Literasi Hukum – Pada dasarnya, akta wasiat merupakan permintaan dari seseorang mengenai kehendaknya apabila meninggal dunia yang dapat dicabut kembali. Namun, akta wasiat pada penerapannya memungkinkan untuk tidak dilaksanakan. Hal itu dikarenakan akta wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut, tidak diketahui oleh ahli warisnya. Lantas, bagaimanakah kedudukan dan akibat hukum dari tidak diketahuinya akta wasiat pewaris?
Oleh: Dedon Dianta
Hukum Perdata Waris
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa hukum waris merupakan aturan-aturan mengenai perpindahan harta beda dari seseorang yang telah wafat kepada orang lain. Indonesia dalam mengatur hukum waris memiliki 3 pluralisme hukum yang berlaku, yaitu: 1) Hukum Waris Adat; 2) Hukum Waris Islam; 3) Hukum Waris Perdata Barat
KUHPer mengatur 2 cara dalam pewarisan, di antaranya ialah:
Hukum Waris Perdata: Pewarisan berdasarkan undang-undang
Pewarisan ini merupakan pewarisan yang terjadi apabila seseorang telah meninggal dunia (ab-intestato), tetapi tidak memberikan surat wasiat kepada ahli warisnya. Maka dari itu, pewarisan ini mengikuti segala hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ahli waris undang-undang (ab-intestaat) dalam hal ini diatur menjadi 4 golongan, di antaranya ialah: 1) Ahli Waris Golongan I; 2) Ahli Waris Golongan II; 3) Ahli Waris Golongan III; dan 4) Ahli Waris Golongan IV.
Hukum Waris Perdata: Pewarisan berdasarkan akta wasiat (testamenter)
Pewarisan ini merupakan pewarisan yang terjadi apabila pewaris meninggalkan surat wasiat (ad-testamente). Berdasarkan isinya, akta wasiat memiliki 2 jenis, yakni wasiat hibah (olografis testament) dan pengangkatan ahli waris (erfstelling). Berdasarkan bentuknya, wasiat memiliki 3 jenis, yakni wasiat tertutup atau rahasia, wasiat umum (openbaar testament) dan wasiat yang ditulis sendiri (olografis testament).
Waris dalam Pasal 874 KUHPer ditentukan mengenai ahli waris yang sah diberi surat wasiat oleh pewaris.
Pertama yakni testamentaiir erfgenaam, merupakan ahli waris sebagai akibat dari pengangkatan ahli waris untuk memperoleh sebagian atau seluruh harta warisan (erfstellling).
Kedua yakni legataris, merupakan ahli waris yang mendapatkan legaat (penerimaan suatu harta warisan tertentu kepada orang yang bersangkutan). Legataris dapat lebih dari satu orang. Legataris berkedudukan sebagai kreditor warisan sebagaimana Pasal 958 KUHPer. Hal ini sangatlah jelas bahwa legataris memiliki hak menuntut terhadap warisan yang diwasiatkan kepadanya sesuai Pasal 985 KUHPer.
Pasal 941 KUHPer mengatur bahwasannya sepeninggal pewaris, maka notaris wajib memberitahukan testamen atau surat wasiat kepada Balai Harta Peninggalan (BHP) yang kemudian membuat berita acara tentang pembukaan dan penyampaian wasiat tersebut dengan keadaannya, dan melaporkan kembali kepada notaris.
Penyebab Ketidaktahuan Ahli Waris terhadap Akta Wasiat
Beberapa penyebab adanya ketidaktahuan ahli waris terhadap adanya akta wasiat yakni:
Hukum Waris: Pewaris tidak memberitahukan kepada ahli waris
Pada dasarnya, tidak wajib pewaris memberitahukan wasiatnya kepada ahli waris. Hal ini menjadi permasalahan dalam hukum waris apabila harta bendanya sudah dibagikan secara ab-intestate.
Keadaan ini tentunya menyebabkan kerugian hukum dalam konteks pembagian warisan sebelumnya, dan juga ketidakpastian dalam hal siapa yang mengemban tanggung jawab atas ketidaktahuan akta wasiat tersebut karena tidak adanya aturan yang tegas terkait siapa yang berkewajiban melakukan pemeriksaan terhadap suatu akta wasiat.
Notaris dalam konteks ini, bertanggung jawab terhadap penganganan akta dari awal hingga akhir, termasuk juga menyimpan dan melindungi wasiat sebagai akta otentik. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Notaris hanya bertanggung jawab secara administratif, dan apabila Notaris lalai dalam menjalankan tugasnya, maka Notaris yang bersangkutan dapat dituntut sesuai dengan Pasal 943 KUHPer di pengadilan oleh ahli waris.
Hukum Waris: Surat keterangan hak waris
Sesuai dengan Surat Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jendral Agraria, Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/13/63/69 dan Permen Agraria Nomor 3 Tahun 1997, kedua peraturan ini mengatur bahwa golongan pribumi, keterangan hak warisnya diatur oleh Lurah atau Kepala Desa dan Camat sebagaimana tempat tinggalnya. Hal ini pada penerapannya tidak dicek dahulu mengenai adanya akta wasiat dikarenakan tidak adanya akses. Sehingga, menyebabkan adanya pembagian waris tetapi tanpa memperhatikan akta wasiatnya.
Hukum Waris: Pelaksana Wasiat
Sesuai dengan Pasal 1005 KUHPer, maka pewaris dapat mengangkat pelaksana surat wasiat (executeur testamentair). Hal ini pada penerapannya sering suatu perbankan ditunjuk sebagai pelaksana surat wasiat.
Penunjukkan pelaksana wasiat, tidak harus seseorang yang memiliki kedudukan seperti Notaris, pejabat pemerintahan, dsb. Namun, hal tersebut membuat lalainya tugas pelaksana wasiat karena bukan merupakan orang yang berkedudukan.
Pada dasarnya, pembagian waris merupakan kehendak para pihak sesuai dengan kesepakatan. Sepanjang antar pihak tidak ada yang merasa dirugikan karena adanya pembagian waris tersebut, maka pembagian harta waris tersebut sudah selesai.
Apabila adanya surat wasiat, maka para pihak dapat memilih antara melaksanakannya atau tetap berdasarkan undang-undang. Sehingga, dalam hal ini kedudukan akta wasiat mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Namun, akta wasiat dapat gugur apabila para pihak lebih memilih pembagian waris berdasarkan undang-undang.
Apabila ahli waris ada yang merasa dirugikan dan menimbulkan sebuah sengketa, maka pembagian waris tersebut menjadi batal sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh ahli waris ab intestato kepada ahli waris testamenter yang dapat digugat melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa dari hal tersebut ada 2 cara, yakni non-litigasi seperti konsiliasi, mediasi, negosiasi, konsultasi, dan arbitrase. Cara selanjutnya yakni melalui litigasi atau gugatan melalui pengadilan.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.