Literasi Hukum – Artikel ini membahas minimnya perlindungan lingkungan hidup, kontroversi dalam proses pembuatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, serta berbagai isu krusial yang masih dilanjutkan demi keselamatan dan kenyamanan bisnis pertambangan. Artikel ini juga membahas bagaimana UU Minerba mempermudah perizinan dan pengusahaan pertambangan tanpa memperhatikan aspek kawasan rentan bencana, produksi pangan, hutan, dan infrastruktur ekologi penting, serta mengkriminalkan rakyat. UU Minerba juga memberikan wewenang pengendalian produksi tambang hanya kepada pemerintah pusat dan memperlemah pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan.
Pendahuluan Perlindungan Lingkungan Hidup
Perlindungan lingkungan adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem serta mengurangi dampak negatif manusia terhadap alam. Perlindungan lingkungan melibatkan berbagai tindakan seperti pelestarian habitat, pengurangan emisi polutan, konservasi sumber daya alam, dan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Perlindungan lingkungan sangat penting karena lingkungan yang sehat mendukung kehidupan manusia dan makhluk lain di planet ini.
Perlindungan lingkungan juga berdampak pada kesehatan manusia, ekonomi, dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, kesadaran dan tindakan untuk melindungi lingkungan perlu terus ditingkatkan oleh seluruh masyarakat agar kita dapat menjaga planet ini sebagai tempat yang layak huni bagi generasi masa depan.
Pentingnya perlindungan lingkungan tidak hanya terletak pada kebutuhan akan sumber daya alam yang berkelanjutan, tetapi juga pada tanggung jawab moral untuk melestarikan keindahan alam dan menjaga ekosistem agar tetap berfungsi dengan baik. Perlindungan lingkungan bukanlah tugas yang dapat ditangani secara individual, melainkan merupakan tanggung jawab bersama seluruh komunitas global untuk menjaga keberlanjutan hidup di planet ini. Dengan tindakan kolektif dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan, kita dapat mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Perlindungan lingkungan hidup merupakan salah satu isu global yang semakin mendesak untuk diperhatikan dalam upaya menjaga keberlangsungan kehidupan di planet ini. Lingkungan hidup adalah warisan berharga yang harus dijaga agar dapat dinikmati oleh generasi masa depan. Dengan semakin meningkatnya ancaman perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan kerusakan ekosistem, penting bagi masyarakat global untuk bersatu dalam melakukan perlindungan lingkungan hidup.
Upaya perlindungan lingkungan hidup tidak hanya bertujuan untuk menjaga keindahan alam semata, tetapi juga untuk memastikan ketersediaan sumber daya alam yang cukup bagi kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan hidup bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan lembaga internasional, tetapi juga menjadi kewajiban bersama seluruh masyarakat dunia.
UU Minerba
Proses pembuatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menuai kontroversi karena proses pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang sangat cepat, hanya terhitung dari tanggal 17 Februari 2020 sampai dengan 6 Mei 2020 serta tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembahasannya. Hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 5 huruf g terdapat Asas Keterbukaan yang memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berbagai isu krusial pertambangan dan batubara masih dilanjutkan demi keselamatan dan kenyamanan bisnis pertambangan dengan mempermudah perizinan investasi pertambangan. UU Minerba dominan berisi tentang kepentingan perluasan investasi dan pengusahaan pertambangan tanpa memperhatikan aspek kawasan rentan bencana, kawasan produksi pangan, kawasan hutan, maupun infrastruktur ekologi penting seperti pulau-pulau kecil dan pesisir, bahkan tidak memiliki upaya membatasi perluasan pertambangan. Hal ini disebabkan oleh batubara yang masih dijadikan sebagai komoditas dan sumber utama penerimaan nasional.
Mempermudah Perizinan Usaha Pertambangan Minerba
Dalam aspek perizinan dan pengusahaan, UU Minerba mempermudah perizinan, salah satunya memperbolehkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di satu provinsi untuk memiliki IUP dengan komoditas sama. Namun demikian, dalam UU Minerba tidak terdapat aspek yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi, dan hak veto rakyat, sehingga UU Minerba cenderung mengkriminalkan rakyat.
