Administrasi Negara

Kewenangan Administrasi melalui Atribusi, Delegasi, dan Mandat

Ramos Perisai
1788
×

Kewenangan Administrasi melalui Atribusi, Delegasi, dan Mandat

Sebarkan artikel ini
Kewenangan Administrasi
(Sumber: Unsplash/Ben Rosett)

Literasi Hukum – Dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan, pejabat tata usaha negara memiliki kewenangan administrasi berdasarkan atribusi, delegasi, dan mandat.

Lahirnya Kewenangan Administrasi

Pada saat pejabat pemerintahan terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pejabat mampu melakukan tindakan berdasarkan kewenangan yang melekat padanya. Keberadaan kewenangan penting sebab kewenangan memberi legitimasi kepada pejabat untuk bertindak.

Dalam konteks administrasi pemerintahan, pejabat pemerintahan yang terlibat adalah pejabat tata usaha negara beserta kewenangan administrasi yang melegetimasinya. Kewenangan administrasi membuat tindakan pejabat tata usaha negara memiliki dasar yang sahih, setidaknya dari sudut pandang hukum administrasi negara.

Kutipan Ridwan HR, dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara, merangkum pendapat beberapa pakar hukum yang pada intinya mengidentifikasi kewenangan sebagai sesuatu yang dekat dengan kekuasaan. Kewenangan membuat setiap pihak dapat memiliki kekuasaan untuk bertindak. Dalam negara yang demokratis, kewenangan diakui sebagai salah satu manifestasi kekuasaan yang dibatasi oleh koridor tertentu.

Jika dihubungkan dengan konteks administrasi negara, kewenangan identik dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara untuk terlibat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Hanya saja, kewenangan itu dibatasi oleh setiap instrumen yang terutama berisi kaidah hukum di bidang administrasi pemerintahan.

Di Indonesia, rekognisi atas kewenangan administrasi dan batasan-batasannya dapat kita temukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan bidang administrasi pemerintahan. Peraturan paling utama adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”).

Secara esensial, menurut UU Administrasi Pemerintahan, kewenangan merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan untuk bertindak dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika dikaitkan dengan administrasi pemerintahan, kewenangan menjadi “kewenangan administrasi” yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara untuk bertindak dalam ranah administrasi negara.

Bentuk konkrit dari kewenangan administrasi adalah kewenangan bagi pejabat tata usaha negara untuk menetapkan keputusan tata usaha negara dan/atau melakukan tindakan. Kewenangan dapat terimplementasi sepanjang tidak bertentangan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Yang menarik, UU Administrasi Pemerintahan membedakan istilah “kewenangan” dan “wewenang”. Menurut Pasal 1 angka 5, wewenang adalah hak dari pejabat pemerintahan untuk bertindak dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dari sini, dapat dipahami bahwa kewenangan adalah kekuasaan untuk bertindak, sedangkan wewenang adalah salah satu bentuk dari kewenangan.

Lebih lanjut, UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa pejabat mendapatkan kewenangan administrasi berdasarkan 3 bentuk mekanisme, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Perhatikan bahwa ketiga mekanisme ini berfokus pada sumber kewenangan yang dimiliki oleh pejabat dan tidak berfokus pada akibat yang ditimbulkan oleh keberadaan kewenangan.

Kewenangan Administrasi melalui Atribusi

Ketentuan mengenai atribusi lebih dulu diatur secara definitif dalam Pasal 1 angka 12 dari UU Administrasi Pemerintahan. Ketentuan ini mengatur, atribusi adalah pemberian kewenangan kepada pejabat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) atau undang-undang.

Jadi, untuk menentukan apakah suatu kewenangan administrasi diberikan dengan mekanisme atribusi, kita dapat melihat ketentuan dalam UUD 1945 atau undang-undang yang menjadi dasar pemberian kewenangan tersebut.

Pasal 12 dari UU Administrasi Pemerintahan mengatur indikator tambahan untuk mengukur keberadaan kewenangan dengan mekanisme atribusi, yaitu kebaruan kewenangan dan kejelasan pemberian atribusi. Jelasnya, kewenangan atribusi baru dapat dianggap ada jika kewenangan itu memang merupakan suatu kewenangan yang baru dan asli. Baru berarti tidak pernah diatur sebelumnya, sedangkan asli berarti dinyatakan secara gamblang dan dapat dibuktikan.

Sebagai contoh, Pasal 18 ayat (2) dari UUD 1945 mengatur kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahan daerah secara mandiri. Hal ini diperjelas melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan adanya pengaturan ini, pemerintah daerah mampu berdikari dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, tidak terkecuali pada proses yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan.

