat. Berdasarkan kesepakatan tersebut, sistem noken dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan kebiasaan masing-masing kampung di wilayah Provinsi Papua Tengah. Lebih lanjut, Bawaslu menjelaskan bahwa mereka tidak mendapatkan laporan, khususnya dari Partai Gerindra, terkait dengan dugaan pelanggaran administratif Pemilu mengenai tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Sistem noken di Papua Tengah diterapkan berdasarkan musyawarah bersama semua unsur terkait. Berdasarkan kesepakatan tersebut, sistem noken dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan kebiasaan masing-masing kampung di wilayah Provinsi Papua Tengah,” ujar Markus Madai.

MK Tidak Berwenang

Sementara itu, Pihak Terkait Partai Golkar, yang diwakili oleh Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum dan Lodewijk F. Paulus selaku Sekretaris Jenderal, melalui Kuasa Hukum mereka, Fakhriy Ilmullah, memberikan penjelasan bahwa Permohonan Pemohon pada dasarnya melibatkan dugaan pelanggaran administratif pemilihan umum. KPU mengemukakan bahwa pelanggaran administratif tersebut tidak termasuk dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Paragraf 2, Pasal 461 s.d. 465 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berhubungan dengan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan aspek administratif pemilihan umum, sehingga permohonan ini seharusnya tidak dapat diterima oleh Mahkamah.

“Permohonan yang diajukan oleh Pemohon bukan merupakan Kewenangan MK untuk memutus dan mengadili berdasarkan Pasal 463 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum jo. Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” ujar Fakhriy Ilmullah.

Lebih lanjut, Pihak Terkait menjelaskan terkait dengan dugaan adanya pelanggaran administratif Pemilu dan meminta dilakukan pemungutan suara ulang untuk pengisian suara anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua Tengah adalah hanya asumsi dan tidak berdasarkan hukum.

“Dalil Pemohon terkait dengan adanya pelanggaran administratif Pemilu dan meminta dilakukan pemungutan suara ulang untuk pengisian suara anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua Tengah adalah tidak berdasar hukum dan tanpa disertai bukti,” ungkap Agus Dwiwarsono.

Termohon dan Pihak Terkait meminta Mahkamah untuk menolak seluruh permohonan Pemohon untuk seluruh dan menyatakan benar dan sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum nomor 360 tahun 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.