Pidana

Serba-Serbi Hukum Pidana Bagian Ke-6: Konsep Kesalahan dalam Hukum Pidana

Heksa Archie Putra Nugraha
1561
×

Serba-Serbi Hukum Pidana Bagian Ke-6: Konsep Kesalahan dalam Hukum Pidana

Sebarkan artikel ini
Kesalahan dalam Hukum Pidana
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas mengenai konsep kesalahan dalam hukum pidana yang terbagi atas kesengajaan dan kealpaan. Kira-kira bagaimana yah? yuk simak penjelasan di bawah ini.

Konsep Kesalahan dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, seseorang dapat dijatuhi hukuman manakala melakukan suatu tindak pidana, mampu bertanggung jawab, terdapat kesalahan pada dirinya, dan tidak ada alasan pemaaf. Sebagaimana diuraikan dalam seri sebelumnya, adanya pandangan mengenai monoistis dan dualisme dalam memahami tindak pidana serta pertanggungjawaban pidana memberi dampak yang signifikan.

Aliran monoistis memandang bahwa manakala perbuatan seseorang bersifat melawan hukum dan memenuhi unsur delik, maka terhadapnya dapat dijatuhi pidana. Di lain sisi, aliran dualisme memandang harus dibuktikan actus reus dari tindakan terdakwa baru menilai mens rea yang ada pada diri terdakwa. Mens rea dinilai menggunakan asas kesalahan, yaitu geen straf zonder schuld.

Menurut Simons, konsep kesalahan merupakan keadaan psikis seseorang yang melakukan tindak pidana dan terdapat hubungan antara keadaan psikis tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga pelaku dapat dicela karena telah berbuat demikian. Konsep Kesalahan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kesengajaan dan kealpaan.

Kesengajaan

Apabila ditinjau menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”), belum ditemukan definisi baku mengenai kesengajaan. Namun, Criminal Wetbook 1809 menyatakan bahwa kesengajaan merupakan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau dilarang oleh undang-undang.

Memorie van Toelichting menyatakan bahwa pidana hendaknya dijatuhkan pada barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui (willens et wettens). Dengan demikian, kesengajaan dapat dikaitkan dengan teori kehendak dan pengetahuan. Satochid Kartanegara berpendapat bahwa seseorang yang melakukan dengan sengaja harus menghendaki dan mengetahui akibat dari perbuatan tersebut. Teori-teori tentang kesengajaan terbagi dua, yaitu:

Teori Kehendak

Teori kehendak yang dikenal juga sebagai wilstheorie merupakan bentuk kesengajaan yang terjadi apabila perbuatan itu dilakukan sesuai dengan kehendaknya. Teori ini digagas oleh Von Hippel dan Simons. Singkatnya, kesengajaan menurut teori ini adalah kehendak untuk melakukan perbuatan selaras dengan kehendak untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Sebagai contoh adalah A mengarahkan pistolnya kepada B lalu menembak B hingga meninggal. Dalam hal ini, dapat dikatakan terdapat kesengajaan dalam diri A sebab memang berkehendak untuk membuat B meninggal dengan menembaknya.

Aspek pembuktian dalam teori kehendak cukup kompleks. Nantinya, harus dibuktikan bahwa ada hubungan kausalitas antara motif, perbuatan, dan tujuan pelaku. Contohnya A memecahkan kaca jendela etalasa toko perhiasan agar dapat mengambil cincin yang ditampilkan. Dalam hal ini, perbuatan pelaku adalah memecahkan kaca jendela dengan tujuan untuk memecahkan kaca jendela. Perbuatan tersebut dilandasi oleh motif, yakni mengambil cincin yang ditampilkan sehingga tampak ada kausalitas antara perbuatan dan tujuan perbuatan dengan motif yang ada.

Teori Pengetahuan

Teori pengetahuan merupakan bentuk kesengajaan yang terjadi manakala pelaku mengetahui perbuatan yang dilakukan berikut akibat yang timbul. Teori ini digagas oleh Frank dan Van Hammel. Mudahnya, kesengajaan menurut teori a quo adalah suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu perbuatan diketahui dan perbuatan tersebut dilakukan sesuai dengan pengetahuannya tersebut.

Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B. Dalam posisi tersebut, A mengetahui perbuatan tersebut berakibat kematian B sehingga A dapat dipidana. Aspek pembuktian dalam teori ini, apabila dikaitkan dengan ilustrasi di atas, maka cukup menilai apakah pelaku mengetahui perbuatan yang dilakukan pelaku menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang.

Bentuk-Bentuk Kesengajaan

Menurut Prof Moeljatno, kesengajaan terbagi atas dua, yaitu kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Akan tetapi, dalam perkembangannya dikenal tiga jenis kesengajaan, antara lain kesengajaan sebagai kepastian, kesengajaan sebagai maksud, dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Berikut uraian atas ketiga jenis kesengajaan

Kesengajaan Sebagai Maksud

Kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk, menurut Vos, adalah kondisi ketika pelaku menghendaki akibat perbuatannya. Sebagai contoh, A menghendaki kematian B dengan mengarahkan pistol kepada B dan menarik pelatuknya. Akibatnya, B meninggal sebagaimana dikehendaki oleh A.  

