OpiniTata Negara

Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Syarat Minimum Usia Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden

Adam Ilyas
1185
×

Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Syarat Minimum Usia Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden

Sebarkan artikel ini
Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Syarat Minimum Usia Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden
Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Syarat Minimum Usia Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden

Literasi Hukum – Artikel ini membahas Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo, terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai Pasal 169 UU 7/2017. Pelajari perdebatan seputar persyaratan calon presiden dan wakil presiden melalui artikel ini.

Hakim Konstitusi Saldi Isra

Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan pandangan berbeda terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengenai interpretasi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Dia menyatakan penolakan terhadap permohonan (dissenting opinion) dan menyatakan bahwa Mahkamah seharusnya menolak permohonan tersebut. Saldi Isra juga memberikan pemahaman lebih rinci tentang bagaimana proses pengambilan keputusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan norma ini, termasuk perubahan dalam komposisi Hakim yang terlibat dalam perkara-perkara terkait.

Dia juga menguraikan perbedaan pendapat di antara Hakim-hakim dalam Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan interpretasi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Beberapa Hakim menginterpretasikan norma ini secara berbeda, terutama dalam hal apa yang dapat dianggap sebagai “jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

Saldi Isra juga membahas bagaimana pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 hanya memohon agar norma tersebut dimaknai dengan memperhitungkan pengalaman sebagai kepala daerah, dan dia meragukan apakah Mahkamah seharusnya memutuskan sejauh itu dalam mendukung interpretasi yang berbeda.

Selanjutnya, dia menggambarkan bagaimana Hakim-hakim yang memiliki pandangan berbeda mencapai kesepakatan pada jabatan gubernur sebagai padanan untuk batasan usia 40 tahun. Namun, dia juga menyatakan bahwa beberapa Hakim masih mempertahankan prinsip “opened legal policy” dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat dipadankan dengan usia minimum 40 tahun.

Saldi Isra juga mencoba mengilustrasikan persamaan pandangan lima Hakim yang “mengabulkan sebagian” dengan menggunakan diagram Venn, yang menunjukkan bahwa kesepakatan mereka hanya pada jabatan gubernur. Dia berpendapat bahwa amar putusan a quo seharusnya hanya mencakup jabatan gubernur dan bukan jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Akhirnya, dia mencatat bahwa pembahasan di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) mencakup perdebatan mengenai amar putusan, dan ada yang mengusulkan penundaan pembahasan hingga keputusan dapat diputuskan dengan jelas. Namun, beberapa Hakim terkesan terburu-buru untuk mengambil keputusan.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams

Dalam pendapat ini, Hakim Adams menyampaikan beberapa poin penting yang mengarah pada penolakan terhadap permohonan yang diajukan. Poin-poin utama dalam pendapat tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Isu inti dari perkara ini adalah keinginan pemohon agar preferensi politiknya dalam pemilihan umum tidak terhalang oleh ketentuan usia dalam undang-undang.
  2. Pemohon meminta agar Mahkamah mengubah tafsir Pasal 169 undang-undang tersebut untuk memungkinkan alternatif pemenuhan syarat sebagai calon presiden dan wakil presiden.
  3. Hakim Adams berpendapat bahwa ketentuan usia sebagai salah satu syarat calon presiden dan wakil presiden adalah hal yang lazim dalam banyak negara dan telah diatur dalam sejarah Indonesia.
  4. Hakim Adams menganggap bahwa persyaratan ini merupakan kebijakan hukum terbuka yang dapat diatur lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang.
  5. Ia mengklaim bahwa beberapa alasan yang disebutkan dalam pendapat tersebut, seperti “melanggar moralitas,” “ketidakadilan yang intolerable,” atau “bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat,” hanya relevan dalam kasus norma undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
  6. Hakim Adams berpendapat bahwa pengaturan mengenai persyaratan calon presiden dan wakil presiden seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang, bukan keputusan Mahkamah.
  7. Jika Mahkamah mengabulkan permohonan ini, itu dapat dianggap sebagai campur tangan dalam proses legislasi dan pengambilan kebijakan.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat

Hakim Arief Hidayat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XXI/2023 dan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengambil beberapa sikap dan keputusan. Berikut adalah ringkasan dari putusan yang diambil oleh Hakim Arief Hidayat dalam dua perkara tersebut:
  1. Hakim Arief Hidayat menyatakan pendapat yang tidak sejalan dengan mayoritas hakim MK terkait dengan syarat usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Ia berpendapat bahwa penentuan syarat usia minimal ini merupakan perkara yang sederhana dan merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang pengaturannya diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Hal ini berarti bahwa menurutnya, MK tidak seharusnya mengadili dan mencampuri penentuan usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
  2. Hakim Arief Hidayat juga menyebutkan bahwa persyaratan usia minimum untuk jabatan-jabatan atau aktivitas pemerintahan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik kebutuhan jabatan masing-masing. Ia berpendapat bahwa UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan, dan oleh karena itu, hal ini merupakan kebijakan yang bisa diatur oleh undang-undang.
  3. Hakim Arief Hidayat mengkritik tindakan Ketua MK yang ikut membahas perkara ini setelah sebelumnya tidak ikut dalam pembahasan perkara sebelumnya. Ia menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang di luar nalar yang bisa diterima.
  4. Hakim Arief Hidayat juga mencatat adanya perubahan sikap dari pihak yang mengajukan permohonan terkait dengan pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara. Hal ini dianggapnya sebagai aneh dan tidak beralasan.
Dengan demikian, Hakim Arief Hidayat pada dasarnya berpendapat bahwa MK tidak seharusnya ikut campur dalam menentukan syarat usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, dan bahwa hal tersebut merupakan kebijakan yang seharusnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Pendapat ini merupakan suatu perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan MK tersebut.

Hakim Konstitusi Suhartoyo

Pendapat berbeda yang disampaikan Hakim Suhartoyo, Hakim Konstitusi,  sebagai berikut:
  1. Pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Suhartoyo menyampaikan pendapat berbeda (Dissenting Opinion) terkait dengan pemohon yang meminta norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai. Pendapat ini berhubungan dengan putusan sebelumnya dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023.
  2. Suhartoyo dalam pendapatnya di Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 telah menolak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada para Pemohon dengan alasan bahwa mereka bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung dalam pencalonan sebagai presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, menurutnya, Pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain.
  3. Suhartoyo menekankan bahwa persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden melekat pada diri subjek hukum yang bersangkutan. Persyaratan ini tidak dapat dikaitkan dengan persyaratan lain, seperti tata cara pengusulan yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, tata cara penentuan, pengusulan, dan penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017.
  4. Suhartoyo berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang ada menunjukkan bahwa filosofi dan esensi yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 hanya berlaku untuk subjek hukum yang bersifat privat yang ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, orang yang bukan subjek hukum untuk pencalonan tersebut tidak dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169 UU 7/2017.
  5. Suhartoyo juga berpendapat bahwa permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai untuk kepentingan pihak lain, tidak memenuhi syarat formil. Oleh karena itu, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan tersebut.
  6. Dalam kesimpulannya, Suhartoyo menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak memberikan kedudukan hukum kepada Pemohon dalam permohonan a quo dan menyatakan bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Pendapat ini menggarisbawahi pandangan hakim konstitusi terhadap legal standing dan pemahaman terhadap syarat-syarat untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Disclaimer

Pendapat yang disampaikan dalam teks ini mencerminkan pemahaman pribadi Penulis dan tidak dapat dianggap sebagai representasi resmi dari hakim konstitusi atau Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Untuk memahami dan mengacu pada pandangan resmi yang terkandung dalam putusan resmi, kami sangat menyarankan untuk membaca dokumen putusan yang dapat diunduh melalui tautan berikut: Link ke Putusan MKRI
Penulis tidak bertanggung jawab atas interpretasi atau penggunaan informasi dalam teks ini, dan kami mendorong pembaca untuk merujuk langsung ke dokumen putusan resmi untuk pemahaman yang lebih tepat dan komprehensif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.