UU Administrasi Pemerintahan turut mengatur bahwa jika kewenangan diberikan secara atribusi, pemegang dan penanggung jawab dari kewenangan adalah pihak yang dituju. Alhasil, dengan menggunakan contoh di atas, maka pemegang dan penanggung jawab dari kewenangan untuk mengelola pemerintahan secara mandiri adalah pemerintah daerah.

Kewenangan Administrasi melalui Delegasi

Berbeda dengan atribusi yang mensyaratkan “pemberian”, kewenangan yang diperoleh melalui delegasi mensyaratkan adanya “pelimpahan”. Pasal 1 angka 13 dari UU Administrasi Pemerintahan menyatakan, pelimpahan kewenangan melalui delegasi berasal dari pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Kelak, pejabat yang lebih rendah itulah yang akan menerima tanggung jawab dan tanggung gugat yang timbul berdasarkan kewenangan yang dilimpahkan. Kewenangan itu sendiri dapat berupa kewenangan yang baru atau kewenangan yang pernah ada sebelumnya.

Pelimpahan dalam kewenangan delegatif menjelaskan asal-usul dari kewenangan itu sendiri. Pada kewenangan atributif, kewenangan murni dinyatakan melalui UUD 1945 atau undang-undang. Sementara itu, pada kewenangan delegatif, kewenangan diberikan dengan berdasar pada peraturan perundang-undangan, tetapi melibatkan pejabat yang lebih tinggi dalam 1 hierarki. Dengan demikian, kewenangan melalui delegasi memerlukan adanya peraturan yang tertulis sekaligus intervensi pejabat. Adapun peraturan yang melegitimasi kewenangan delegatif hanyalah peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan/atau peraturan daerah.

Syarat lain yang mengikat pelimpahan kewenangan delegatif adalah potensi pendelegasian lanjut. UU Administrasi Pemerintahan mengatur, pejabat yang memegang kewenangan tidak dapat mendelegasikan kembali kewenangan tersebut kepada pejabat yang lebih rendah, kecuali terdapat peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan hal tersebut.

Contoh dari kewenangan delegatif terdapat dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2017. Peraturan ini mengatur pendelegasian wewenang kepada walikota, bupati, atau kepala badan pengelola aset daerah yang berada di wilayah DKI Jakarta untuk menandatangani Berita Acara Serah Terima terhadap setiap barang yang diperoleh secara sah dengan mewakili Gubernur DKI Jakarta.

Kewenangan Administrasi melalui Mandat

Sejalan dengan kewenangan delegatif, kewenangan yang didapat melalui mekanisme mandat mensyaratkan adanya “pelimpahan”. Kewenangan berdasarkan mandat juga melibatkan adanya intervensi pejabat yang lebih tinggi terhadap pejabat yang lebih rendah dalam 1 jenjang hierarki.

Hanya saja, kewenangan berdasarkan mandat tidak mengalihkan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima mandat. Dengan kata lain, pejabat yang lebih tinggi selaku pemberi mandat adalah pihak yang tetap bertanggung jawab sekaligus gugat atas segala akibat yang ditimbulkan dari kewenangan yang dilimpahkan kepada penerima mandat.

Lebih lanjut, UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa kewenangan administrasi berdasarkan mandat tidak dapat diterapkan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang bersifat strategis dan membawa akibat berupa perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

UU Administrasi Pemerintahan turut mengatur bahwa kewenangan yang didapat penerima mandat dapat ditarik kembali oleh pemberi mandat. Ini terjadi jika pemberi mandat menilai bahwa pemberian mandat justru membuat proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi tidak efektif.

Perlu menjadi catatan bahwa UU Administrasi Pemerintahan tidak mengatur prosedur teknis dalam pemberian kewenangan berdasarkan mandat. Ini berbeda dengan kewenangan atributif dan delegatif yang membutuhkan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Mengutip pendapat dari Ridwan HR, pelimpahan kewenangan mandat menggunakan prosedur yang relatif terhadap praktik di lapangan. Misalnya, pelimpahan kewenangan dapat terjadi secara informal oleh atasan kepada bawahan yang keduanya berstatus sebagai pejabat tata usaha negara.

Contoh dari kewenangan berdasarkan mandat adalah wakil kepala bidang kepegawaian yang menggantikan kepala bidang kepegawaian untuk memimpin jalannya upacara bendera merah putih secara rutin. Wakil kepala bidang berstatus sebagai pelaksana tugas yang sementara menerima mandat untuk memimpin kegiatan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.