Kesengajaan Sebagai Kepastian

Kesengajaan sebagai kepastian atau opzet bij noodzakelijke heids adalah kondisi ketika perbuatan dilakukan dengan keinsyafan bahwa agar tujuan dapat dicapai, sebelumnya harus dilakukan perbuatan lain yang melanggar hukum. Konsep kepastian dalam opzet bij noodzakelijke heids bukan kepastian mutlak, melainkan relatif. Sebagai contoh, A hendak mencuri di rumah B, tetapi rumsah tersebut dijaga oleh C. Maka dari itu, A harus membunuh C terlebih dahulu supaya bisa mencuri.   

Kesengajaan Sebagai Kemungkinan

Kesengajaan sebagai kepastian atau dolus eventualis adalah kondisi ketika perbuatan dilakukan dengan kesadaran bahwa ada kemungkinan terjadinya akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi sebetulnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Sebagai contoh, A hendak membunuh B dengan mengirim kopi berisi sianida ke rumah B. Akan tetapi, A mengetahui bahwa di rumah tersebut terdapat istri B yang juga gemar minum kopi. Manakala A tetap mengirim kopi tersebut dan C meninggal karena sianida di dalam kopi, maka A dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Selain ketiga bentuk di atas, dikenal pula aberratio actus, yakni kesengajaan yang mana saat subjek sengaja melakukan kejahatan terhadap objek I, ternyata mengenai objek II, maka tetap dimintakan pertanggungjawaban pidana. Sebagai contoh, seorang pencuri hendak menembak pegawai bank yang berusaha menelpon kantor polisi, tetapi justru mengenai seorang sandera di dekat pegawai bank tersebut. Dengan demikian, maka pencuri tersebut tetap bersalah.

Kealpaan

Pembentuk WvS mengatur bahwa sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang oleh undang-undang bukan menentang larangan, melainkan karena kekeliruan dalam batin sewaktu bertindak. Mudahnya, kealpaan adalah tidak mengindahkan larangan. Menurut Memorie van Toelichting, kealpaan terdiri atas kurangnya pemikiran, kurangnya pengetahuan, atau kurangnya kebijaksanaan. Rumusan delik yang sifatnya kealpaan biasanya memuat dengan jelas “… karena kealpaannya” atau rumusan pro parte dolus, pro parte culpa.

Van Hammel menyatakan bahwa kealpaan mengandung dua syarat, yaitu mengadakan penduga-dugaan dengan sebagaimana diharuskan oleh hukum dan mengadakan kehati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum. Simons berpendapat bahwa isi kealpaan adalah tidak adanya penghati-hatian di samping dapat diduganya timbul akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Terhadap tidak mengadakan penduga-dugaan yang diminta oleh hukum, muncul dua jenis kealpaan, yakni bewuste culpa dan onbewuste culpa. Bewuste culpa berarti pelaku sudah menduga atau menyadari bahwa jika perbuatan dilakukan, maka akan timbul akibat yang dilarang, tetapi sikap batin pelaku menyangkal praduga tersebut sebab pelaku yakin dapat menghindari akibat tersebut. Di lain sisi, onbewuste culpa adalah kondisi yang mana pelaku sama sekali tidak menduga perbuatannya akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Secara sekilas, antara dolus eventualis dan bewuste culpa nampak sama. Akan tetapi, kedua konsep tersebut adalah berbeda. Dolus eventualis merupakan kesengajaan yang bersyarat, sedangkan bewuste culpa adalah kealpaan yang disadari. Secara fundamental, kedua konsep tersebut berangkat dari landasan yang berbeda, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Batasan antara keduanya adalah dalam dolus eventualis, pelaku menyetujui bahwa akibat tersebut mungkin akan terjadi dan tindakan tetap dilakukan. Di lain sisi, bewuste culpa tidak menyetujui bahwa akibat yang dilarang akan terjadi sehingga tindakannya tetap dilakukan.

Selain bewuste culpa dan onbewuste culpa, apabila ditinjau dari tidak mengadakan penghati-hatian, dikenal juga culpa subjektif dan objek. Culpa subjektif menitikberatkan pada individunya. Culpa ini berkaitan dengan pendidikan khusus pelaku sehingga harus bertindak ekstra cermat. Sebagai contoh, ketika polisi tidak sengaja menembak A padahal ingin melumpuhkan B karena mencuri. Seharusnya polisi tersebut tidak menembak A karena telah memperoleh pengetahuan mengenai tembak-menembak.

Adapun culpa objektif menitikberatkan pada perilaku yang lahir secara objektif. Sebagai contoh, manakala X mengemudi dan secara tidak sengaja menabrak Y. Dalam kasus tersebut, ditinjau secara objektif, maka tindakan A termasuk tidak mengadakan penghati-hatian.

Selain ditinjau berdasarkan penghati-hatian dan penduga-dugaan, dikenal juga pembagian culpa berdasarkan gradasinya, yakni culpa lata dan culpa levis. Secara konsep, culpa lata atau kealpaan yang berat hampir sama dengan bewuste culpa, sedangkan culpa levis atau kealpaan yang ringan hampir sama dengan onbewuste culpa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.