Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai fenomena Greenwashing dan mengkaji bagaimana kebijakan regulasinya di Indonesia. Yuk simak penjelasannya!
Apakah Greenwashing Ilegal di Indonesia?
Beberapa perusahaan baru-baru ini meluncurkan kampanye berkelanjutan sebagai bentuk CSR atau untuk menarik pelanggan; contohnya adalah kemasan air minum yang ramah lingkungan dan kemasan yang dapat didaur ulang.
Hal ini dikenal sebagai greenwashing yang definisnya adalah strategi pemasaran dan komunikasi yang digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan citra ramah lingkungan.
Greenwashing adalah istilah yang menggabungkan kata “green” dan “whitewash”, dan mengacu pada membuat klaim yang salah atau tidak akurat tentang produk, layanan, dan/atau praktik yang ramah lingkungan.
Pada tahun 1986, seorang pencinta lingkungan bernama Jay Westerveld menciptakan frasa ini setelah menemukan bahwa banyak hotel menggunakan kampanye “hemat handuk” untuk mengurangi biaya operasional.
Dalam temuan TerraChoice, terdapat enam (6) kesalahan atau yang kemudian disebut sebagai “6 dosa” dalam kegiatan green claiming, yang terbagi dalam beberapa kategori, yaitu:
- Melakukan perdagangan terselubung
- Membuat klaim lingkungan yang tidak berdasar
- Membuat klaim lingkungan yang spekulatif
- Membuat klaim lingkungan yang tidak signifikan
- Memilih yang lebih ringan dari dua kejahatan
- Berbohong
Royal Dutch Shell, perusahaan induk minyak dan gas Shell, baru-baru ini digugat oleh para aktivis di Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC) berdasarkan berita di Washington Post di mana Shell dianggap telah menyesatkan para investor dengan mengklasifikasikan investasinya di bidang gas alam sebagai bagian dari upaya perusahaan menuju energi terbarukan.
Para aktivis menganggap tindakan ini sebagai “greenwashing”, di mana perusahaan menggambarkan bisnis atau produknya sebagai produk yang ramah lingkungan, padahal sebenarnya tidak.
Sangat disayangkan bahwa tujuan “greenwashing” hanya untuk menampilkan citra ramah lingkungan, tetapi tidak benar-benar memberikan atau berkontribusi pada tindakan ramah lingkungan. Tujuannya hanyalah agar pelanggan mendapatkan pengalaman yang positif sehingga mereka akan loyal terhadap produk perusahaan di masa depan.
Greenwashing dalam Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 mengatur hak-hak dasar konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Lebih lanjut, Pasal 8 UU No. 8/1999 menegaskan larangan bagi pelaku usaha untuk mengelabui konsumen dengan menyatakan bahwa barang/jasa telah memenuhi standar mutu tertentu, serta memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, atau keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
Selain itu, Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pelaku usaha wajib menyediakan informasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.
Kewajiban ini sudah ada pada rezim pengaturan lingkungan hidup sebelumnya, di mana Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi pengelolaan lingkungan hidup yang benar dan akurat.
Dengan demikian, citra ramah lingkungan yang palsu melanggar hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dengan demikian, jelas terlihat bahwa ada keterkaitan antara perlindungan konsumen dan lingkungan dalam fenomena greenwashing.
Greenwashing Memunculkan Green Consumer Confusion
Fenomena citra ramah lingkungan yang palsu ini memunculkan green consumer confusion, yang terjadi ketika konsumen kebingungan karena gagal menginterpretasikan informasi yang didapat mengenai manfaat suatu produk.
Konsumen bingung ketika perusahaan membuat klaim ramah lingkungan yang ternyata hanya merupakan taktik pemasaran. Fenomena citra ramah lingkungan palsu yang berkembang membuat konsumen merasa lebih rentan.
Mengadopsi informasi yang salah memungkinkan konsumen membuat keputusan pembelian yang salah, membuat mereka terpapar pada risiko pembelian produk ramah lingkungan. Akibatnya, keberadaan citra ramah lingkungan palsu tidak hanya menyesatkan konsumen, tetapi juga memperlambat pergerakan menuju konsumsi berkelanjutan.
Menurut The Conversation, peraturan tersebut merupakan satu-satunya peraturan di Indonesia yang mengatur perlindungan masyarakat dari praktik greenwashing. Dampaknya adalah perlunya pembaharuan peraturan dan penegakan hukum terhadap praktik tersebut, namun saat ini hal tersebut belum menjadi prioritas.
Pemangku kepentingan dalam manajemen Greenwahing di Indonesia?
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berwenang untuk melakukan perencanaan terkait SCP dan mengkoordinasikan perencanaan tersebut dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab atas peraturan lingkungan hidup dan hal-hal yang bersinggungan dengan citra ramah lingkungan palsu.
Kementerian Perdagangan berwenang untuk memantau dan mengatur arus perdagangan untuk melindungi kualitas produk yang diperdagangkan dari greenwashing.
Kementerian Perindustrian bertanggung jawab untuk mengawasi dan menegakkan peraturan industri, serta memastikan bahwa industri memprioritaskan keberlanjutan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang berwenang melakukan survei konsumen dan menilai kualitas perlindungan konsumen Indonesia.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang memiliki misi untuk menilai kualitas perlindungan konsumen di Indonesia, serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan LSM lainnya yang peduli dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagaimana greenwashing dapat dikurangi?
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab maraknya strategi greenwashing adalah kurangnya regulasi. Untuk menjadi ramah lingkungan, beberapa negara maju seperti Inggris, Australia, dan Kanada telah membentuk dan membuat regulasi dan standar ISO 14021 mengenai klaim lingkungan yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
Selanjutnya, kita bisa mulai penasaran dengan proses pembuatan dan kebenaran kampanye ramah lingkungan dari setiap perusahaan, dan kita bisa ikut terlibat agar tidak terpengaruh dengan kampanye greenwashing ini.
Daftar Referensi
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- Cherry dan Sneirson, ”Beyond Profit: Rethinking Corporate Social Responsibility and Greenwashing After the BP Oil Disaster”, Tulane Lau Review, Vol. 85, No. 4, hlm. 983
- Telaah Kebijakan Sustainable Consumption and Production (SCP) dalam Merespons Fenomena Greenwashing Indonesia pada Era E-Commerce.
- TerraChoice Environmental Marketing, “The Seven Sins of Greenwashing: Environmental Claims in Consumer Markets 1 (2009), http://sinsofgreenwashing.org/findings/greenwashing-report-2009/
- Terra Choice Environmental Marketing, ”The Six Sins of Greenwashing: A Study of Environmental Claims in North American Consumer Markets, http://sinsofgreenwashing.org/findings/greenwashingreport-2007/
- Turnbull, et.al., “Customer confusion: The mobile phone market.”, Journal of Marketing Management, 16, 2010.
- Lyon dan Maxwell, “Greenwash: Corporate Environmental Disclosure under Threat of Audit”, Journal of Economics and Management Strategy, Vo. 20, Issue 1, 2011
- Peter dan Ryan, ”An investigation of perceived risk at the brand level”, Journal of Marketing Research.,Vol.13, hlm. 184-188.
- https://journal.sociolla.com/lifestyle/mengenal-greenwashing