Substansi UU Minerba hampir mengubah total ketentuan awal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya mengenai perizinan dan menghapus kontrak, memperluas izin menjadi: IUP, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), IUPK Kelanjutan Operasi Kontrak, Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), Izin Penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), dan IUP untuk Penjualan serta adanya jaminan perpanjangan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (yang dibuat oleh pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan minerba) menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak sebagaimana Pasal 169A UU Minerba. Jaminan perpanjangan jangka waktu produksi sebagaimana ketentuan Pasal 47 dan 83 UU Minerba mengatur lebih lanjut mengenai perpanjangan pertambangan minerba yang diberikan oleh pemerintah kepada pemegang IUP dan IUPK.
Pengendalian Produksi Tambang Hanya Menjadi Wewenang Pemerintah Pusat
Pasal 4 ayat (2) UU Minerba telah dijelaskan bahwa kepemilikan dan penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan mineral dan batubara. Hal ini tentunya mengabaikan kerentanan dan daya dukung masing-masing daerah atau wilayah dan mengindikasikan bahwa kebijakan pertambangan kembali ke arah sentralisasi atau pemusatan kekuasaan. Maka dari itu, kebijakan-kebijakan pertambangan harusnya tetap memperhatikan pola pembangunan nasional demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pasal 140 UU Minerba justru memperlemah pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan (baik yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan, dan Penjualan atau IUJP) karena sepenuhnya diserahkan kepada Menteri. Hal ini mengakibatkan beban pengawasan kegiatan usaha pertambangan terpusat pada pemerintah pusat, termasuk pengawasan perizinan usaha pertambangan yang tidak diterbitkan oleh pemerintah pusat itu sendiri. Masyarakat yang akan melaporkan daya rusak pertambangan di wilayahnya dipersulit dengan harus melapor kepada pemerintah pusat yang jaraknya terlalu jauh dengan wilayah krisis pertambangan.
Selain itu, terdapat penghilangan pasal pidana terhadap pejabat negara yang mengeluarkan izin bermasalah dan koruptif, yakni Pasal 165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 : “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Proses Pembentukan UU Minerba
Revisi UU Minerba membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak usaha pertambangan dan bahkan masyarakat penolak tambang dapat dikenai pidana tambahan, mulai dari perampasan barang hingga kewajiban membayar kerugian.
Pasal 162 : “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu keglatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Pasal 164 : “……….kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana ”
Pelanggaran konstitusi, yaitu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada alinea keempat pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 33 ayat 3, dan Pasal-Pasal mengenai Hak Asasi Manusia lainnya;
Pelanggaran hak atas informasi, yaitu publik sulit memperoleh akses informasi-informasi dan data berkaitan dengan pertambangan;
Pelanggaran hak untuk berpartisipasi, tidak terdapat ruang untuk masyarakat dalam menolak atau menyatakan keberatan atas pertambangan (hak veto) dan tidak ada satu pasal pun yang memberikan ruang bagi partisipasi warga termasuk pasal mengenai konsultasi pada masyarakat adat;
Pelanggaran hak atas pembangunan, karena secara keseluruhan ditentukan secara sistematis dan terencana oleh pemerintah pusat;
Pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat mengakibatkan lemahnya perlindungan lingkungan hidup;
Pelanggaran hak atas air, karena air minum dan untuk kebutuhan sehari-hari menjadi tercemar atau sumber air kering;
Pelanggaran hak atas pekerjaan, masyarakat yang bekerja sebagai petani, nelayan, buruh tani, petani tambak kehilangan mata pencahariannya.
Namun disisi lain, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 memberikan alternatif baru usaha pertambangan karena mampu menjadi penengah antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang terlalu liberal dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang nasionalistik atau terlalu memberikan kewenangan bagi Pemerintah. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 menitikberatkan pada kepastian usaha pertambangan agar para investor yakin bahwa Indonesia adalah negara yang ramah untuk investasi pertambangan. Selain dibuat karena adanya motif ekonomi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 juga dapat menjadi alternatif pemerintah dalam posisi lemah Indonesia di tengah tekanan investasi asing, yakni dengan diaturnya jaminan perpanjangan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam IUPK kelanjutan Operasi Kontrak.