Literasi Hukum – Artikel ini menjelaskan mengenai polemik regulasi ojek online dan konvensional serta dasar hukumnya di Indonesia.
Perkembangan hukum menjadi sangat penting dalam hal digitalisasi global, diakui ataupun tidak dunia digital telah membawa perubahan drastis dalam segala aspek kehidupan manusia.
Seperti halnya hukum diperlukan untuk melindungi privasi, melawan kejahatan dunia maya, memastikan keamanan dunia maya, memastikan kepatuhan dan regulasi bisnis berbasis digital (online), serta mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai aspek lainnya.
Dengan kerangka hukum yang jelas, dunia bisnis dalam mode digitalisasi dapat digunakan secara bertanggung jawab dan terkendali, menciptakan lingkungan digital yang aman dan tertib atau taat hukum.
Di sejumlah daerah, persetruan antara tukang ojek online (Ojol) dengan ojek konvensional (tanpa aplikasi) menjadi permasalahan hukum yang kurang tersentuh secara spesifik oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementrian Perhubungan.
Kekosongan Regulasi Hukum dalam Konflik Ojek Online vs Ojek Konvensional
Suatu kekosongan hukum terjadi ketika tidak ada aturan hukum yang mengatur situasi atau peristiwa tertentu. Pendapat ahli hukum berbeda tentang adanya kekosongan hukum.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa kekosongan hukum tidak dapat diterima karena dapat menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum. Pada saat yang sama, terdapat pula pandangan bahwa kekosongan hukum dapat lebih mendorong inovasi dan pembangunan hukum.
Namun, kekosongan hukum yang terus berlangsung seringkali berdampak negatif terhadap kepastian hukum dan keselamatan masyarakat. Oleh karena itu, para ahli hukum harus secara hati-hati menilai konteks dan dampak dari kekosongan hukum untuk menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 348 Tahun 2019 sama-sama tidak mengatur terkait zona kewilayahan antara ojol dan ojek konvensional.
Beberapa hasil penelitian maupun jurnal menyebutkan agar para penyedia jasa ojek konvensional lebih meningkatkan kualitas jasa pelayanan terhadap penumpang agar tidak kalah dengan sistem dan mekanisme ojek online. Sementara dari peritiwa atau kejadian di kota lain, justru ojek online yang kurang adanya peminat dibandingkan ojek konvensional.
Maraknya persetruan kedua belah pihak di berbagai kota pun tidak bisa dihindarkan dan terus berlangsung beberapa bulan terakhir, sejumlah tuntutan pun mereka ajukan kepada DPRD dan Pemerintah Daerah terutama soal zona wilayah kerja mereka demi menentukan kepastian hukum yang berlaku.
Kekosongan hukum terkait aturan zona wilayah kerja ojol dan ojek konvensional hingga kini masih menjadi beban tersendiri khususnya bagi penyedia jasa transportasi motor (ojek). Sementara sejumlah kebijakan dari hasil pengawasan pemerintah daerah masing-masing dalam hal ini masih belum berarti memeberikan fungsi hukum sebagai manfaat bagi masyarakat.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.