JAKARTA, LITERASI HUKUM – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan jawaban Termohon, keterangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan keterangan Pihak Terkait untuk Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Tengah II yang diajukan oleh Yerry Miagoni calon Anggota DPRD Provinsi Papua Tengah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), nomor Urut 2.
Sidang dengan nomor perkara 159-02-08-36/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini digelar pada Senin (06/05/2024) pagi di Ruang Sidang Panel 3 dengan Majelis Hakim Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dalam sidang ini, Termohon memberikan penjelasan mengenai permohonan Pemohon yang sebelumnya telah dibacakan pada sidang pendahuluan Senin (29/4/2024) Siang. Pemohon dalam permohonannya mendalilkan adanya perbedaan perolehan suara yang signifikan antara hasil penetapan KPU dan hasil Pemilu yang menurutnya benar.
Pemohon menyatakan bahwa seharusnya perolehan suaranya adalah 14.870, namun dalam hasil penetapan KPU suaranya tercatat sebagai nol. Selisih perolehan suara yang besar ini diyakini Pemohon sebagai akibat dari kecurangan yang dilakukan di tiga distrik, dengan total pengurangan suara mencapai 14.870.
Dugaan kecurangan tersebut berupa pengurangan suara Pemohon secara tidak sah. Pemohon menduga bahwa oknum anggota Panitia Pemilihan Distrik (PPD) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) terlibat dalam tindakan perampokan dan/atau pengalihan suara tersebut.
Hasbullah Alimudin Hakim, selaku kuasa hukum Termohon, memberikan jawaban bahwa mahkamah konstitusi tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara Perselisihan proses Pemilu (kualitatif). Proses Pemilu adalah Kewenangan dari Bawaslu ataupun jika terdapat unsur pidana, maka diselesaikan oleh Gakkumdu.
Hasbullah juga menyebut Pemohon tidak memiliki kedudukan (legal standing) hukum sebagai pemohon karena tidak mencantumkan persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai Pemohon, melainkan hanya mendapatkan rekomendasi persetujuan dari DPD di Papua.
Menurut Termohon, Permohonan Pemohon kabur atau obscuur libel karena tidak menjadikan siapa saja subjek yang dimaksud dalam kejadian-kejadian yang didalilkan dan juga tidak menyebutkan locus dan tempus kejadian (kecurangan) yang didalilkan terjadi.
Pemohon dalam Pokok permohonan mempersoalkan 3 distrik dari 8 distrik di Intan Jaya. Menurut Termohon, total suara sah yang benar menurut Termohon adalah nol.
“Menurut data kami, Pemohon ini suaranya adalah nol,” ungkap Hasbullah Alimudin Hakim.
Dalam petitumnya, Termohon meminta Mahkamah untuk mengabulkan eksepi Termohon dan menolak permohonan pemohon dalam Pokok perkara serta memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 adalah benar.
Sementara Bawaslu, dalam keterangannya, menjelaskan bahwa apa yang dijelaskan oleh Termohon KPU telah benar dan Bawaslu menyetujuinya.
“Keterangan Termohon sudah benar Yang Mulia, kami sama. Terkait dengan kejadian, seperti permohonannya di Intan Jaya lainnya sama Yang Mulia,” ungkap perwaklilan Bawaslu.
Sementara itu, Pihak Terkait Partai Amanat Nasional (PAN), juga memberikan penjelasan mengenai perkara ini. Azham Idham, selaku kuasa hukum Pihak terkait menyebut bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak mendapatkan rekomendasi dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai Pemohon. Selain itu, Termohon menyebut bahwa permohonan Pemohon ini obscuur libel atau kabur karena pemohon mendalilkan 3 distrik, akan tetapi tidak menjelaskan mengenai detail di TPS mana pemindahan suara terjadi. “Dalam Eksepsi Yang Mulia, Pemohon ini sebagaimana diakui dalam sidang pendahuluan tidak memperoleh rekomendasi sehingga tidak memiliki kedudukan hukum. Permohonanya pun kabur atau obscuur libel atau kabur karena pemohon mendalilkan 3 distrik, akan tetapi tidak menjelaskan mengenai detail di TPS mana pemindahan suara terjadi,” ungkap Azham Idham.