Literasi Hukum – Artikel ini membahas upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual oleh tenaga pendidik, serta strategi pencegahan yang dapat dilakukan oleh orang tua, tenaga kependidikan, aparat penegak hukum, dan pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
Perbuatan asusila terus dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, terutama di lingkungan sekolah, dengan tenaga pendidik sebagai pelaku dan murid sebagai korban. Artikel ini memuat tentang upaya perlindungan hukum bagi anak sebagai murid korban pelecehan seksual oleh tenaga pendidik, serta upaya pencegahan kekerasan seksual di sekolah yang dapat dilakukan oleh orang tua/wali, guru/pihak sekolah, aparat penegak hukum, dan pemerintah dengan memperhatikan kondisi terkini.
Kekerasan adalah tindakan terhadap seseorang yang menyebabkan penderitaan fisik, mental, seksual, atau penelantaran, termasuk ancaman, paksaan, atau perampasan kebebasan yang melanggar hukum. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang akibat ketidaksetaraan relasi kekuasaan dan/atau gender, yang dapat menyebabkan penderitaan fisik atau mental, termasuk gangguan pada kesehatan reproduksi. Beberapa bentuk kekerasan seksual meliputi perilaku atau ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan fisik, menyentuh, mengusap, meraba, memegang, atau menggosok bagian tubuh seseorang yang bersifat pribadi, mengambil, menguntit, atau menyebarkan foto atau video bernuansa seksual tanpa persetujuan, serta membujuk, menjanjikan, atau menawarkan kegiatan seksual yang tidak disetujui. Kekerasan seksual juga mencakup segala bentuk paksaan tanpa persetujuan yang bernuansa seksual.
Kekerasan seksual terhadap anak di sekolah semakin marak, terbukti dengan banyaknya pemberitaan mengenai hubungan seksual antara tenaga pendidik dan murid di media elektronik maupun media sosial. Salah satu kasus yang menyerupai hal ini terjadi pada siswa kelas XII dari MAN 1 Kabupaten Gorontalo, yang menjadi korban hubungan seksual dengan gurunya. Menurut AKBP Deddy Herman, Kapolres Gorontalo, kasus ini bermula dari korban yang yatim piatu dan mendapat perhatian khusus dari tersangka DH, yang membuat korban merasa nyaman dan menganggap DH sebagai figur ayah. Hubungan asmara antara pelaku dan korban terungkap melalui pengakuan korban, saksi, dan pelaku sejak 2021. Brigadir Pol Jabal Nur dari Penyidik PPA Polres Gorontalo mengungkapkan bahwa sejak 2023, tersangka DH mulai melakukan tindakan yang lebih ekstrem terhadap korban.
Pada Januari 2024, tersangka mulai menyetubuhi korban, yang kemudian menyebabkan korban mengalami trauma, ketakutan, dan rasa malu. Kasus ini menjadi viral, dan pelaku dijerat dengan Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Tersangka menghadapi ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp5.000.000.000,00. Selain itu, sesuai Pasal 82 ayat (2), tersangka terancam hukuman tambahan sepertiga dari hukuman pidananya karena berstatus sebagai tenaga pendidik.
Perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kekerasan seksual diatur dalam UU Perlindungan Anak, yang bertujuan menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Upaya perlindungan hukum ini meliputi rehabilitasi psikologis dan fisik korban. Berdasarkan Pasal 59A UU Perlindungan Anak, korban kejahatan seksual termasuk dalam kategori yang berhak mendapat perlindungan khusus, seperti jaminan rasa aman selama proses tumbuh kembang. Pasal 69A mengatur bahwa upaya perlindungan khusus dapat dilakukan melalui:
- Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan kesusilaan;
- Rehabilitasi sosial;
- Pendampingan psikososial selama pengobatan hingga pemulihan; dan
- Pemberian perlindungan serta pendampingan pada setiap tahap pemeriksaan, mulai dari penyidikan hingga persidangan.
Secara keseluruhan, perlindungan hukum yang diatur dalam UU Perlindungan Anak dapat lebih efektif jika disertai dengan upaya pencegahan oleh orang tua, tenaga kependidikan, dan pemerintah. Orang tua dapat mencegah kekerasan seksual dengan memberikan edukasi seksual dini, menjaga keterbukaan dengan anak, mengawasi kegiatan anak sehari-hari, serta mengajarkan nilai-nilai agama. Tenaga kependidikan bisa membantu melalui kurikulum yang mendorong perilaku positif, bekerja sama dengan dinas kesehatan dan PPA setempat untuk memberikan penyuluhan, serta membentuk satuan tugas kekerasan seksual di sekolah. Pemerintah juga berperan penting dengan melakukan kunjungan dan sosialisasi tentang kekerasan seksual di sekolah, serta menegakkan hukum untuk memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual.