Literasi Hukum – Indonesia mengklaim dirinya sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). UUD 1945 Pasal 28A – 28J dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak hidup, memperoleh keadilan, dan bebas dari perlakuan sewenang-wenang. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mewajibkan negara untuk melindungi rakyatnya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ini hanyalah retorika kosong, terutama ketika berbicara tentang kondisi para pekerja di PT Freeport Indonesia.
Setelah pemerintah mengambil alih 51% saham Freeport pada 2018, perusahaan justru semakin sewenang-wenang terhadap pekerjanya. Ribuan karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa mekanisme yang adil, bahkan ada yang diancam dengan senjata ketika menuntut hak mereka. Banyak nyawa melayang dalam konflik ini, tetapi negara hanya diam dan membiarkan ketidakadilan terus terjadi.
Negara yang Bungkam di Hadapan Korporasi
Di tengah janji manis pemerintah untuk menegakkan keadilan, yang terjadi justru sebaliknya. Para pekerja yang berjuang untuk haknya malah dihadapkan pada intimidasi, bukan perlindungan hukum. Negara yang seharusnya hadir justru membiarkan Freeport bertindak seperti penguasa di wilayah Papua, dengan aparat keamanan yang lebih sering berpihak pada kepentingan perusahaan ketimbang rakyat.
Kesaksian dari para pekerja yang diundang ke Komisi III DPR RI mengungkapkan betapa Freeport telah melakukan berbagai pelanggaran serius. PHK massal dilakukan tanpa kompensasi yang layak, dan ketika pekerja menuntut haknya, mereka justru dihadapkan dengan ancaman kekerasan. Fakta ini bukan lagi dugaan, tetapi bukti nyata bahwa negara telah gagal menjalankan kewajibannya dalam menegakkan HAM.
Lebih parahnya lagi, pelanggaran ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Tidak ada langkah konkret yang diambil untuk menyelidiki dan menghukum pihak yang bertanggung jawab, meskipun kasus ini sudah berkali-kali disuarakan. Bukankah ini bukti nyata bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan bisnis dibanding kesejahteraan rakyatnya?
Negara Harus Bertindak, Bukan Sekadar Bicara
Pelanggaran HAM yang terjadi di Freeport bukan sekadar isu ketenagakerjaan, tetapi masalah serius yang menyangkut hak hidup dan keamanan rakyat. Negara seharusnya tidak hanya menjadi penonton atau bahkan pelindung kepentingan korporasi, tetapi berdiri di garis depan dalam menegakkan keadilan.
Jika Indonesia benar-benar berkomitmen pada HAM, maka pemerintah harus segera menindaklanjuti kasus ini secara serius. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus diterapkan untuk mengusut kejahatan yang terjadi. Tidak boleh ada impunitas bagi perusahaan atau aparat yang terlibat dalam intimidasi dan kekerasan terhadap pekerja.
Selain itu, negara wajib menjalankan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dalam aturan ini, Indonesia sudah berjanji untuk melindungi hak-hak dasar rakyatnya, termasuk hak untuk bekerja tanpa ancaman, hak atas kehidupan yang aman, dan kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang. Jika pemerintah tetap diam, maka ini bukan hanya pengkhianatan terhadap rakyat Papua, tetapi juga pelanggaran terhadap komitmen internasional yang telah disepakati.
Keadilan yang Ditinggalkan di Papua
Papua kembali menjadi bukti nyata bahwa negara hanya tegas terhadap rakyat kecil, tetapi lemah di hadapan korporasi besar. Freeport telah melakukan berbagai pelanggaran terhadap pekerjanya, tetapi negara memilih untuk menutup mata. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka pemerintah bukan hanya gagal menjalankan tugasnya, tetapi juga ikut menjadi pelaku dalam kejahatan terhadap HAM.
Negara tidak boleh hanya bicara tentang HAM di forum internasional, tetapi harus membuktikannya dengan tindakan nyata. Sudah saatnya pemerintah berhenti tunduk pada kepentingan modal dan mulai menegakkan keadilan bagi rakyatnya sendiri. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa negara ini lebih memilih membela korporasi ketimbang melindungi rakyatnya yang tertindas.